SR-19

1469 Words
Shera tidak bisa membawa gaunnya ke kamar mandi, dia pun berusaha membuka resletingnya dan mengalami hambatan. "Oh, kenapa harus macet? Aku tidak suka kondisi seperti ini," gerutunya, lalu berbalik arah, duduk di tepi tempat tidur dan menatap Alan yang sedang melihat tv. "Alan," panggilnya. "Ada apa? Kau sudah selesai mandi?" tolehnya ke belakang dan melihat Shera masih berada di sana dengan gaunnya. "Cepatlah mandi! Aku juga mau bersihkan diri." "Duluan lah, aku akan mandi setelahmu." "Oke, kalau begitu aku akan masuk duluan." Shera mengangguk setuju, memaksa lebih dulu juga percuma, bajunya tidak mau terbuka. Sementara Alan di dalam, Shera terus mencoba menarik resletingnya. Menggunakan penggaris, ujung meja, sampai menggunakan tangannya dan hampir terkilir. "Aw, sakit sekali!" Shera memijat tangannya sendiri karena hampir terjadi dislokasi di sendi-sendinya. Setengah jam berlalu, Alan keluar dengan pakaian santainya kemudian melihat Shera sibuk memegang bagian belakang tubuhnya. Alan mengetahui Shera sibuk, tetapi tidak mau bertanya tentang kesulitannya. Shera sudah lelah dan akhirnya merebahkan diri di sofa. Alan merasa hal itu bagus, Shera tidur di tempatnya tanpa harus disuruh lagi. "Dasar aneh, tidur dengan gaun," gumamnya sendiri kemudian naik ke tempat tidur, sambil menonton. Tidak banyak yang bisa dilakukannya kecuali menonton, ponselnya masih ditahan, sama seperti pintu yang masih terkunci. Tidak lama setelahnya Shera terbangun dan merasa ingin buang air kecil. Dia bagkit dan mengangkat gaunnya. "Ah, bagaimana aku ke dalam?" keluhnya kesal, lalu melihat ke arah Alan. Akhirnya Shera harus meminta tolong pada suaminya itu. "Alan, bisa aku minta tolong?" tanyanya. "Aku tidak mau menolongmu." "Alan, aku betul-betul minta bantuanmu," sahut Shera menghampirinya, naik ke tempat tidur dan berhenti di dekatnya. "Apa yang kau lakukan? Kau ingin menyerang ku?" tanya Alan. "Bukan." "Jadi?" Alan menarik tubuhnya ke belakang karena Shera mendekatinya. Perlahan wanita itu berbalik arah dan memperlihatkan usahanya untuk membuka resleting yang tak kunjung berhasil. "Alan, aku tidak bisa membukanya. Bisa kau bantu aku?" lirik ya dari samping. "Kau mau menjebakku?" "Tidak, Alan. Aku serius, aku ingin ke kamar mandi, tidak mungkin bawa gaun ini." Alan geleng kepala kemudian berpikir dua kali untuk membantunya. "Kau pasti mengerjaiku." "Alan, tidak! Kumohon, bantu aku." Pria itu pun mencobanya. "Kalau kau bohong, aku akan menghukummu." "Oke, aku terima." Alan memegang gaunnya dan mencoba menurunkan resletingnya. Memang macet dan membuatnya menarik dengan keras, tetap saja tidak bisa. "Aku tidak bisa menurunkannya, Shera." "Pakai gunting, kumohon!" pinta wanita itu. Alan langsung mengambil benda itu dari dalam laci dan meminta Shera turun dari tempat tidurnya. Wanita itu menurut dan berdiri di dekatnya. Alan mulai merusak gaun itu dari sisi kancing resletingnya hingga turunlah gaun yang melindungi tubuh Shera dan meninggalkan dalamannya saja. "Oh, Tuhan!" Alan menutup matanya, dia harus melihat hal yang tak seharusnya dilihat. Shera langsung berlari ke kamar mandi tanpa menoleh. "Terima kasih, Alan!" "PAKAI BAJUMU!" jeritnya. "Kau baru saja melepaskannya, Alan!" sahut Shera dari dalam kamar mandi. Alan pun segera mengangkat gaun itu dan memasukkannya ke tempat yang tersedia. "Anak itu, keterlaluan! Kenapa bisa berjalan tanpa menggunakan pakaian? Ck!" decaknya kesal. Satu jam kemudian, Alan terbangun dari tidurnya dan langsung terkejut melihat Shera lelap di sampingnya. Alan duduk, lalu membangunkannya. "Hei!" jeritnya. Shera mengerucutkan wajah, suaranya tepat di samping telinga. "Alan, kau mengganggu tidurku. Aku sangat lelah." "Tidurlah di sofa! Ini tempat tidurku." "Sofanya kecil, aku tidak bisa tidur di sana." "Bukannya kau tadi tidur di situ?" "Alan, biarkan aku tidur di sini ya," pintanya. "Tidak!" Alan menendangnya sampai terjatuh. Shera jatuh dengan kuat dan terjungkal ke belakang. Wanita itu kesakitan, punggungnya menabrak lantai dengan kuat. Alan kembali merapikan selimutnya dan tidur lagi dengan nyaman. Shera tidak terima dan menarik selimut serta sepreinya dengan kuat, membuat Alan terjatuh juga. Shera tertawa gembira melihat pembalasannya. "Haha, kau lihat? Jangan kira kau saja yang bisa melakukannya? Kalau menurutmu aku lemah, mulai sekarang, aku tidak akan lemah lagi," ucap Shera tersenyum. Alan bangkit dari lantai kemudian menggiringnya ke sofa kemudian mendudukkannya di sana. "Tidur di sini, jangan ganggu aku!" Ketika Alan ingin kembali ke tempat tidur, Shera menariknya. "Aku ingin tidur di sana juga, Alan! Punggungnya sakit sekali, ingin kurebahkan sebentar saja," katanya sambil berjalan. Namun, Alan menariknya lagi dan dia mendahului Shera, tidak peduli pada wanita yang terjatuh karena tenaga Alan amat kuat saat menariknya. Shera tidak bisa menahan pergelangan kakinya dan tergelincir. Meja kaca itu pun pecah karena Shera jatuh di atasnya. Alan langsung berbalik arah dan melihat istrinya sudah terduduk di sana. "Shera!" Alan mengejarnya dan melihat keadaannya. Wanita itu meringis kesakitan. "Kacanya menusuk kulitku, Alan," katanya sambil menangis tanpa suara. "Kau bisa berdiri?" Shera menggeleng, "Tidak, aku merasa semua daging di tulang dudukku tertancap kaca. Hiks," terdengar juga suara tangisnya. "Shera, aku minta maaf, sabarlah, aku akan memanggil orang di luar." Alan berlari ke pintu kemudian menggedornya kuat. Tidak lama kemudian seorang pelayan datang. "Ya, Tuan muda?" "Panggilkan dokter! Terjadi kecelakaan di sini!" "Baik, Tuan!" Wanita itu langsung berlari dan ditanyai oleh orang tua Alan. Dia memberitahukan jawaban Alan tadi dan membuat mereka panik. "Astaga! Apa anak kita tidak bisa menahan diri? Kenapa bisa terjadi kecelakaan?" kata mamanya. "Jangan bilang yang aneh-aneh dulu!" suaminya marah karena mikirnya kejauhan. Kunci pintu dibuka, mereka melihat ke arah meja dan Alan sedang berusaha untuk membantu Shera bangkit dari pecahan kaca tersebut. Shera digendong olehnya dan mama Alan melihat kondisi bagian belakang tubuhnya saat diangkat suaminya. "Ah, ada beling di sana, izin mama cabut ya?" kata wanita itu. Shera sudah tidak peduli, sakit sekali memang sejak tadi, akhirnya Nelly mencabut beberapa kaca yang ada dan memastikan kalau kulitnya bebas dari kaca itu. "Bagaimana, Ma? Sudah bersih?" tanya Krish yang berbalik arah ketika istrinya melakukan hal itu. Nelly menurunkan dresnya dan meminta Alan membawanya ke rumah sakit. Shera menggelengkan kepala. "Aku malu," katanya. "Kau harus dibersihkan, mungkin saja masih ada sisanya di sana," sahut Alan. "Itu benar, Alan bawa dia, biar papa yang menyetir. Kau harus membawanya dan tidak bisa mendudukkannya di jok, pangku dia," sahut mamanya. Tanpa pikir panjang, dia menuruti omongan mamanya dan membawa Shera keluar dari kamar. Mereka segera ke rumah sakit, Alan lebih dulu naik ke mobil, membiarkan Shera duduk dipangkuannya. "Ah, sakit!" kata Shera ketika tidak sengaja tertandas ke jok. "Lalu aku harus bagaimana?" Shera tidak bicara apa pun, mengatur dirinya dan Alan menemukan cara yang pas. "Tahanlah, aku akan memegangmu, tidak akan jatuh." Bak seorang anak kecil yang tidur dipangkuan, Shera menyandarkan dirinya kepada Alan. Larangan bersentuhan sekarang sedang berlaku. Justru Alan mengkhawatirkan Shera jatuh kalau tidak pegangi. "Maafkan aku," katanya. "Hmm, kau jahat." Shera memejamkan matanya karen dia harus menghadap Alan sepanjang jalan. "Jangan pegang aku." "Oke, aku akan melepasmu." Alan melepas tangannya dan kedua orang tuanya masuk. Mereka segera pergi, begitu mobil mundur dan berhenti, Shera hampir terjatuh dan Alan tetap spontan memeganginya. Mereka tidak mungkin terus bertengkar dalam mobil, Shera terpaksa membiarkan pria itu menahan dengan tangannya agar tidak jatuh. Beberapa jam setelahnya. Shera tak perlu dirawat inap, mereka sudah bisa membawanya pulang ke rumah. Alan menggendongnya ke kamar dan menaruh Shera di tempat tidur dengan perlahan. Miring agar obat yang sudah dioleskan dari rumah sakit tidak hilang. "Alan, jaga Shera ya baik-baik, kalian harus berhati-hati, jangan anarkis." "Iya, Ma," sahut putranya. "Shera sayang, kau butuh apa? Nanti dibawakan bibi ke sini." "Aku haus, Ma, boleh minta air?" "Oh, ada di sini." Nelly meminta pelayan yang mengikutinya itu memberikan minum pada Shera. "Baiklah, mama istirahat dulu. Besok kau istirahat saja dulu di kamar, tidak perlu turun untuk sarapan. Kalian akan sarapan di kamar." "Maaf merepotkan, Ma!" "Jangan sungkan, Nak! Kau itu anak kami sekarang, perhatianku akan sama seperti aku memperhatikan Alan." Shera tersenyum pada mamanya dengan tulus. Setulus Nelly mengelus rambut Shera sebelum keluar dari kamar. Alan mengantar mamanya dan ingin bicara pada sang anak. "Alan, selama dia terluka, jangan goda dia." Pria itu pun tertawa kaku, "Ahaha, I-iya, Ma." "Ya sudah, istirahat lah. Jangan bertengkar." "Iya, Ma." Nelly pergi dari sana kemudian Alan menutup pintu. Saat dia kembali ke arah tempat tidur, dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya mau copot. "Kenapa kau membuka selimut dan menunjukkannya padaku?" tanya Alan. "Maaf, Alan. Sakit sekali ditutupi dengan selimut. Biarkan seperti ini ya." "Bisa kau tutup dengan dres?" "Tetap kena." Alan pun mendesah ringan dan memegang kepalanya. "Aku tidur di sini," katanya sambil menunjuk ke arah tempat tidur. "Hmm, tidak mungkin aku menyerangmu dalam keadaan seperti ini," ujar Shera pada suaminya agar tidak takut kalau dia macam-macam. Wajah Shera sudah hilang rasanya ketika mendapat bencana ini, ingin ditutupi bagian yang terluka, tetapi tidak boleh kata dokter karena masih basah dan bisa membuatnya tergesek. Keesokan harinya. Shera bangun lebih awal, melihat Alan tidur dengan nyenyak, Shera pun tidak mau membangunkannya. Shera memegang bagian yang terluka dan ternyata sudah mengering. Shera bangkit dari tidurnya, melihat ke nakas dan ingin minum. Meski sakit, tetapi sudah tidak seperti kemarin. Shera duduk, lalu meneguk minumannya. Setelah itu Shera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengoleskan obatnya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD