Pindah

1117 Words
Alex cepat melompat dari atas tubuh Kanaya. Sementara Kanaya terkulai lemas sejenak. “Kanaya yang menggodaku! Dia memaksaku melakukannya!” seru Alex terengah. Sabrina menatap Kanaya nanar. “Sab! Dengarkan dulu, bukan begitu ce…” “Pergi!” Sabrina menyela keras. “Sab!” Air mata Kanaya mengalir. Ia kecewa Sabrina tidak mau mendengarkan pembelaannya. Sabrina berlari ke kamar Kanaya. Dia melemparkan dua koper dan satu box container berisi barang-barang Kanaya keluar pintu apartemennya. Kanaya menghapus air matanya. Dia ke kamarnya mengambil miliknya yang masih tersisa, kemudian berjalan keluar tanpa berkata apapun. Pintu di belakangnya dibanting keras oleh Sabrina. Suara dan getarannya merobek hati Kanaya. Di selasar yang sepi, Kanaya menyandarkan tubuhnya ke dinding. Dia berpikir cepat mencari tujuan akan kemana dia pergi. Semakin dipaksanya, kian tumpul terasa otaknya. Dia menjatuhkan tubuhnya terduduk di lantai. Ditutupnya wajahnya dengan kedua tangannya. Jiwanya merasa lelah. Sebuah suara di kepalanya menyuruhnya untuk menyerah saja dan kembali ke ayahnya. Namun, suara yang lebih kuat di d**a, melarangnya. Meski tak urung air matanya meluruh juga. Salah satu pintu di lorong terbuka dan tertutup. Tak lama terdengar derap langkah kaki berjalan. Kanaya semakin menenggelamkan kepala di lututnya. Dia takut dan malu jika orang tersebut menegurnya. “Kanaya?” Dia mengenali suara itu. Rahagi. Meski jengah, dia mengangkat juga wajahnya. “Kenapa?” tanya Rahagi. Bibir Kanaya bergetar. Wajahnya memerah dan matanya mengalirkan air mata yang kepedihan. Rahagi langsung iba dan tak tega melihatnya. “Ini semua barang-barangmu?” Kanaya mengangguk. “Mau pindah kemana?” Kanaya menggeleng. Mata coklatnya serupa dengan mata anak kecil yang tersesat. Kebingungan harus menuju kemana. Rahagi menghela nafas. Dia menduga telah terjadi sesuatu yang pelik, sampai membuat Kanaya terlunta di depan unit apartemen sahabatnya dengan semua barangnya. Hari sudah malam. Tak tega juga dia mendapati kondisi Kanaya yang tak punya tujuan. Tanpa meminta persetujuan, dia menggotong boks kontainer Kanaya ke ujung lorong, ke depan pintunya. Kemudian kembali lagi, meninggikan pegangan koper, kemudian mengulurkan tangannya kepada Kanaya yang masih terduduk. “Ayo ke tempatku!” Kanaya menyambut tangan Rahagi dan mengangkat tubuhnya berdiri. Dia mengikuti langkah Rahagi yang menyeret kedua kopernya, sementara dia menenteng dua tas kain. “Sabrina mengusirmu?” tanya Rahagi sambil menutup pintunya. “Iya.” Kanaya menjawab lirih. “Kamu salah apa?” tanyanya, sambil mempersilahkan Kanaya duduk di sofanya. “Dianggap merebut pacarnya.” “Benar begitu?” “Kak, aku putus sama pacarku karena mergokin dia selingkuh! Aku tahu sakitnya. Ngga mungkin aku merendahkan diri dengan jadi pelakor seperti yang dituduhkan Sabrina. Memang pacarnya aja yang brengsek.” Kanaya menahan air matanya. Rahagi beranjak untuk mengambilkannya minum. Segelas air putih, kemudian diletakkan di meja di hadapan Kanaya. “Minumlah dulu, biar kamu tenang.” Kanaya menurut. Mereka saling terdiam beberapa waktu. Dalam hati, Kanaya berpikir harus melakukan apa. Prioritas pertama adalah mencari kos. Dia membuka ponselnya dan menelefon rumah kos yang kemarin dijumpainya. Sialnya, semua tidak bisa menerima Kanaya. Ada yang sudah terisi, ada yang menolak Kanaya pindah malam itu juga karena kamarnya belum disiapkan. Rahagi yang dari tadi mendengar dan memperhatikan, bertambah kasihan. Setelah menimbang, dia menawarkan pilihan pada Kanaya. “Kenapa kamu ngga tinggal saja dulu di sini sementara?” Kanaya kaget. Apa maksudnya? “Besok pagi-pagi, aku harus ke Balikpapan. Semingguan aku di sana. Selama itu, kamu boleh tinggal di sini. Sambil kamu cari-cari tempat yang sesuai dengan keinginanmu. Gimana?” Kanaya diam meresapi tawaran Rahagi. “Kamu sudah makan?” “Belum.” “Aku tadi keluar sebenarnya mau ke minimarket dan beli nasi goreng. Kamu mau juga?” Dia teringat dengan dimsumnya. Sesungguhnya, dia pun lapar. “Aku ngga usah, Kak.” “Kamu harus makan! Belum makan kan?” Dia menggeleng. Rahagi pergi. Kanaya menyandarkan tubuhnya di sofa dan memejamkan matanya. Dia merenungkan tawaran Rahagi. Sepertinya, dia harus menerimanya. Semalam ini saja dia menginap, semoga besok dia sudah bisa mendapatkan tempat tinggal. Suara di kepalanya memperingatkan kemungkinan bahaya bermalam di apartemen Rahagi. Dia juga laki-laki, dan duda lagi. Bisa saja dia berbuat seperti Alex. Kanaya meragu. Namun, suasana hening di sekitarnya melembutkan emosinya. Nalurinya merasa aman dan nyaman di sini. Dia memutuskan percaya pada Rahagi. Saking nyamannya, Kanaya tertidur di sofa. Dia terjaga tengah malam. Tubuhnya meringkuk di sofa dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Dia mengangkat tubuhnya dan duduk. Di meja tersaji kotak kemasan berisi nasi goreng dan minuman. Mata dan perutnya tergoda, tapi mulutnya menolak makan. Lalu, dia pun membaringkan tubuh, dan terlelap kembali. Rahagi membangunkannya saat subuh. Dia sudah rapi. “Maaf, aku harus bangunin kamu. Lima belas menit lagi taksiku datang.” Kanaya mengucek matanya. “Bagaimana tawaranku semalam soal tinggal di sini sementara?” “Hmm… Tapi, aku boleh numpang masak? Aku mau open PO masakan setiap hari supaya punya uang cukup buat sewa kos yang ada dapurnya.” Kanaya bertanya. “Boleh.” “Terima kasih, Kak!” “Atau begini aja… Kalau memang kos yang kamu inginkan mahal, cari yang biasa saja. Kamu boleh pakai dapurku kapan aja, asal kembali bersih. Imbalannya, kamu kasih aku makananmu… Dan mau menjadi pengasuh kalau Alana dititipkan di sini. Gimana?” Kanaya sedikit kaget mendengarnya. “Soal menjadi pengasuh Alana, tetap ada hitungannya. Seperti waktu kemarin.” “Serius?” Kanaya ragu. “Serius!” “Oke!” Kanaya menerimanya. Meski ada kemungkinan dia akan berpapasan dengan Sabrina, dia tak peduli. Baginya, tawaran Rahagi adalah kesempatan besar yang sayang jika dilewatkan. Lagipula, dia yakin enjoy melakukannya. “Oh ya, kamu bisa tidur di kamar Alana itu!” Rahagi menunjuk salah satu pintu kamar tidur. Rahagi mengenakan jaketnya. “Kakak baik banget.” Kanaya merasa malu. “Kenapa Kakak mau menolong aku?” “Aku dulu punya adik perempuan. Kalau masih hidup, sepertinya seusia denganmu. Dia mirip denganmu. Kuat dan berani. Sayang, fisiknya ngga kuat melawan sakit. Ada masalah di jantungnya.” Ada kepedihan di suara Rahagi. Kanya turut berduka mendengarnya. “Oke! Aku pergi dulu!” “Terima kasih ya, Kak!” Kanaya mengunci pintu. Lalu duduk kembali duduk di sofa dan membuka ponselnya. Dia membuat membuat iklan open PO makanannya lagi, dan mengirimkan pesan ke pemilik kos menanyakan kapan dia bisa pindah. Dia tidak mau memanfaatkan Rahagi dengan menginap di sini sampai dia pulang. Cukup baginya dia diizinkan menggunakan dapurnya. Karena hari sudah masuk pagi, Kanaya enggan tidur lagi. Dia memanaskan nasi goreng semalam. Sarapan, dan lalu membersihkan seluruh ruang apartemen hingga ke kamar mandinya. Dianggapnya pekerjaan rumah tangga itu sebagai olahraga. Tubuh dan mukanya berpeluh, serta rambutnya acak-acakkan. Tengah dia beristirahat sebentar, bel pintu berbunyi. Penuh tanya, dia mengintip dari lubang pengintai. Siapa yang sepagi ini bertamu? Dari kaca kecil cembung itu, Kanaya terkejut melihat Alana dan Marina yang berdiri tak sabar. Kanaya ragu, tapi bel kembali berbunyi. Cepat dia membukakan pintu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD