Dua: Manusia Merdeka

1577 Words
"Jadi, mereka siapa Ra?" Tanya Dio langsung setelah Arora turun dari taksi. Aurora Amara. Perempuan cantik berusia delapan belas tahun dan berstatus mahasiswa kedokteran itu langsung meneguk ludah melihat Dio yang menatapnya dengan tajam. "Ra, mereka siapa?" Ulang Dio dengan nada suara yang sama, membuat Aurora merinding. "Aku harus bertanya sampai tiga kali baru kamu jawab?" Dio melangkah pelan mendekati Aurora. "Temen" jawab Aurora akhirnya. "Temen?" Dio menatap Aurora dengan satu alis terangkat. "Iya, temen. Emang apa? Suami? Pacar?" Kesal Aurora akhirnya. "Siapa?" "Apasih! Udah aku bilang, temen!" "Siapa namanya" "Siapapun itu, gak ada urusannya sama Kak Dio!" Aurora menghentakkan kakinya lalu melangkah menuju pintu rumah. "Ra! Aku belum selesai bicara!" "Aku udah selesai!" Aurora berbalik dan kini menatap tajam Dio. "Stop kak! Aku bukan anak kecil. Aku juga bukan adik Kak Dio. Jadi cukup! Cukup untuk ikut campur dengan urusan pribadi aku!" Bentak Aurora dan kembali melangkah. "Sampai kapanpun. Aku gak akan pernah berhenti ikut campur Ra" tegas Dio. Aurora kembali menghentikan langkahnya, berbalik manatap kesal Dio. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Aurora mengacungkan jari tengahnya pada Dio. "Aurora!" Geram Dio yang langsung membuat Aurora kabur. Tidak mengejar Aurora, Dio memilih masuk mobil dan pulang. Satu orang lagi yang harus dia introgasi dan Dio pastikan dia akan mendapatkan jawaban yang diinginkan. "Bun, Chala mana?" Tanya Dio langsung setelah tiba di rumah. "Di kamar kak, ada apa sih? Tadi kamu pulang terus langsung pergi lagi, sekarang mukanya sepet banget. Ada masalah?" Tanya Qiana. Dio menggeleng "engga bunda" jawab Dio lalu mencium Abian yang berada disamping Qiana sebelum melangkah menuju kamar Chala. "Jangan berantem ya kak, kepala bunda pusing" Qiana mengingatkan. "Iya bunda. Tapi kalau anak bunda yang lebay, jangan salahin aku" Qiana hanya menggela napas dan kembali menatap layar televisi. Menemani si bungsu yang menonton kartun. Krek Krek Dio menggeram saat tahu jika pintu kamar Chala ternyata di kunci. Adiknya itu pasti sengaja. To tok tok "Chal" panggil Dio. Tidak ada respon. "Chala" Dio kembali memanggil dan masih tidak ada respon. "Kakak dobrak atau pake kunci lain?" Tanya Dio sebagai bentuk ancaman. "Oke. Kakak-" Krek "Nyebelin banget sih" Chala membuka pintu kamarnya. Wajahnya cemberut menatap Dio. Tanpa di persilahkan, Dio masuk kedalam kamar Chala. Duduk di kursi belajarnya "duduk" suruh Dio kepada Chala. Chala menghela napas, lalu duduk di sisi tempat tidur, menghadap Dio. "Apaan?" Tanya Chala langsung. "Siapa tadi?" "Kak Dio kok tahu?" Chala balik bertanya. "Jawab aja. Kamu lagi gak dalam posisi boleh bertanya" Chala langsung berdecak sebal. "Temen Kak Rara" "Temen?" "Kak Dio b***k?" "Siapa namanya? Kenal dimana?" "Namanya Diki sama Hans. Diki ngajakin kak Rara ngedate, terus Kak Rara ngajakin aku dan Diki ngajak Hans. Jelas?" Dio mengepalkan tangannya "mereka pacaran?" "Belum. Tapi mungkin segera." Sontak mata Dio membulat mendengar ucapan Chala. "gak" "kenapa engga?" Kali ini, Chala menatap Dio dengan pandangan meremehkan, kedua tangannya terlipat di d**a "Kak Rara cantik, pinter, baik, gak ada alasan untuk orang gak suka sama dia. Dia bener-bener definisi cantik luar dan dalam. Cuma satu alasan dia tetap jomblo sampai sekarang. Kakak!.-" Chala menunjuk Dio. "-Mulai hari ini, aku harap kakak berhenti bersikap berlebihan. Kak Rara bukan adik Kak Dio. Dia bebas lakuin apa yang dia mau. Termasuk memilih pasangan! jangan halangi dia" lanjut Chala. "kamu gak akan ngerti" "dan kakak gak pernah jelasin!" nada Suara Chala meninggi. Dia kesal dengan tingkah sang kakak. Terkadang, dia melihat sorot cinta dari sang kakak kepada Aurora. Tapi tingkahnya, sama sekali tidak mencerminkan perasaan itu. Dio menghela napas, bangun dari posisi duduknya "gak ada yang perlu kakak jelasin sama kamu" ucap Dio lalu melangkah keluar kamar. Meninggalkan Chala yang menatapnya kesal. Jika bukan kakak sendiri, sudah Chala jambak kepala kakaknya hingga botak. *** Dio keluar dari mobil tepat Aurora melangkah keluar dari pintu rumah. Selalu seperti itu, mencegat Aurora. "ngapain?" tanya Aurora dengan kening mengerut. "ayo" "aku tanya, ngapain?!" ulang Aurora. "kamu mau kuliah kan? ayo" Aurora berdecak "aku mau di antar sopir" "aku yang antar" "gak mau" tolak Aurora. "Ra, bisa gak nurut? ayo kita berangkat, nanti kamu telat" "bodo amat" Dia menghela napas, melangkah maju mendekati Aurora. Aurora hanya diam, bingung. Hingga saat Dio menggendongnya, mata Aurora sontak membulat. Dia yang takut jatoh, bahkan dengan refleks mengalungkan kedua tangannya ke leher Dio. "manja. Bilang aja kalau mau di gendong" goda Dio lalu mendudukkan Aurora di kursi mobil. Aurora berdecak "nyebelin" kesalnya. Dio menutup pintu. Lalu berjalan ke arah sebelahhnya untuk masuk dan duduk di depan kemudi. "sabuknya mau di pakein juga?" tanya Dio berniat menggoda. Masih dengan wajah terlihat kesal, Aurora langsung memasang sabuk pengamannya sendiri. Dio mengulum senyum, lalu mulai menjalankan mobil menuju kampus Aurora. Sepuluh menit perjalanan hanya diisi sepi. Aurora memilih dia dan menatap keluar jendela mobil dan Dio fokus melihat jalanan yang cukup ramai. "pulang jam berapa?" tanya Dio kemudian saat mobil harus berhenti karena macet. Aurora tetap diam, tidak menjawab dan berpura-pura tidak mendengar. "Ra, kita ke THT ya. Kamu b***k" Aurora sontak mengalihkan pandangannya ke arah Dio. "sembarangan!" semburnya. "jadi, pulang jam berapa?" "gak tahu" kesal Aurora. "jam tiga. Aku jemput" Lagi, Aurora kembali menatap Dio, kali ini dengan tatapan jengkel, kedua tangannya mengepal, menahan agar tidak menjambak rambut Dio "kalau tahu, ngapain nanya!" Dio mengangkat bahu, lalu kembali melajukan mobil saat mobil dihadapannya juga sudah bergerak maju. "basa-basi" "Kak! bisa gak sih gak nyebelin!" "bisa. Kalau kamu nurut sama aku" "pacar juga bukan, ngapain nurut" dumel Aurora. Dio tidak bersuara lagi, tangan kirinya terulur untuk mengusap lembut kepala Aurora. "kamu cantik hari ini" Aurora langsung menggigit bibir dalamnya agar tidak tersenyum. Ucapan Dio yang berupa pujian dan selalu tiba-tiba entah kenapa membuat dia menghilangkan rasa kesalnya. Bukan hanya untuk hari ini, tapi sudah sejak lama. Dio yang melirik untuk melihat respon Aurora langsung mengulum senyum "senyum aja, aku suka liat kamu senyum, daripada ngomel" godanya kemudian. Tiba di kampus, Dio langsung menahan tangan Aurora agar tidak langsung keluar mobil "pulang kuliah aku yang jemput, kalau Diki ngajak pulang bareng, tolak" suruh Dio. Aurora memutar bola matanya "kumat lagi deh" "Ra, aku serius. Jangan terima tawaran apapun dari Diki" "kenapa?" "aku gak suka" "terus kalau Kak Dio gak suka, aku harus gak suka juga? gak bisa disamain gitu dong kak!" protes Aurora. "Ra, please. Masih pagi, jangan berantem lagi ya" nada suara Dio benar-benar lembut. "Kak Dio yang selalu mulai. Aku manusia merdeka kak, aku punya hak untuk menentukan pilihan aku sendiri. Aku bukan lagi bocah yang butuh perlindungan. Aku udah kuliah! aku udah dewasa, jadi aku minta, Kak Dio jangan paksakan keinginan Kak Dio ke aku. Kak Dio bukan kakak kandungku. Kak dio cuma orang luar dan sama sekali gak ada hak atas hidup aku!" jelas Aurora. "oke. Fine! terserah" ucap Dio akhirnya. Aurora langsung melepaskan tangan Dio yang menahannya, tanpa mengatakan apapun lagi, dia keluar dari mobil dan melangkah menuju fakultasnya. Dio menghela napas, menahan kata kotor agar tidak keluar dari mulutnya. *** "terima kasih, kita ketemu satu minggu lagi" ucap Dio sambil mengulurkan tangan. Wanita di hadapannya membalas uluran tangan Dio sambil mengangguk "sukses untuk kolaborasi kita" lanjut wanita berstatus chef tersebut. Keduanya melepas jabat tangan mereka. Lalu kembali duduk untuk merapihkan barang masing-masing. Siang ini, Dio bertemu chef Kei, wanita yang berusia satu tahun lebih tua dari dia. karena dia tidak jadi menjemput Aurora, pertemuan dengan Kei akhirnya di majukan, beruntung Kei tidak keberatan dan juga memang tengah free. "kamu di undang Gerald gak?" tanya Rei tiba-tiba. Dio mengangguk "di undang, kamu juga?" "iya. Udah beli kado?" "belum sempat" "cari sekarang yuk, sekalian." Dio melihat jam yang melingkar di tangannya, masih ada waktu sebelum pulang ke rumah "boleh" Kei tersenyum, lalu menggenggam tas miliknya dan bangkit, Dio mengikuti, lalu mereka keluar dari restoran yang berada di dalam sebuah mall tersebut. Mereka masuk kedalam sebuah toko dari brand ternama, lalu berpencar mencari hadiah masing-masing. "menurut kamu, pas gak sama ukuran kaki Gerald?" tanya Kei setelah masing-masing mendapatkan pilihan mereka. Kei Sepatu dan dia jaket. Dio melihat sepatu yang Kei pilih untuk teman selebgram mereka. "Pas, ukuran kaki Gerald sama dengan ukuran kaki saya" jawab Dio. Kei tertawa pelan "so sweet banget sampe bisa tahu ukuran kaki Gerald" Dio hanya tersenyum samar "dia pernah pinjam sepatu futsal saya" Setelah selesai membayar, mereka melangkah keluar. Baru tiga langkah keluar dari toko, Dio berpapasan dengan Aurora yang nampak marah. "Kak Dio" lirih Aurora setelah melihat seorang wanita berdiri disamping Dio. "Ra" Dio ikut memanggil. "kak, aku mau minta maaf" ucap Aurora kemudian. Dio mengerutkan kening, bingung. "saya pergi duluan ya, sampai ketemu lagi" ucap Kei tiba-tiba. Dio mengangguk "iya" "ka" Aurora kembali memanggil Dio untuk mendapat fokusnya lagi. "kita ke mobil" ajak Dio kemudian. "ada apa?" tanya Dio langsung setelah dia dan Aurora berada di mobil. Aurora menghela napas, kedua tangannya saling mer*mas untuk mengatasi gugup. "Ra" panggil Dio dengan lembut sambil meraih kedua tangan Aurora untuk di genggam. "Diki b******k" "dia apain kamu?!" Emosi Dio seketika menaik. "Dia jadiin aku taruhan" "b******n!" maki Dio. Aurora mulai menangis "Pas Diki pergi ke toilet, aku liat chat masuk tentang taruhan itu di hp dia" Dio mengembuskan napas, menahan emosi lalu membawa Aurora kedalam pelukannya. "maaf ka, maaf karena aku udah marah-marah sama Kak Dio tadi pagi. Padahal aku bodoh banget sampai bisa dijadiin taruhan" "udah, kamu aman sekarang. Kamu mau aku tonjok dia?" Aurora menggeleng "aku udah nampar dia tadi" "bagus" "Kak" Aurora melepas pelukan dengan Dio. Dengan sisa-sisa air mata yang menggenang, Dia menatap Dio "aku suka sama Kak Dio. Suka sebagai pria, bukan sebagai kakak laki-laki" Dio terdiam. Benar-benar diam. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD