Malam itu, Semarang benar-benar tenggelam dalam langit kelabu. Angin lembab berhembus membawa bau tanah basah bercampur asap knalpot kota. Dari balik jendela apartemennya, Ryan menatap kosong ke luar. Tangannya menggenggam salib kecil yang selalu ia bawa. Kepalanya masih berdenyut, tubuhnya lemah, dan rasa panas di tenggorokannya membuatnya kesulitan bernapas. Sudah lebih dari seminggu ia menerima panggilan misterius itu, namun ia menolak. Ia tahu itu pasti Dewi. Dan ia tahu, sekali ia melangkah ke rumah perempuan itu, sesuatu akan menjeratnya. Namun sore tadi, pesan pendek itu masuk. Kata-kata yang ditulis Dewi membuat dadanya bergemuruh. "Kalau kamu masih ingin menjalin tali silaturahmi, datanglah. Nu dan aku sakit. Gak ada tetangga atau saudara yang berani mendekat." Ryan sempat mem

