“Kalau nggak bisa, nggak apa-apa.” Kanaya menegarkan dirinya. Ia tak mau terkesan begitu mengemis.
“Untuk bayar kos?” tanya Sabrina.
“Iya.”
Sabrina terdiam. Kanaya semakin menundukkan kepalanya. Beberapa saat udara di antara mereka berdua hening.
“Kalau bulan depan kamu belum mendapatkan kerja juga, lalu bagaimana? Terus, gimana juga biaya kamu makan?” tanya Sabrina. Dia berpikir panjang sebelum mengabulkan permintaan temannya.
Kanaya tidak bisa menjawab. Ia meraba lehernya. Di sana tergantung kalung pemberian ibunya saat ia berulang tahun kelimabelas. Benda itu satu-satunya barang berharga yang ia miliki. Semua warisan perhiasan peninggalan ibunya disimpan di save deposit box sebuah bank yang kuncinya disimpan ayahnya. Jika keadaan membaik, terlintas di pikirannya untuk menggadaikan kalung itu. Meski artinya sama saja dengan memenggal kenangan dan bagian jiwa ibunya dari dirinya.
“Begini saja, sementara kamu belum dapat pekerjaan lagi, kamu boleh tinggal bersamaku.” Sabrina menawarkan kesempatan lain.
Kanaya mengangkat wajahnya, memandang Sabrina tak percaya.
“Kadang aku butuh teman juga di sini,” sambung Sabrina.
“Serius, Sab?” Kanaya masih ragu.
“Serius. Tapi, aku minta tolong kamu bantu bersih-bersih dan membantu laundryku ya. Soalnya, aku sedang terlibat penelitian di Sukabumi, kemungkinan aku akan sering pulang malam atau bahkan menginap di sana,” tegas Sabrina. “Kalau kamu mau, kamu bisa pindah besok. Kalau soal makan, kamu ngga perlu khawatir. Kamu pintar masak, kan? Kulkasku selalu penuh bahan makanan.”
Hati Kanaya meletup sedikit. Bersih-bersih, laundry, memasak… terdengar seperti Sabrina memanfaatkan dirinya menjadi asisten rumah tangganya saja. Dia menekan dan mengusir jauh rasa tersinggungnya. Kanaya berpikir sejenak. Sesungguhnya, ia jarang melakukan pekerjaan domestik rumah tangga seperti menyapu, mencuci dan lainnya. Dulu dia anak tunggal yang tak pernah hidup susah. Di tempat kosnya, dia biasa membayar mba penjaga kos untuk membersihkan kamarnya serta mengurus pakaiannya.
Namun, dengan kondisinya yang papa begini, selayaknya dia memang bersabar dan mengambil peluang apa saja yang tersedia.
“Gimana?”
“Oke!” Kanaya menyetujui. Ia membesarkan hatinya. Kanaya yakin, tak selamanya ia akan menumpang hidup kepada temannya ini. Dia akan berjuang secepat mungkin bisa berjalan dengan mengangkat wajahnya lagi.
Sabrina tersenyum puas. Kanaya merenungi kata-kata Sabrina sebelumnya. Kalimat ‘kamu pintar masak, kan’ terngiang-ngiang dan memunculkan ide yang membuat dirinya mendadak bersemangat.
“Sab! Menurutmu, beneran masakanku enak?”
“Iya. Aku paling suka sambal cumi buatanmu.” Sandra mengingatkan salah satu makanan favoritnya.
Saat kuliah dulu, Kanaya dan Sabrina serta beberapa kawan lainnya menyewa satu rumah di dekat kampus. Dirinya paling sering mendapat giliran memasak karena yang dihasilkannya memang terkenal enak. Tak sia-sia memang mamanya dulu mengajarinya memasak walaupun sebenarnya sudah ada asisten yang khusus menyiapkan makanan.
“Hmm, aku jadi terpikirkan berjualan makanan, Sab. Misalnya sambal cumi itu. Ya, open PO aja dulu… Menurutmu gimana?”
Sabrina mengangguk-angguk. “Oke, sih!”
“Berarti, boleh kupakai dapurmu untuk masak-masak?” tanya Kanaya hati-hati.
“Boleh aja. Yang penting dapurku selalu bersih, dan aku da[at makanan gratis.” Sabrina mengedipkan matanya.
Keduanya bersalaman tanda sepakat.
Dua hari kemudian, Kanaya sudah sepenuhnya tinggal bersama Sabrina. Dia menempati kamar kecil di apartemen berkamar dua tersebut. Dia sengaja tidak membongkar semua isi kopernya sebab, selain lemarinya tak cukup, dia berniat hanya akan sesaat saja dia menetap di sini.
Sambil mengirimkan lamaran kesana-sini, Kanaya memulai rencananya menjual makanan. Dengan sisa uang terakhirnya, ia membeli bahan masakan sambal cumi yang disukai Sabrina. Setelah jadi, difotonya seartistik mungkin, dan diiklankannya di status media sosialnya.
Dalam waktu singkat, sejumlah teman lamanya merespon dan memesannya. Kanaya girang bukan main. Dengan uang pinjaman Sabrina, dia bergegas ke pasar membeli bahan yang dibutuhkan dan juga toples-toples plastik untuk wadahnya. Dia juga membuat stiker merek untuk ditempelkan di kemasan produknya supaya berkesan profesional. Sederhana saja. Kanaya’s food.
Senin malam, saat Sabrina pulang, Kanaya baru selesai mengkonfirmasi penerimaan pesanan masakannya yang dikirimkan melalui kurir, dan mengecek pembayaran yang sudah masuk ke rekeningnya. Dia senang, sebab keuntungan yang ia dapat cukup banyak. Jika penjualan berikutnya menghasilkan jumlah yang sama, ia sudah bisa langsung membayar kembali pinjamannya kepada Sabrina.
“Wow! Lumayan juga ya hasilnya.” Sabrina kagum dengan pencapaian Kanaya.
Kanaya tertawa kecil. Ia sendiri tak menyangka.
“Masih ada lebih ngga? Tetangga di nomor1 612 minat kalau masih ada. Tadi, aku tawarin dia pas barengan naik lift,” tanya Sabrina.
“Ada, tiga toples lagi!” Kanaya memang sengaja menyisakannya untuk Sabrina.
“Kamu antar satu aja ke tempatnya. Namanya Rahagi. Bilang aja aku yang suruh.” Sabrina menghempaskan tubuhnya ke sofa.
Kanaya menurut. Dengan langkah ringan, dia keluar. Apartemen yang dimaksud Sabrina terselang dua pintu dan di posisi berseberangan dengan apartemen Sabrina. Letaknya di ujung lorong.
Rahagi membuka pintu menyambutnya ramah, namun tak banyak bicara. Kanaya sempat terpukau dengan sosoknya. Tubuhnya tinggi dan tegap. Wajah tampannya berkumis dan bercambang tipis, yang memancarkan karisma dan wibawa yang menawan. Jika dalam kondisi normal, Kanaya mungkin akan langsung terpesona dan tergetar hatinya. Tapi, jiwa dan batinnya yang masih terluka parah hanya bisa terkagum sesaat saja tanpa ada ketertarikan.
Kanaya menunggu di depan pintu, sementara Rahagi ke dalam mengambilkan uang. Dari celah yang terbuka, Kanaya mengintip sedikit. Apartemennya lebih luas dibanding milik Sabrina.
“Ini!... Terima kasih!” Rahagi muncul dan menyodorkan sejumlah uang senilai yang disebutkan Kanaya sebelumnya.
Dengan senyum sumringah, Kanaya menerimanya.
“Terima kasih, Kak! Kalau suka, pesan lagi, ya!” Kanaya spontan menyebut Rahagi dengan sapaan ‘Kakak” karena menilai dia lebih tua darinya namun terlalu muda untuk disebut ‘bapak’.
Lelaki itu tersenyum. Tipis.
Kanaya kembali ke tempatnya sambil memikirkan akan membuat makanan apa lagi untuk lusa. Ia berencana akan membuka pemesanan seminggu tiga kali dengan menu yang berbeda-beda, sembari menguji minat dan selera pemesannya.
Di kamarnya, Kanaya sedang membalas komentar teman-temannya tentang makanannya hari ini. Hampir seluruhnya terkesan dengan cita rasanya. Beberapa dari mereka bahkan sudah mendaftar untuk pemesanan berikutnya. Kanaya berbaring memejamkan matanya dan tersenyum puas. Dia meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan segera baik-baik saja. Ia percaya, jika sebuah pintu menutup untuknya, itu artinya sudah ada pintu-pintu lain yang terbuka menunggunya masuk.
Kisah perjalanan hidup di dunia kerjanya kemarin memang sudah berakhir. Begitu juga cerita cintanya. Setelah terpuruk beberapa waktu, dia kini siap menjalani babak perjalanan selanjutnya.
Rasa lelah menyebabkan Kanaya tertidur sangat lelap. Dia bangun selepas subuh. Semalam, Sabrina bilang dia akan ke Sukabumi pagi-pagi. Jadi, Kanaya harus menyiapkan sarapan lebih awal. Karena Sabrina hanya makan karbohidrat siang hari, Kanaya menyiapkan salad sayuran dan buah potong untuknya. Tengah ia mengaduk dressing untuk salad, pintu kamar Sabrina terbuka.
“Saladnya mau kubuatkan lebih untuk bekal, Sab?” tanya Kanaya.
Sabrina tidak menjawab. Naluri Kanaya memaksanya menoleh. Sosok yang berdiri di pintu kamar, bukanlah Sabrina. Tetapi lelaki yang belum dikenalnya. Dia bertelanjang d**a dan hanya mengenakan celana pendek. Cepat Kanaya berpaling. Dadanya begemuruh karena kaget.
“Ehmm… Sabrina masih tidur,” katanya
Kanaya tidak menyahut. Tangannya semakin cepat bergerak seiring dengan langkah kaki lelaki itu yang mendekatinya. Kanaya dapat merasakan tajam matanya menelusuri wajah dan tubuhnya yang hanya berbalut celana pendek dan kaus tanpa lengan.
“Permisi!” Kanaya meletakkan mangkuk dressingnya di meja dan bergegas ke kamarnya.
Dia menutup pintu dan menguncinya. Ia sungguh tak nyaman dengan keberadaan lelaki tersebut. Entah jam berapa dia datang semalam. Pastinya saat Kanaya sudah tertidur. Sabrina memang belum pernah mengenalkan pacar barunya. Meski sudah maklum dengan model pacaran Sabrina yang tanpa batas, ia jengah juga. Seandainya dia diberi tahu bila kekasihnya akan menginap, tentu Kanaya akan bersiap. Terutama menjaga pakaiannya agar tidak terlalu terbuka seperti sekarang.
Kanaya bersembunyi di kamarnya cukup lama sampai dia mendengar suara Sabrina, tanda temannya itu sudah bangun. Dia menutupi tubuhnya dengan kaus gombrong dan celana panjang rumahan sebelum kembali ke dapur untuk menyelesaikan persiapan sarapan. Lelaki tadi sepertinya berada di kamar Sabrina yang tertutup. Terbukti dari suara-suara percakapan dan gelak tawa di dalamnya.
Selesai Kanaya menyajikan makanan di meja, Sabrina keluar dengan dandanan rapi, diikuti dengan pacarnya yang sudah berpakaian lengkap.
“Hei! Sabrina menyapanya.
Kanaya tersenyum.
“Kamu sudah kenal Alex? Pacarku?” Sandra bertanya tanpa ada sungkan sama sekali.
“Belum.” Kanaya menjawab jujur.
“Sayang! Kenalin nih! Ini Kanaya, dia sementara tinggal di sini.”
Lelaki itu mendekati Kanaya. Dengan lampiran senyum, dia mengulurkan tangannya. Kanaya menyambutnya sopan. Meski begitu, tetap saja dia risih dan jengah. Entah mengapa ia merasa resah berdekatan dengan Alex. Seperti ada sesuatu yang membuatnya takut dari gestur dan pembawaannya.
Sabrina memperhatikan kekikukkan Kanaya. Ia mengakui salahnya dia tidak memberi tahu gadis alim itu tentang kehadiran Alex. Tapi, dia pun tak tahu pacarnya itu akan datang saat tengah malam. Sabrina enggan mempedulikannya lebih lanjut. Baginya, Kanayalah yang harus menyesuaikan diri dengan kehidupannya. Sebab, ruang yang mereka tempati bersama adalah miliknya.
Seusai sarapan, Sabrina dan Alex berpamitan pergi. Alex tersenyum memandangi Kanaya. Kesan nakal di ujung matanya seketika membuat perut Kayana mual. Dia jadi teringat Denny. Dan hal itu sungguh membuatnya jijik.
***