Selepas Sabrina dan Alex pergi, Kanaya pergi ke pasar terdekat untuk membeli bahan-bahan sambal cumi lagi. Karena cukup banyak yang menyukainya, ia berencana membuka slot pemesanan lagi besok dengan jumlah dua kali lipat dari sebelumnya. Sambil berjalan, ia menyebarkan promo kembali di media sosialnya.
Saat di perjalanan, Denny mengiriminya voice note menanggapi statusnya dan memesan masakannya. Kanaya tidak membalasnya. Dia malah memblokir nomor. Baginya, lelaki itu sudah tak pantas ada di kehidupannya lagi.
Kanaya kembali ke apartemen dengan langkah riang. Sedari tadi ponselnya berbunyi terus menandakan pesan masuk yang ingin membeli sambal cuminya. Begitu keluar lift, tiba-tiba seorang wanita yang bergegas hendak melintasi pintu yang masih terbuka menabraknya hingga dia terjatuh dan isi tas belanjaannya memburai berantakan.
“Sagita!” seru Rahagi yang berlari dari ujung lorong memanggil wanita itu, yang malah cepat-cepat menutup pintu lift, sambil menatap Kanaya tanpa berkata apapun.
Kanaya merengut sendiri. Rahagi berdiri di depan lift dengan raut wajah sangat jengkel. Dia tidak berhasil mengejar wanita dingin itu.
“Kamu ngga apa-apa?” Rahagi mengulurkan tangan membantu Kanaya berdiri. Kemudian berlutut membantu memberesi tas belanjaannya.
“Terima kasih.” Kanaya bermaksud mengambil tasnya. Namun, Rahagi malah mendahului memegang tas itu.
“Biar kubawakan!” katanya.
Ketegasan di suaranya membuat Kanaya enggan membantah. Ia berjalan di depan Rahagi menuju pintu apartemennya. Di ujung lorong, di depan pintu Rahagi, berdiri seorang gadis kecil yang tengah memperhatikan mereka.
“Papa?” panggilnya.
“Tunggu sebentar di sana, Nak!” sahut Rahagi.
Kanaya membuka pintu sambil menebak-nebak sendiri dalam hati. Gadis kecil itu berarti anak Rahadi, dan wanita tadi kemungkinan besar adalah isterinya. Mungkin suami isteri tadi itu habis bertengkar.
Tapi, waktu dia mengantarkan makanan, lelaki tampaknya tinggal sendiri.
Pintu terbuka, Kanaya sengaja berdiri ditengahnya, merasa Rahagi cukup membawakan tasnya sampai di situ. Lelaki itu juga tampaknya enggan melangkah lebih dari posisi tersebut.
“Terima kasih, Kak!” Kanaya tersenyum sopan.
“Maafkan ibunya anakku tadi.” Rahagi meminta maaf atas nama isterinya.
Kanaya mengangguk.
“Kamu benar ngga apa-apa? Kulihat kamu terjatuh cukup keras tadi.” Rahagi masih mengkhawatirkan keadaan Kanaya.
“Ngga apa-apa, Kak.”
“Oke!” Rahagi tersenyum. “Kalau kamu membuat sambal cumi lagi, kirimkan ke tempatku, ya!”
“Kakak suka?”
“Ya.”
“Oke, Kak!” Kanaya gembira karena sepertinya ia mendapatkan pelanggan tetap di sini.
Rahagi berbalik pergi. Kanaya berpaling melihat gadis kecil yang berdiri di sana. Dia tersenyum melambaikan tangannya. Gadis kecil itu membalasnya dengan senyum yang lebih lebar.
***
Esoknya, seperti kemarin, Sabrina pergi pagi-pagi bersama Alex. Kanaya mendekam di kamarnya kala lelaki itu tiba semalam. Sehabis menyiapkan sarapan, ia juga memilih kembali di persembunyiannya. Baru setelah meyakini dirinya benar-benar sendiri, ia keluar kamar.
Seusai membersihkan dan merapikan seluruh ruangan, Kanaya mulai sibuk memasak. Tengah ia bersiap memblender bumbu, pintu terketuk. Dari lubang pengintai, ia melihat Rahagi dan anaknya berdiri di depan pintu.
”Hai!” sapa Rahagi dari celah pintu yang dibuka Kanaya.
”Ya?” Kanaya tersenyum kikuk.
”Boleh aku minta tolong?” tanya lelaki berwibawa yang berpenampilan sangat rapi itu.
”Apa, Kak?” tanya Kanaya. Dia sedikit menengadah untuk memandang langsung wajah Rahagi. Tingginya hanya sebahu Rahagi.
”Bisa aku meminta bantuan menjaga Alana?”
Kanaya langsung mengalihkan pandangannya pada gadis kecil berparas cantik tersebut. Dia teringat wanita yang menabraknya kemarin. Anak ini agak mirip dengan ibunya.
”Alana sedang tinggal bersamaku, soalnya ibunya sedang pergi keluar kota. Masalahnya, aku harus kerja. Kemarin dia kutitipkan di daycare. Tapi, hari ini dia ngga mau kesana, sementara aku ngga mungkin juga membawa dia ke tempat kerja... Jadi, kalau berkenan, bisakah kamu menemaninya?”
Alana tersenyum manis pada Kanaya. Seketika, Kanaya jatuh cinta melihat senyumnya. Dia tidak keberatan menjaganya, namun ada sedikit pernyataan Rahagi yang mengusiknya. Apa maksudnya kalimat ’Alana sedang tinggal bersamaku’? Apakah artinya mereka hidup terpisah?
”Bagaimana?”
”Ya, bisa. Tapi, aku sambi masak ya, Kak.”
Rahagi tampak sangat lega. Dia berlutut menghadap ke anaknya. ”Ngga apa-apa kamu sama Tante Kanaya sampai papa pulang?”
Kanaya heran sendiri. Seingatnya dia belum pernah menyebutkan namanya di depan Rahagi. Dari mana dia tahu namanya?
”Ngga apa-apa.” Alana menjawab yakin.
”Oke!”
Rahagi berdiri lagi.
”Aku sudah menelfon Sabrina, minta tolong ke dia juga supaya mengizinkan Alana bersama kamu di tempatnya. Tapi, kalau memang Alana mau tidur siang atau berganti baju, ke tempatku saja.” Dia menyodorkan kunci apartemennya pada Kanaya.
”Ya, Kak.” Kanaya menerima kunci tersebut.
Ya, sudah tentu Rahagi sudah menelfon Sabrina terlebih dahulu. Pasti dari temannya itu, lelaki ini tahu namanya. Tidak mungkin juga Rahagi akan menitipkan anaknya kepada Kanaya tanpa memastikan dulu siapa dirinya.
”Boleh kuminta nomormu?” Rahagi mengeluarkan ponselnya.
Kanaya menyebutkan sederat angka. Setelah mengirimkan nomornya sendiri kepada Kanaya, Rahagi berpamitan pergi.
”Yuk, masuk!” Kanaya membuka pintunya lebar. Alana masuk, dan dengan sopan dia duduk di sofa.
”Kamu sudah sarapan?”
”Hmm.. Sudah.”
”Sarapan apa?” Kanaya menyalakan TV dan mencari saluran anak.
”Papa buatin telur dadar sama cereal. Tapi, telurnya ngga enak. Ngga ada rasanya,” jawab Alana.
Kanaya tertawa. Begitulah anak-anak. Dia akan menjawab apa adanya tanpa sungkan.
”Kenapa kamu ngga mau dititipkan di daycare?”
”Ngga enak. Membosankan! Miss yang jaga ada yang galak!”
”Terus, kenapa mau ditemani aku?”
”Soalnya Tante baik.”
”Tahu darimana aku baik? Kan kita baru kenal?” Kanaya heran.
”Aku tahu aja.” Alana tersenyum.
Ada yang pernah bilang, bahwa anak kecil memiliki intuisi yang tajam dalam menilai hati seseorang. Mungkinkah hal itulah yang membuat Alana percaya pada Kanaya.
Alana anak yang manis sikapnya. Dia memperhatikan Kanaya memasak sambil duduk di kursi pantry. Mulutnya yang ceriwis bertanya segala macam tentang yang sedang dilakukan Kanaya. Dia juga bercerita tentang orang tuanya. Dari obrolan mereka, Kanaya jadi tahu kalau Rahagi dan Sagita telah bercerai sejak dua tahun lalu. Alana tinggal bersama mamanya yang sering bepergian. Sabtu dan minggu, biasanya dia menginap di tempat Rahagi.
”Mama pergi-pergi terus, Tante. Biasanya aku ditemanin sama Mba Yanti. Tapi, kemarin itu Mba Yanti pulang kampung habis dimarahin mama. Jadinya aku ngga ada yang nemanin. Akhirnya aku dikasih ke papa,” tutur Alana.
Ada rasa iba yang muncul di hati Kanaya mendengar penuturan anak itu. Sebagai sesama anak tunggal, dia dapat memahami perasaan Alana yang kesepian tak punya teman.
”Kamu ngga sekolah dong jadinya.”
”Hmm... Kata mama ngga apa-apa. Dia sudah minta izin ke guru aku. Aku dibawain buku-buku sekolah sih. Tapi, papa ngga sempat ngajarin aku.” Alana tampak kecewa.
”Ya, nanti habis tante selesai masak, kita belajar ya!”
”Ya!”
Tengah hari, Kanaya telah selesai mengemas sambal cuminya dan mengelompokkannya berdasarkan wilayah. Setelah memesan beberapa kurir ojek online, dia mengajak Alana ke lobi apartemen dengan tentengan plastik besar di tangannya.
Setengah jam kemudian, sambal cumi Kanaya sudah dalam perjalanan menuju alamat masing-masing pemesannya.
”Selesai!” Kanaya berseru lega.
”Tante bisa ngga masak yang ngga pedes kayak sambal tadi itu?” tanya Alana sambil mengikuti Kanaya berjalan melintasi lobi.
”Bisa. Kenapa?”
”Aku lapar. Tapi, aku ngga suka pedas. Kalau papa sih suka.”
”Oke! Aku buatin ayam teriyaki aja ya. Mau?”
”Ya! Aku suka itu!”
Kanaya menggenggam tangan Alana menunggu lift. Tak lama, pintunya terbuka. Seorang wanita paruh baya yang hendak keluar dari dalamnya, berseru begitu melihat Alana.”
”Hei! Kamu Alana, ya?”
”Iya,” jawab Alana sopan.
Perempuan itu berhenti di tengah, menghadang Kanaya dan Alana. Sepertinya dia memang mengenal baik Alana.
”Kamu menginap di tempat papa?”
”Iya.” sahut Alana lagi.
”Bilang papa, nanti main ke tempat Oma Siska, ya!”
Alana mengangguk.
Perempuan itu beralih menatap Kanaya. Kanaya meresponnya dengan senyum santun.
”Kamu ini mbaknya Alana?”
Mbak?
Kanaya tertegun. Apakah dikiranya Kanaya adalah asisten rumah tangga yang mengasuh Alana?
”Bukan! Ini Tante Kanaya!” Alana yang menyanggah.
”Oh!” perempuan itu tersenyum aneh. Lalu, bersiap melangkah pergi. ”Bye, Alana!”
Dengan hati tak nyaman, Kanaya menuntun Alana masuk ke dalam lift. Di dalam kotak berkaca yang bergerak naik, Kanaya melihat pantulan dirinya. Rambut yang terikat acak-acakan, wajah yang polos sedikit berminyak, serta kaus abu-abu lusuh dan celana selutut berbau sambal. Pantas saja dia dianggap serupa dengan babu.
Kanaya mendesah. Baru kali ini dia merasa malu dengan penampilannya. Ada rasa pedih yang mencubit harga dirinya. Sungguh tak enak rasanya dianggap seolah tak berarti oleh orang lain. Padahal dua mingguan yang lalu, banyak orang menghargai dirinya karena penampilannya.
***