Dimsum

1222 Words
Pagi-pagi, Kanaya sudah bangun, ke kamar mandi dan berganti pakaian di dalamnya. Sambil mengintai waspada, dia membuka pintu kamar mandi. Alex sudah bangun dan tengah membuat kopi. “Pagi!” sapa Alex. “Pagi!” Kanaya menyahut sopan. Alex memandanginya lama. Kanaya risih bukan main. “Maaf! Aku hari ini harus jadi pengasuh anak dulu. Sudah ditunggu. Kalau mau pergi, pintunya dikunci aja!” Kanaya menyela seraya menghambur keluar apartemen. “Hei!” Alex berseru. Kanaya tidak menghiraukannya. Di kantung celananya, dia sudah menyimpan kuncinya sendiri dan ponsel. Setengah berlari, dia menuju ujung lorong dan nekat menekan bel. Rahagi sedikit kaget mendapati kedatangan Kanaya yang terlalu pagi menurutnya. Ia sendiri bahkan baru saja terbangun. “Alana sudah bangun, Kak?” “Sudah.” Rahagi melebarkan pintunya, membiarkan Kanaya masuk. Kanaya merasa lega dengan penerimaan Rahagi yang seolah memberikan ruang persembunyian menghindari Alex. Dalam kurun waktu seminggu berikutnya, Alex beberapa kali menginap. Untunglah Sabrina selalu ada. Sehingga Kanaya tak harus berduaan saja dengan lelaki itu. Sabtu dan minggu, Rahagi tidak pergi bekerja. Tetapi, dia meminta Kanaya tetap menemani Alana sebab ia harus menghadiri beberapa undangan. Usaha makanannya, berlanjut. Total, ia sudah membuka lima kali open PO. Dengan menu tambahan ayam suwir kecombrang, yang ternyata juga cukup disukai. Kanaya berkhayal, kelak jika ia memiliki uang banyak, ia akan membuka usaha katering atau restoran. Ternyata bekerja sendiri memang lebih menyenangkan dan memuaskan. Sebab dia sendiri yang membuat target pencapaiannya. Seusai tamat kuliah, Ayahnya dulu pernah mengarahkannya untuk magang di perusahaannya. Cita-cita orang tuanya sebelumnya, dirinyalah yang akan meneruskan menjalankan perusahaan transportasi dan travel keluarganya. Namun, itu sebelum ayahnya menikahi isteri barunya itu. Si Nenek Lampir, begitu dia menjulukinya. Sebelum tidur, Kanaya mencoba membangun impiannya. Dia mulai menyusun rencana dan dan timeline untuk mewujudkannya. Ilmu manajemen bisnis, sudah dipelajarinya. Sedangkan ilmu pengetahuan kuliner masih sedikit yang diketahuinya. Ia memasak hanya berdasarkan resep dan nalurinya saja. Banyak yang harus dipelajarinya. Jenis-jenis makanan, teknik memasak, estetika, kualitas, rasa sampai ke gizi, dan lainnya. Dia mencari-cari informasi tentang sekolah kuliner. Dan, dia terkejut sendiri mengetahui biayanya. Meski demikian, dia menanamkan dalam keyakinan di hatinya, nanti dia akan punya cukup uang untuk belajar di sana. Sudah seminggu lebih berlalu sejak Alana dijemput mamanya. Kanaya belum sempat juga mencari tempat tinggal sendiri. Sabrina sedang cuti dan sibuk mengerjakan perbaikan proposal disertasinya yang sudah dikejar tenggat waktu. Dia jadi tak tega meninggalkannya dalam kondisi yang sedang membutuhkan dukungannya. Siang dan malam, Sabrina menghabiskan waktunya di depan laptop. Nyaris tidak mandi dan makan jika Kanaya tidak mengingatkan, padahal sudah disediakan. Alex dilarangnya menelefon apalagi datang. Hal tersebut sungguh memberikan ketenangan pada Kanaya. Setelah dua menu andalannya cukup banyak peminat, Kanaya berniat menambah satu menu lagi. Dia belajar mencoba beberapa resep dimsum sampai menemukan komposisi yang menurutnya akan punya rasa khas jika dijualnya. Sayangnya, Sabrina sedang tidak berselera makan. Penilaiannya sangatlah tidak bisa diandalkan saat ini. Untung saja Rahagi mau mencicipinya. Tiap malam, Kanaya menyambanginya hanya untuk memberikan sepiring dimsum dan menunggu komentar jujurnya yang selalu ada saja menemukan kekurangan rasanya. Akhirnya, sehabis percobaan keempat, baru Kanaya merasa sreg. Dia tak sabar menunggu Rahagi pulang. “Oke!” Hanya itu komentar Rahagi setelah dia mengunyah sepotong dimsum dengan balutan sausnya. “Oke aja?” Kanaya tak percaya. Dia sungguh berharap Rahagi memberikan ekspresi lebih. Tak perlulah tersenyum, yang memang jarang sekali dilakukan Rahagi. “Oke, enak!” Rahagi menambahkan. Hanya itu saja. Baginya, dua kata itu sudah lebih dari cukup untuk menyatakan kelezatan dimsum Kanaya kali ini. Rasa sebal Kanaya dengan tanggapan sederhana Rahagi langsung menguap, kala Rahagi menusukkan lagi garpunya di potongan kedua. “Beneran enak!” “Oke, Kak! Terima kasih, ya!” Kanaya berpamitan. “Nanti, kalau aku open PO, Kakak harus pesan, ya!” “Ya!” Rahagi menutup pintu yang dibuka Kanaya. Dia,-diam dia mengagumi semangat gadis itu yang tak pantang menyerah. Sehari sebelum sidang proposal, Sabrina telah selesai dengan bahan paparannya. Dia mengajak sekaligus mentraktir Kanaya ke salon untuk merawat rambut dan wajah. Sabrina ingin penampilannya besok fresh dan menawan. Menjelang sore keesokannya, Sabrina pulang dengan raut muka cerah. Dia berteriak gembira memberitahukan proposalnya telah lulus uji dosennya dengan hanya sedikit catatan. Kanaya turut senang. Sedang Sabrina menceritakan ujiannya tadi, Alex tiba-tiba datang. Sabrina langsung membawanya ke kamar tidurnya. Tak lama, Kanaya mendengar suara-suara hangat berisik yang membuatnya jengah dan risih. Sabrina seperti lepas kendali melampiaskan hasrat duniawi tubuhnya yang seolah tertahan akibat persiapan ujiannya. Kanaya mengambil, ponsel, dompet dan kuncinya lalu bergegas keluar. Tanpa tujuan, dia turun ke lobi. Dia berjalan menelusuri deretan minimarket, laundry dan kedai makanan dan minuman. Dibelinya segelas es mochacino dan membawanya ke kursi taman yang kosong. Kanaya duduk sendirian dan termenung. Apa yang sedang dilakukan Sabrina dan Alex menggugah ingatannya akan Denny. Dia jadi teringat hari di waktu dia menemukan lelaki itu berpelukan telanjang dengan wanita lain. Bayangan yang sudah kabur kembali menjelas lagi tajam dan menyebabkan luka di hatinya terkoyak lagi. Ia menggigit bibirnya untuk mengalihkan rasa sakitnya. *** Esok harinya, Sabrina dan Alex pergi pagi-pagi. Kanaya memutuskan pergi juga mencari kamar sewaan. Namun, kriteria kamar yang memiliki dapur sendiri cukup mahal. Sementara, ia juga harus membeli perlengkapan masak untuk tetap bisa membuat produk makanannya. Dia kembali ke apartemen saat hari sudah gelap. Sabrina belum pulang. Seusai membersihkan diri, Kanaya memutuskan makan malam dengan sisa dimsum yang disimpanya di freezer. Tiba-tiba, Alex datang. Sendiran. Kanaya tidak siap untuk bergegas pergi. Ia baru memasukkan dimsum ke dalam wadah pengukus. “Hai, Kanaya!” “Hai!” Kanaya menyahut sambil menahan gugupnya. “Masak apa?” Alex mendekat. “Dimsum.” “Masih ada porsi buatku? Aku lapar.” Kanaya mengangguk. Dia membuka kulkas, menambahkan beberapa potong dimsum beku ke dalam pengukus. Alex berdiri bersandarkan pantry memperhatikannya. “Sabrina belum pulang?” “Belum.” Jawab Kanaya. “Dia bilang padaku mungkin akan pulang besok pagi.” Dalam hati Kanaya memaki Alex. Kalau sudah tahu kapan Sabrina akan pulang, kenapa juga bertanya padanya. Kanaya berdebar menghitung timer berjalan mundur. Begitu selesai, dia meyajikan sebagian dimsum ke sebuah piring untuk Alex. Dia memutuskan tak jadi makan. Selera dan laparnya telah hilang. Begitu selesai menuangkan sausnya, Kanaya bergegas ingin ke kamarnya. Namun, dia lengah. Alur langkah menuju kamarnya mau tak mau harus membuat dirinya melewati Alex dan berada sangat dekat dengan jangkauan tangan lelaki itu. Seketika saja, Alex sudah memegang pergelangan tangan kanannya. “Mau kemana? Ayo makan bareng!” Kanaya menepis, namun pegangan Alex semakin erat. Dia menggunakan tangan kirinya untuk melepaskan genggaman Alex, tapi Alex semakin mencengkeramnya. Kemudian dalam satu kali sentak menariknya hingga tubuhnya menempel ke badan Alex. Alex melingkarkan tangannya ke pinggang Kanaya yang langsung memberontak panik. “Kenapa sih kamu takut banget sama aku? Hah?” “Kamu mau ngapain, sih?” Kanaya menginjak kaki Alex agar pelukannya melonggar. Lelaki itu mengerang kesakitan. Hanya saja, bukannya melepaskan dekapannya, dia malah kian mengetatkan lingkaran tangannya. Nafasnya panas menyapu leher. Kanaya memukul dan mencoba menggigit, membuat Alex semakin menggandakan tenaganya untuk melemahkannya. Dia mengangkat tubuh mungil Kanaya dan menjatuhkannya ke atas sofa. Kanaya mencoba bangkit dan berlari, tapi Alex lebih cepat menindihnya, serta menahan dan menekan kedua tangannya. “Kamu mau apa?! Lepasin!” Kanaya berteriak, namun bibir Alex membungkam mulutnya dan menciuminya kasar. Kanaya menahan tangisnya. Dia menggunakan seluruh tenaganya untuk menolak dan menyentak. Lalu, pintu tiba-tiba terbuka dan suara Sabrina yang menggelegar menghentikan gerakan Alex. “Kalian ngapain?!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD