bc

Belenggu Hati

book_age16+
293
FOLLOW
2.8K
READ
HE
friends to lovers
confident
stepfather
heir/heiress
drama
bxg
mystery
loser
civilian
like
intro-logo
Blurb

Kanaya kehilangan dunianya setelah mendapati pacarnya selingkuh dan kehilangan pekerjaan. Dengan tekadnya, dia memutuskan berjuang sendirian meskipun keluarganya yang dia tinggalkan bersedia membantunya.

Untuk mengejar mimpinya, dia berjualan makanan dan bekerja sebagai pengasuh anak dan yang membuatnya dekat dengan seorang lelaki yang kemudian malah memanfaatkannya.

chap-preview
Free preview
Kalah Perang
Kanaya memejamkan mata seraya berharap, saat membuka mata, adegan yang disaksikannya telah berganti seumpama menonton film saja. Tapi, apa yang terjadi di depannya bukanlah layar yang menyajikan cerita rekaan, melainkan kisah nyata, tentang pengkhianatan Denny, pacarnya. Rencana Kanaya memberikan kejutan pagi hari dengan membawakan sarapan untuk Denny ke apartemennya, buyar sudah. Ia menemukan lelaki yang sudah dipacarinya selama dua tahun itu sedang tidur berpelukan dengan perempuan lain di kamarnya. Dada Kanaya bergemuruh, tubuhnya panas dingin. Ia ingin berteriak, namun mulutnya terkunci rapat. Hanya sebelah tangannya yang menggebrak pintu kamar keras, sebelum tangan yang lain menyiramkan jus buah ke tubuh keduanya yang setengah telanjang. Seketika, Denny dan perempuan itu terjaga. Lelaki itu terkejut melihat kehadiran Kanaya yang tidak diduganya. “Kanaya,” desisnya. Kanaya hanya bisa menatap Denny dengan kebencian yang meluap ruah. Tanpa berkata apapun, dia berbalik dan pergi meninggalkan apartemen. Tak dihiraukannya sudah suara Denny yang memanggil-manggil namanya dan berusaha mengejarnya. Di dalam taksi yang membawanya ke tempat kerjanya, Kanaya berusaha keras menahan tangisnya. Baru di toilet kantor, ia meluapkan air matanya. Cukup asal terkurangi sedikit saja emosinya. Sebab, ia tak mau membuat heboh rekan-rekannya. Tiga puluh menit mengurung diri di bilik toilet, Kanaya keluar. Dicucinya wajahnya yang sembab, dan dikompresnya matanya yang memerah. Dipolesnya lagi wajahnya dengan pelembab dan bedak agar kembali cerah. Meski siapapun yang melihatnya masih bisa melihat jejak habis menangis di matanya. Ia tidak peduli. Di meja kerjanya, Kanaya lama duduk termenung menatap layar laptop. Di benaknya, kejadian tadi pagi di apartemen Denny terus-menerus terulang. Dia tak perlu lagi penjelasan apapun. Apa yang disaksikannya sudah menerangkan semuanya. Ia memang sedikit mencurigai sikap Denny yang agak berubah akhir-akhir ini. Hanya saja, ia tak menyangka lelaki itu akan sedemikian tega menyakiti dirinya dengan mengkhianati kepercayaan dan komitmennya. “Kanaya! Kamu dipanggil Pak Bos!” Seorang rekannya menyentuh tangannya. Kanaya pun tersadar dari lamunan nestapanya “Ada apa?” tanyanya. Rekannya mengangkat bahu. Dengan perasaan tak karuan, Kanaya masuk ke ruangan atasannya. Di dalamnya, sudah ada semua petinggi perusahaan yang menatapnya tajam tidak bersahabat. Sekejap, Kanaya gentar. Ia berpikir, kesalahan apa yang telah dibuatnya sehingga semua orang bersikap begitu sinis kepadanya. “Kanaya! Tanda tangan siapa ini?” Atasan langsung Kanaya melemparkan setumpuk berkas berisi persetujuan pembayaran atas bukti-bukti pengeluaran dan pembelian yang diajukan salah seorang rekannya saat menjalankan tugasnya. Semua, memang dirinya yang menandatanganinya. “Tanda tangan saya.” Kanaya mengakui. “Kamu cek ngga, bukti-bukti kwitansi itu benar atau tidak?” Kanaya memeriksa lagi satu-persatu berkas yang ada. Ia baru menyadari bahwa memang banyak jumlahnya tidak wajar. Ia bingung sendiri bagaimana bisa nilainya berubah. Seingatnya ia tidak pernah menyetujui pengeluaran yang aneh-aneh. Dengan keberaniannya, Kanaya membela diri bahwa ia tidak tahu siapa yang telah memanipulasi dokumen-dokumen tersebut. Namun, semua tidak peduli. Sampai pening kepalanya mendebat, tak ada yang mau mendengarkannya. Hatinya yang baru saja terluka parah, bertambah perih dengan tekanan para pimpinannya. Dia dianggap bersekongkol menggelapkan uang perusahaan bersama rekan kerjanya yang sudah diinterogasi sebelumnya. Kanaya dipaksa mengundurkan diri tanpa hak apapun, dengan tetap mengembalikan separuh uang yang telah digondol rekan kerjanya itu. Ia dianggap bertanggung jawab membuat kejadian ini terjadi. Kanaya yang tidak bisa berpikir jernih akhirnya menerima keputusan tersebut. Rasa pedih di dadanya mendorongnya untuk segera pergi dari tempat itu. Ia hanya ingin cepat berada di tempat yang tenang, bersembunyi dan meratapi nasibnya. Nominal uang yang harus digantinya, setara dengan isi rekeningya. Tanpa berpikir panjang, ia menransfer semuanya. Setelah itu, tanpa berpamitan dengan siapapun, Kanaya meninggalkan tempatnya bekerja selama dua tahun terakhir ini. Di kamar kosnya, ia menangis tersedu. Batinnya remuk dan lelah. Ia seperti orang yang kalah perang dua kali dalam seharian. *** Seminggu Kanaya meratapi nasibnya. Ia tidak mempedulikan telefon siapapun. Denny yang mendatangi kosnya pun diusirnya. Ia sudah mati rasa dan tidak mau bertemu lagi dengan lelaki yang telah menghancurkan hati dan hidupnya hingga terbelah-belah berantakan. Setelah merasa cukup berduka, Kanaya yang sejak ibunya meninggal lima tahun lalu, terbiasa menghadapi masalahnya sendirian mencoba membujuk dirinya untuk bangkit. Sehabis mandi dia membuka laptopnya dan mulai mencari lowongan kerja baru. Dia juga menghubungi komunitas kerjanya dengan harapan ada yang bisa membantunya. Namun, informasi negatif tentang apa yang dilakukannya rupanya cepat tersebar. Hampir semua yang dihubunginya menyalahkan dan menghujat tanpa meminta penjelasan versi dirinya. Kanaya jadi ciut jiwanya. Hanya Sabrina, teman kuliahnya yang masih percaya dan mau menemui serta mendengarkan ceritanya. “Kasihan amat kamu, Ka.” Sabrina berkata prihatin kala Kanaya mengunjunginya di apartemennya. Kanaya tidak bisa menjawab. Dia hanya bisa meresapi kepedihannya. “Berarti, kamu sudah putus dari Denny?” tanya Sabrina sambil memberikan teh hangat untuk Kanaya yang duduk memeluk lututnya di sofa. “Iya.” “b******n sih memang dia itu. Kalau pacarku begitu, sudah kuinjak-injak pastinya.” Sabrina berucap gemas sambil duduk di samping Kanaya. Kanaya hanya tersenyum. Dirinya memang tidak memiliki rasa percaya diri dan nyali yang teramat tinggi seperti Sabrina. Wanita memiliki segalanya. Kecantikan yang nyaris sempurna, berasal dari keluarga berada, pintar pula, walaupun agak sedikit angkuh. Semasa kuliah, Sabrina aktif di berbagai kegiatan ilmiah. Makanya dia memilih menjadi dosen sebagai profesinya. “Soal pekerjaan, kenapa kamu nggak meminta tolong ayahmu saja?” saran Sabrina. Kening Kanaya berkerut. Kepalanya menggeleng. Meskipun ayahnya kaya dan merupakan pengusaha transportasi sukses di Bandung, dia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak pernah meminta bantuan apapun pada ayahnya, sejak lelaki itu lebih memihak isterinya yang baru alias ibu tiri Kanaya. Dua tahun yang lalu, Kanaya memilih meninggalkan rumahnya karena tak tahan diusik cara hidupnya oleh Anggi, ibu tirinya. Dia yang sebelumnya manja dan terbiasa hidup dilimpahi kemudahan dianggap pemalas. Apapun yang dilakukan Kanaya dinyinyiri. Ditambah lagi ia menolak dijodohkan dengan keponakan ibu tirinya yang ia tahu hanya ingin menumpang hidup pada ayahnya. Entah diracuni apa, ayahnya malah sependapat dengan anggapan isterinya dan marah karena dia menolak perjodohan tersebut. “Ayahmu pasti mau membantu,” sambung Sabrina meyakinkan. “Nggaklah. Selama ayahku masih bersama nenek lampir itu, aku malas ketemu dan meminta apapun darinya. Lagian, dia sudah nggak sayang lagi sama aku. Sejak aku pergi dari rumah, mana pernah dia nyariin aku.” Kanaya menyanggah sedih. “Kalau kamu nggak pulang-pulang, nanti harta ayahmu dihabisin sama nenek lampir itu!” Sabrina mengingatkan. Kanaya kembali menggeleng. Ia tidak peduli dengan hal itu. Ketika dicap pemalas, ia malah ingin membuktikan bahwa dirinya bisa berhasil tanpa bantuan apapun dari ayahnya. “Terus, kamu mau ngapain? Bukannya sulit cari kerja baru saat ini. Perusahaan yang kamu lamar pastinya akan mengecek referensi pekerjaan sebelumnya. Sementara kamu sudah punya catatan cacat… Atau mau jadi dosen juga kayak aku?” “Nggak!” Kanaya cepat menolak. Sabrina tertawa. Ponsel Kanaya di atas meja berbunyi. Ibu kosnya mengirimkan pesan mengingatkan dirinya besok adalah hari terakhir pembayaran sewa kamarnya. Kanaya menekan pelipisnya. Ia bingung. Tabungannya sudah habis, sedangkan uang di dompetnya tidaklah cukup. Ibu Kos nya terkenal agak kejam. Terlambat lebih dari tiga hari saja sudah akan disuruh pindah ke tempat lain. “Kenapa, Ka?” Kanaya mendesah. “Hei! Ada apa?” Sabrina mendesaknya. “Ibu kos nagih bayaran. Aku nggak punya uang sama sekali.” Kanaya menjawab lirih. “Oh.” “Sab… Boleh aku minta tolong?” tanya Kanaya putus asa. “Apa?” “Pinjami aku uang?” Kanaya bertanya pelan. Sabrina menatapnya dalam. Kanaya pun menunduk malu. Dia sungguh telah menelan harga dirinya dengan meminta pertolongan Sabrina. “Kalau nggak bisa, nggak apa-apa.” Kanaya menegarkan dirinya. Ia tak mau terkesan begitu mengemis. “Untuk bayar kos?” tanya Sabrina. “Iya.” Sabrina terdiam. Kanaya semakin menundukkan kepalanya. Beberapa saat udara di antara mereka berdua hening. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
10.2K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
30.9K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
35.6K
bc

Pacar Pura-pura Bu Dokter

read
3.0K
bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
50.8K
bc

Desahan Sang Biduan

read
53.6K
bc

Silakan Menikah Lagi, Mas!

read
13.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook