SR-20

1608 Words
Setelah mandi dan berpakaian, Shera mengalami kesulitan duduk. Saat digerakkan agar bisa bersandar ke sofa, terasa sakit luar biasa bagian yang luka. Shera meringis kemudian membatalkan niatnya untuk duduk dan memilih berdiri di dekat jendela. Melihat pemandangan sekitar. Di rumah besar ini, ternyata tidak mengabaikan dekorasi halaman belakangnya. Sangat indah, dengan kolam renang kemudian taman yang asri. Tidak lama setelahnya, Shera membuka gorden, cahaya matahari masuk tanpa penghalang. Menyinari wajah Alan yang masih terlelap. Suhu hangat dan teriknya membuat pria itu mengernyit. Perlahan matanya mengayun terbuka dan menutupi wajahnya dengan tangan kanan. "Ah, Shera! Aku masih mau tidur." Wanita itu berbalik arah. "Tidur lah, aku tidak akan mengganggumu." Alan memegang kepalanya, sekali terbangun sulit tidur lagi. Alan bangkit dan melihat seprainya berdarah. "Shera," panggilnya. "Ya?" "Bagaimana keadaanmu?" "Aku tidak bisa duduk." "Darahmu mengotori tempat tidurku." Shera terkejut, "Benarkah?" Dia langsung menghampiri tempat tidur dan membuka selimut ya. Bercak itu terlihat jelas di seprai putih milik suaminya. Bukannya darah malam pertama, malah darah karena kecelakaan yang mengotori tempat tidur. "Ah, maaf, aku akan mencuci ya." "Sudah, tidak perlu. Biar bibi saja yang mengurusnya." Shera menggeleng, "Aku merasa tidak enak." Alan duduk, meneguk air dalam gelas kemudian menuju jendela. Alan membuka kaosnya dan juga pintu kaca itu. Shera memperhatikan dan mengikutinya, terlebih dia berdiri di balkon dan semilirnya angin terasa menyejukkan. Alan membuka kunci besi terali pembatas di balkon kemudian membuka celananya. Shera mendelik melihat suaminya hanya menggunakan celana pendek berbahan katun hitam itu saja. "A-apa yang kau lakukan?" Alan berbalik arah dan tersenyum, "Selamat tinggal Shera," ucapnya kemudian menarik tangan wanita itu dan menjatuhkan diri. Shera terikut karena tarikan itu dan menjerit sekuatnya. "Ah!" Tak lama kemudian mereka mendarat di air yang super dingin. Alan melihat Shera masuk ke dalam air juga, seketika pria itu naik ke permukaan dan tertawa. "Haha, kau itu terlalu lemah, kenapa tidak menahan diri? Kau mengikuti sekitarmu dengan pasrah," ujarnya. Shera meluruskan tangannya ke atas, berusaha naik ke permukaan, tetapi tidak bisa. Dia belum terlalu mahir melakukan teknik mengapung juga berenang. Alan tekikik. "Hihi, jangan mengerjaiku! Kau pasti bercanda, kan?" katanya. "Alan-" panggil Shera lalu tenggelam lagi. Shera berusaha naik ke permukaan lagi karena dia benar-benar sudah kehabisan nafas. "Tolong!" Alan melihat Shera benar-benar tidak bisa berenang. Segera pria itu menghampirinya dan mengambil Shera yang sudah mengambang. Alan membawanya cepat ke permukaan kemudian wanita itu menghirup udara bebas. Shera dibawa mengapung oleh Alan, menatap pria yang memandangnya dengan kedutan di tengah alisnya. "Kau tidak bisa berenang?" Shera menggeleng, "Tidak." Matanya merah dan juga terdengar suara ngos-ngosan darinya. Bibirnya pun menggeletar. "Aku kira kau bisa berenang, maaf sudah menarikmu." "B-bisa bawa aku ke tepi?" tanya Shera. Alan segera berenang, menepikan istrinya dan menjaganya sampai naik ke tangga. Alan melihat luka di pangkal kakinya dari bawah, masih memerah, tetapi beberapa ada yang sudah mengering. Pelayan datang membawa handuk dan menyelimutinya. Sang ibu yang panik mendengar suara seseorang jatuh ke kolam segera keluar dan melihat anak serta menantunya di pinggir kolam. "Apa yang terjadi? Shera, kau tidak apa-apa?" tanya Nelly. "Ya, Ma. Aku terjatuh dari atas," jawab Shera. Nelly melihat ke balkon dan sudah tahu kalau itu adalah kerjaan putranya. "Alan! Kenapa kau membawa istrimu terjun?" "Maaf, aku tidak