Kanaya tak mau larut dengan ketidaknyamanannya tersebut. Setelah menyiapkan makan siang untuk Alana, dia mandi dan memakai pelembab wajah dan bibir. Di cermin, ia dapat melihat sosok yang begitu dikenalnya. Gadis berambut sebahu, dengan wajah bulat telur sempurna, hidung bangir dan bibir penuh berlekuk yang memikat.
“Hei! Kamu cantik kok! Kalau ngga, mana mungkin Denny Si Playboy cap buaya itu kemarin mau pacaran sama kamu!” Kanaya berbicara pada gadis di pantulan cermin sembari menepuk-nepuk pipinya.
Setelah rasa percaya dirinya tumbuh kembali, Kanaya memutuskan tidak akan lagi keluar apartemen tanpa bercermin dulu. Dia sendirilah yang harus menghargai dirinya lebih dahulu dengan memperhatikan penampilannya. Paling tidak, bersih dan rapi.
Tanpa terasa waktu cepat berlalu. Sehabis makan siang , Alana menonton TV dan tertidur di sofa. Kanaya memanfaatkan waktu itu dengan mencoba resep baru untuk makan malam Sabrina. Ayam suwir kecombrang. Dia membuat cukup banyak dengan perkiraan Alex akan datang lagi nanti.
Saat sore tiba, Sabrina menelefon bahwa dia tidak pulang malam ini. Kanaya justeru senang. Sebab, jika tak ada maka Alex pun tak akan datang. Dia merasa tak nyaman dengan kehadiran lelaki itu. Dia mengenal baik pacar-pacar Sabrina sebelumnya. Tak pernah ada perasaan lain saat dia bertemu mereka. Tapi, entah mengapa dengan Alex ada yang berbeda. Seperti ada yang aneh dan janggal, yang tak bisa diungkapkan. Kanaya menyimpulkan, mungkin karena dirinya belum mengenal Alex. Sementara Sabrina memang belum bercerita banyak tentang pacar terakhirnya ini.
Alana terbangun. Sejenak, dia tampak bingung dengan sekelilingnya. Namun, begitu melihat Kanaya yang baru selesai mandi sore, gadis kecil itu tersenyum.
Kanaya mengajaknya Alana ke tempat Rahagi untuk mandi juga. Apartemen dengan ruang-ruang yang lebih besar dibandingkan milik Sabrina itu sangat berantakan. Mainan, pakaian dan buku-buku Alana dan Rahagi tergeletak di mana-mana. Di dapur, gelas dan piring kotor juga berserakan. Tapi, Kanaya lebih tertarik dengan kompor freestanding 4 tungku lengkap dengan oven yang sepertinya jarang dipakai. Dulu, ibunya mengajarinya memasak menggunakan kompor seperti ini..
Sementara Alana membersihkan tubuhnya, Kanaya tergerak merapikan kekacauan di nyaris di semua ruangan. Meski dulu terkenal manja, dia memang tak suka melihat sesuatu yang tidak diletakkan pada tempatnya.
Sembari membenahi semuanya, dia memperhatikan sekelilingnya. Apartemen ini memiliki banyak jendela. Tidak seperti tempat Sabrina yang ruang tamu, ruang makan dan dapurnya menyatu tanpa sekat, di sini ada partisi kayu dan kaca yang membatasi ruang tamu dengan ruang makan dan dapur. Dua kamar tidurnya yang berdampingan juga sedang luasnya. Ada satu kamar lain yang dijadikan ruang kerja. Dari meja gambar, monitor komputer besar, alat tulis, serta kertas-kertas yang bertebaran, Kanaya menebak Rahagi adalah seorang arsitek atau insinyur teknik.
Alana selesai berpakaian.
“Kamu mau kembali ke tempatku, atau di sini saja?” tanya Kanaya sembari menyisiri rambut hitam panjang Alana.
“Di sini aja. Katanya mau ngajarin aku belajar?” Alana mengingatkan.
“Habis belajar, makan malam ya?”
Alana mengangguk.
Setelah memberikan tugas menyalin tulisan pada Alana, Kanaya memasak nasi di rice cooker, dan mengambil makanan yang dia masak dari tempat Sandra.. Sambal cumi pesanan Rahagi, sebagian ayam suwir, serta sisa ayam teriyaki tadi siang. Juga brokoli, yang ditumisnya dengan bawang putih agar menu makanan Alana ada sayurannya.
Mengajari Alana belajar di meja makan, menjadi pengalaman yang menyenangkan bagi Kanaya. Anak kecil ini termasuk cerdas. Dengan cepat dia memahami yang Kanaya ajarkan. Dia juga anak lucu yang menggemaskan. Alana sedang bercerita tentang teman sekolahnya, bel pintu berbunyi.
Rahagi pulang.
Alana berlari menyambutnya.
“Sudah makan?” tanya Rahagi pada Alana sembari berjalan ke ruang makan. Dia terpana dengan ruangan-ruangan yang telah rapi dan bersih.
“Belum. Tapi, Tante Kanaya sudah masakin makanan.”
Rahagi menoleh dan tersenyum pada Kanaya yang berdiri setengah canggung. Dia menghampiri meja pantry tempat Kanaya menata hasil masakannya. Dengan garpu, dijumputnya seujung ayam suwir berbau wangi khas kecombrang itu.
“Enak!” pujinya.
“Tadi, aku bantuin Tante Kana masak itu!" seru Alana.
“Oh, pantas lezat!” Rahagi memuji anaknya.
"Terus, aku juga sudah belajar menulis.” Alana pamer.
Rahagi mengelus kepala Alana dan memandang Kanaya.
“Alana nakal dan merepotkan ngga?”
“Ngga, kok!” Cepat Kanaya menggeleng. “Dia anak baik.”
Alana mencubit tangan Rahagi. “Enak aja bilang aku nakal!”
“Lah, ini barusan cubit tangan papa apa? Bukannya nakal?”
“Bukan! Itu hukuman! Soalnya Papa bilang aku nakal!” Alana meruncingkan bibirnya tanda dia tak suka.
“Oke! Papa minta maaf.”
Alana tak langsung melunak. “Boleh aku nonton TV?”
Rahagi mengangguk. Alana meninggalkan Kanaya dan Rahagi.
“Aku bisa pamitan, Kak?” tanya Kanaya.
“Ya. Tapi, berapa yang harus kubayar?”
Kanaya melirik toples sambal cumi di atas di pantry. “Sambal cuminya seperti kemarin, Kak. Kalau ayam suwir dan teriyaki, itu sih makanan percobaan aja. Mudah-mudahan enak.”
Kening Rahagi berkerut sedikit. Kanaya sedikit menciut, takut perkataannya ada yang salah.
“Maksudku, biaya jasa kamu menemani Alana, dan juga bersih-bersih.”
Ganti kening Kanaya yang berkerut. Dia sama sekali tidak mengira Rahagi akan menanyakan hal demikian, menilai niat tulusnya membantu kesulitannya hari ini dengan nominal uang.
“Maaf, bukan maksudku menyinggungmu.” Rahagi menangkap kesan tak nyaman di raut muka Kanaya.
Kanaya resah. Ia teringat komentar ibu-ibu yang menegur Alana di depan lift tadi siang. Juga kesepakatannya dengan Sabrina agar ia bisa tinggal sementara di apartemennya. Sejenak ia merasa seperti manusia yang menjajakan bantuannya. Dia yang dulu terbiasa berperan sebagai yanag dibantu, kini menjadi pembantu. Sementara jika dia mau menanggalkan egonya dan kembali ke ayahnya, dia adalah puteri yang berhak dengan segala kemudahan.
“Ngga usah, Kak!” Kanaya menolak. Dia kemudian mengangguk dan berjalan menuju pintu.
“Kanaya!” Rahagi memanggilnya.
Kanaya tidak menyahut. Dia bergegas keluar dan menutup pintu.
Di kamar, sambil berbaring, Kanaya mengecek emailnya. Berharap ada yang menjawab lamaran-lamaran kerjanya. Namun, tak ada satupun yang menuntaskan harapannya. Kanaya menatap kosong layar ponselnya.
Sebuah pesan masuk. Dari Rahagi.
“Boleh aku minta nomor rekeningmu? Aku cuma mau transfer bayar sambal cumi.”
Tanpa basa-basi kata, Kanaya mengirimkan permintaan Rahagi.
“Kanaya, tolong jangan marah ya karena aku menanyakan biaya jasamu tadi. Aku tidak bermaksud apa-apa. Cuma berusaha menghargai waktu dan tenagamu yang pasti tersita untuk menjaga Alana dan membersihkan tempatku. Padahal mungkin kamu bisa melakukan hal lain yang lebih penting.”
Kanaya jadi tidak enak hati.
“Aku ngga marah, Kak.”
“Oke!... Boleh aku minta tolong sedikit?”
“Apa?”
“Tolong telefon aku, bilang ke Alana, bahwa kamu besok ngga bisa menemaninya. Jadi dia harus mau dititipkan di daycare. Soalnya, ibunya baru minggu depan bisa menjemputnya lagi.”
Kanaya tertegun. Dia teringat ucapan Alana tentang daycare yang membosankan dan miss penjaga yang galak.
Bel pintu berbunyi. Kanaya bergegas menuju lubang pengintai. Dia melihat Alex di balik pintu. Bersamaan dengan itu, ponselnya berbunyi. Sabrina menelefon.
“Kanaya, tolong bukakan pintu. Alex di luar. Dia mau menginap. Mau pulang ke Serpong kejauhan dan sudah malam.”
“Iya.” Kanaya menjawab singkat.
Lantas, ia membiarkan Alex masuk. Lelaki itu tersenyum serupa dengan menyeringai. Kanaya membalasnya singkat sembari bergegas masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. Tidak hanya itu, dia juga mengganjalnya dengan nakas.
Dia dilanda cemas dan takut. Keberadaan Alex membuatnya merasa tak aman. Instingnya mengatakan dia harus segera keluar dari apartemen Sabrina. Terlalu lama jika dia mengandalkan hasil penjualan sambal cuminya untuk bisa menyewa kos lagi. Dia harus mencari jalan lain untuk mempercepatnya.
Ponselnya berbunyi lagi menandakan sebuah pesan masuk dari Rahagi, yang kembali memintanya menelefon Alana. Cepat ia menekan tombol panggilan di nomor lelaki itu.
“Halo?”
“Berapa Kakak membayar daycare kalau menitipkan Alana di sana?” Kanaya bertanya tanpa basa-basi.
“Sekitar tiga ratus ribu sehari.”
Kanaya langsung terpukau dengan nilainya.
“Oke! Kalau kakak mau bayar segitu juga, aku mau dititipkan Alana. Tapi, aku jaganya di tempat kakak aja, ya!”
“Oke!” Rahagi langsung setuju, meski sedikit heran dengan cepatnya Kanaya berubah pikiran.
Kanaya menghela nafas lega. Dia menghitung dalam hati. Uang hasil seminggu menjaga Alana, sudah cukup untuk menyewa kamar kos yang sederhana untuk dua bulan.
Semalaman itu, Kanaya tidak keluar dari kamar. Beberapa kali Alex memanggilnya, namun dia pura-pura tidak mendengar. Dia sungguh takut hanya berduaan dengan lelaki yang belum dikenalnya baik tapi sudah membuatnya tak nyaman di apartemen ini. Serasa dalam teror saja jadinya. Matanya nyaris tak bisa terpicing, sementara telinganya senantiasa waspada mendengarkan suara-suara di luar kamarnya.
***