tahu kalau dia tidak bisa berenang." Alan mengambil handuk kimononya. "Kau ini-" Nelly memukulnya dan membuat Shera terkejut. Menggantikan keinginan hati Shera, ternyata mama mertuanya sudah lebih dulu melakukannya. Shera memang ingin memukulnya, tetapi takut, sebab rumah ini merupakan wilayah Alan dan keluarganya. Shera sontak tertawa melihat Alan dijewer sang ibu. Pria itu melirik istrinya yang tertawa gembira, sontak Nelly menghentikan sikapnya tersebut dan ikut tersenyum mendengar suara tawa Shera. "Sudah lama mama tidak mendengar tawa segembira itu," bisiknya pada Alan. Pria tersebut ikut tersenyum juga, "Mama mempermalukan aku." Nelly pun cekikikan. "Wajar, kau juga membuat dia celaka 2 kali! Kau sangat tidak manusiawi." "Apa?" Alan kaget mendengarnya kemudian melihat mamanya menghampiri Shera, membawa wanita itu masuk dan meninggalkan Alan sendirian. Shera tersenyum pada mama mertuanya, "Mama apa kabar hari ini?" "Sehat, Nak, sehat! Kau bagaimana? Lukamu sudah mengering?" "Ya, beberapa sudah mengering, tapi luka lainnya belum. Masih meradang." "Kita sarapan di bawah ya, kau bisa?" Shera langsung tertawa kaku, tadi saja dia tidak bisa duduk, tetapi menolak tawaran orang tua Alan rasanya juga tidak sopan. Shera mengangguk lemah dan memikirkan caranya nanti untuk menyandarkan dirinya ke kursi. Beberapa menit setelah mereka bersiap, Shera ragu ingin keluar. Dia berhenti di depan pintu dan menghalangi Alan jalan. Pria itu mengerutkan keningnya, melipat tangan dan berdeham. "Kenapa kau diam di sana?" tanya Alan setelah berdeham. "Alan, aku tidak bisa duduk." "Paksa saja, kalau tidak kau paksa, lukamu tidak akan sembuh." "Benar kah?" "Ya." Shera segera melangkah. Dress pink mudanya sangat indah, aroma parfum yang ceria sengaja digunakannya untuk mewakili keinginan hatinya agar lebih bahagia meski kehidupannya kini sudah berubah. Dia tak lagi menyandang status sendiri, sudah resmi jadi istri Alan Zega, meski tertoreh perjanjian sebelumnya. Sesampainya mereka di bawah, Krish dan Nelly sudah duduk lebih dulu, mereka menyapa Shera ramah dan memintanya duduk. Alan menarik kursi untuknya kemudian Shera masuk, saat menekuk tubuh, mukanya meringis pada Alan. Pria itu duduk lebih dulu dan menatap wajah Shera. "Ada apa?" "Sakit!" jeritnya pelan. "Turunkan perlahan," sahut Alan. Shera mencobanya terus sampai duduk sempurna, spontan tangan kirinya meremas paha Alan sampai membuat pria itu ikut merasakan sakitnya. Alan ingin menjerit juga, tetapi tidak mungkin, akhirnya dia menangkap tangan Shera yang keringatan dingin itu dan menatapnya. "Jangan kau remas begitu," bisiknya. "Alan, ini sangat sakit." "Bertahanlah, kau akan baik-baik saja. Tarik nafas dan buang perlahan." Shera menuruti dan melakukan sarannya. Perlahan, dia mengontrol pikiran kemudian rasa sakit itu berkurang. Cengkraman tangannya melemah, dan Alan mengusap-usap pahanya yang terasa perih. Kecuali Shera, semua yang ada di sana makan dengan semangat. Nelly meminta Shera tambah, tetapi wanita itu menolaknya dengan senyuman. "Kau tahu, Shera, Alan ini anak satu-satunya dan dia memang terkadang kesepian. Jadi, kalau dia menempatkanmu dalam bahaya, kau harus maklum saja ya," ujar Nelly. "I-iya, Ma." Shera tersenyum kaku. "Alan, setelah ini kalian harus bulan madu," kata Krish. Sontak Alan dan Shera pun terkejut. "A-apa?!" Kedua orang tuanya menoleh karena mendengar mereka terkejut. "Kenapa? Wajar kan pengantin baru bulan madu?" tanya Nelly. "Hehe, ta-tapi, Ma, bukan kah kami sedang kuliah?" tanya Shera. "Papa sudah minta izin ke rektor, mereka mengizinkan. Tidak ada dosen yang melawan rektor." Shera dan Alan menyandar lemas. Keinginan orang tuanya tidak bisa dilawan. Alan menatap istri dan Shera juga demikian. Keputusan bulat, semua barang sudah dikemas dan mereka akan pergi siang ini. Usai makan, Alan ingin menemui Celine terlebih dahulu rencananya. Sedangkan Shera akan memberi tahu sahabatnya tentang kepergian ini, tetapi tentu tidak akan mengatakan kalau dia akan bulan madu. Hanya sekadar mengatakan dia cuti untuk sebuah urusan. Sarapan selesai, Krish dan Nelly lebih dulu pergi karena akan ke kantor pagi ini. Shera dan Alan menunggu dengan lemas. Alan minta ponsel mereka dikembalikan. Segera pelayan papanya memberikan benda tersebut. Mereka mengecek ponsel masing-masing dan menemukan banyak telepon juga pesan. Satu persatu pesan di balas, begitu Shera selesai, dia pun berdiri. Alan tidak sengaja menoleh dan melihat roknya berdarah! Spontan pria itu ikut berdiri dan mendekati tubuhnya. Shera terkejut ditempel Alan dari belakang. Alan tidak ingin pelayan melihat kondisi itu, takut dia jadi bahan omongan mereka. "A-apa yang kau lakukan?" tanya Shera. "Rokmu berdarah, aku menutupi bagian itu dan kau harus berjalan bersamaku dengan posisi seperti ini agar mereka tidak menceritakanmu." Shera pun terbodoh rasanya. "Dengan begini, kita akan digosipin juga, Alan!" balasnya pelan. "Tidak, ikuti aku dan pahami caraku membawamu ke atas." "Oke." Shera melangkah, tangan Alan melingkar di perutnya kemudian mereka berjalan bersama-sama. Alan mencium lehernya hanya untuk mengalihkan perhatian mereka. Pelayan di sana tidak boleh menatap ke arah majikan yang sedang bermesraan, sontak mereka pergi satu persatu. Shera geli dan merasa gelisah karena pria itu mencium leher ya berulang kali. "Alan, hentikan," bisiknya. Alan mendekati tangga, melihat sekitar dan merasa sudah aman. Suara Shera yang tidak aman dan Alan langsung menepuk dahinya. "Kau kira aku merayumu?" tanya pria itu. Shera malu, pipinya memerah dan mereka terus naik ke lantai dua dengan posisi yang sama. "Hentikanlah," desaknya. "Oke, aku menghentikannya." Alan senyum sendiri, memegang kepala Shera yang sudah membuatnya keterusan. Dia lucu sekali, polos dan baru dua hari sudah terjadi hal menggelikan. Shera, Shera, gumam Alan dalam hati. Beberapa jam setelahnya. Shera dan Alan sudah tiba di Bandara. Ya, mereka berada di Hawaii sekarang. Pillihan aneh untuk bulan madu, Krish memilih tempat ini karena mereka bisa belajar banyak dengan warga sekitar. Shera berdiri di dekat di tiang, duduk selama perjalanan, dia sudah duduk lebih dari 3 jam dan sekarang transit di Los Angeles, Amerika Serikat. Alan tidak melihat ada bercak darah di roknya, pria itu mendekatinya. "Kau lelah?" tanya Alan. "Aku-aku menyerah, berapa lama lagi kita tiba di sana?" tanya Shera balik. "Sekitar 6 jam lagi dari sini." "APA?!" Shera lemas mendengarnya dan langsung terduduk dengan posisi tubuh menyandar ke tiang. Baru 3 jam lebih saja sudah membuatnya pegal tiada tara. Andai tidak terjadi kecelakaan, mungkin tak akan masalah, tetapi sekarang kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Alan terus melihat ponselnya, Shera memperhatikan, seperti sedang bicara serius pada seseorang. Tiba-tiba dia membisikkan sesuatu pada istrinya. "Pernikahan kita tidak boleh diketahui orang lain kan?" tanyanya mendekati telinga Shera. "Kenapa kau tanya itu? Jelas aku tidak mau ada orang tahu, terutama di kampus dan asrama." "Bagus!" Alan memegang kepalanya. "Kekasihku menyusulku ke sini, dia akan ikut pergi ke Hawai dengan kita." "Eeh?!" Shera terkejut sekali mendengarnya. "Pa-pacarmu mau ikut?" "Ya," sahut Alan tersenyum. "Kau akan kuanggap sebagai sepupu, jadi kau harus berperan seperti sepupuku, paham?" Shera mengangguk bingung. Bila dia bersama kekasihnya, maka aku akan jadi obat nyamuk? Ah, Alan, kau membosankan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD