***
Vierra keluar dari kamarnya ketika matahari telah tampak muncul menyapa di langit pagi. Hari yang cerah untuk dirinya yang muram. Dengan sedikit make up tentunya bisa membuat wajah itu tampak lebih segar, dan Vierra bersyukur atas bakat make up-nya yang amat membantu kali ini. Gadis itu terlihat membawa tas selempang kecil di bahu kirinya dan tangan yang memeluk beberapa buku. Ya, hari ini Vierra memiliki jadwal mata kuliah pagi.
Langkah kaki Vierra membawanya menuju lantai dasar. Sembari berjalan terburu-buru, Vierra sempatkan juga untuk menatap jam tangan yang ia gunakan. Matanya semakin membola kala melihat jam tangannya menunjukkan pukul 9 pagi yang berarti tersisa 45 menit lagi agar pelajaran dimulai. Vierra mempercepat langkahnya hingga tanpa sadar tiga orang sudah menatapnya sedaritadi.
“Ra, mau kemana?” tanya Mega yang sedang mencuci piring membantu pelayan di sana. Wanita paruh baya itu terlihat menyudahi kegiatannya dan mengeringkan tangannya. Vierra terpaksa menghentikan langkahnya dan berjalan mendekati Vierra untuk mencium pipi wanita itu.
“Rara ada kelas pagi, Mom.” Mega mengangguk kecil dan mengusap rambut gadis itu penuh kasih. Vierra tersenyum dan bergerak menuju ayahnya dan melakukan hal yang sama, mencium pipi. Begitupun dengan Sean.
“Maaf karena tadi Rara tidak bisa ikut sarapan bersama kalian,” sesal Vierra. Alex tersenyum hangat dan mengangguk memaklumi.
“Tapi bukankah Dad, Mom dan Kak Sean akan pergi ke kantor pagi ini? Kenapa belum berangkat?” heran Vierra. Pasalnya mereka terlihat sedang bersantai tanpa ada rencana pergi ke luar.
“Rapat diundur sampai jam sebelas, Nak. Daripada menanyakan itu, kenapa kau belum berangkat? Bukankah kau sedang buru-buru, Nak?” ucap Mega yang ikut duduk di samping Alex sembari menyalakan televisi.
Vierra terkejut. Gadis itu menatap jam tangannya dan ternyata 10 menit telah berlalu. Vierra menepuk jidatnya kuat hingga menimbulkan suara nyaring.
“Ra, Daddy tidak suka kau melakukan itu.” Vierra hanya menyengir lebar saat mendapatkan peringatan dari ayahnya. Ia menatap Sean untuk mengkode kakaknya itu agar segera mengantarnya. Dan benar saja, Sean langsung paham dengan tatapan adiknya itu. Pria itu bangkit dari duduknya, mengambil kunci mobil dan merangkul bahu Vierra.
“Pangeran akan mengantar tuan putri, teruntuk Baginda raja dan ratu terhormat, kami undur diri.” Sean berlagak seolah pangeran bangsawan yang tengah memberi hormat. Mega dan Alex tentu saja tak mampu menahan senyum dan kekehan mereka. Tanpa menunggu kalimat balasan dari kedua orang tuanya, Sean segera menyeret Vierra pergi.
Saat perjalanan pergi menuju kampus, suasana di dalam mobil Sean terdengar sepi. Vierra sibuk menatap luar jendela, sedangkan Sean sibuk menatap jalan di depannya.
“Ra,” panggil Sean tanpa bersusah payah menoleh pada Vierra.
Vierra sempat kaget, tetapi ia kembali mengubah rautnya menjadi biasa saja. Gadis itu menoleh menatap pada Sean. Beberapa detik sempat terpana dengan ketampanan Sean yang terlihat dari samping. Hidung mancung, garis rahang yang tegas, bulu mata serta alis yang lebat, mata yang tajam, serta sedikit bulu-bulu halus di dagunya membuat Vierra jatuh sejatuh-jatuhnya pada pesona kakak angkat.
“Aku tau, aku tampan.” Vierra tersadar kembali, gadis itu berdecak kesal dan mencubit lengan Sean.
“Apa!” ketus Vierra sembari kembali menatap luar jendela.
“Hey, kakak tidak suka gaya bicaramu, Ra.”
“Iya, ada apa?” tanya Vierra yang sedikit lebih sopan. Tanpa diketahui oleh Sean bahwa gadis itu berusaha menutupi wajahnya yang memerah malu karena tertangkap basah mengagumi wajahnya.
“Berapa umurku sekarang?” tanya Sean yang membuat Vierra mengernyit bingung.
“21 tahun, mungkin. Kenapa?” balas Vierra dengan sedikit mengingat-ingat.
“Umurmu?” tanya Sean lagi.
“Tentu saja 20 tahun,” balas Vierra mantap.
Sean menyentil dahi Vierra cukup kuat hingga membuat gadis itu mengaduh sakit dan mengelus keningnya yang disentil. Tatapan Vierra terlihat kesal saat ini.
“Kau lupa? Umurmu masih 19 tahun, Ra.”
“Tidak! Apa-apaan itu? Rara sekarang berumur 20 tahun, intinya Rara sudah berkepala dua. Sudah dewasa!” kesal Vierra sembari bersedekap d**a.
“Kau masih 19 tahun, Ra. Lima hari lagi baru kau berusia 20 tahun,” ucap Sean dengan terkekeh. Pria itu mengelus gemas puncak kepala Vierra-nya.
“Sama saja, mau sekarang atau nanti intinya Rara berusia 20 tahun. Titik.” Vierra menekuk wajahnya menjadi cemberut. Dan hal itu semakin membuat Sean gemas bukan main.
“Gadis sepertimu berusia 20 tahun? Aku tak sangka waktu berjalan cukup cepat,” ucap Sean berdramatis.
“Heh, kau pikir berapa usiamu? 30 tahun? 40 tahun? Atau kau berpikir telah berusia berabad-abad lamanya?” sarkas Vierra.
“Ra,” ucap Sean yang terdengar dingin. Dan Vierra mengabaikannya begitu saja.
“Berapa kali aku bilang, jangan pernah gunakan aku-kau jika dengan kakak.” Vierra mendengus saat mendengar ucapan Sean yang entah sudah keberapakalinya ia dengar.
“Iya, iya.”
Tak lama dari keheningan yang menyita, mobil Sean memasuki gerbang kampus Vierra, atau lebih tepatnya tempat kampusnya dulu, Oxford University. Sebelum sempat Vierra membuka pintu mobil, tangan Sean lebih dulu mencekal pergelangan tangannya.
“Belajar yang rajin,” ucap Sean sembari menatap manik abu-abu nan cantik milik Vierra.
“Tanpa Anda bilang pun, saya sudah tentu belajar dengan rajin,” balas Vierra dengan nada formalnya. Terlihat jelas jika ia sedang dalam suasana tidak baik kali ini.
“Hey, kakak tidak suka Ra.” Protesan Sean tak didengarkan oleh Vierra. Gadis itu memilih mencibir pelan dan mencoba melepas cekalan tangan sang kakak.
“Lepas, Kak.”
“Sebagai permintaan maaf, nanti dihari ulang tahunmu Kakak akan berikan hadiah. Janji tidak marah lagi?” ucap Sean sembari mengulurkan jari kelingkingnya. Vierra yang mendengar kata hadiah langsung tersenyum cerah dan menyambut jari kelingking kakaknya.
Sean menarik jarinya yang masih bertautan dengan jari kelingking Vierra hingga tubuh Vierra mendekat pada Sean, pria itu memberikan kecupan manis di kening adiknya dengan penuh sayang.
“Bagus, Princess. Selamat belajar,” ucap Sean dan mendorong pelan tubuh Vierra untuk segera turun. Vierra dengan wajah bodohnya hanya menurut. Ia terlalu terkejut dengan kecupan itu, bahkan masih amat terasa hangatnya bibir sang kakak yang mengecup keningnya. Saat mobil Sean pergi dari pelataran kampusnya, Vierra menyentuh area keningnya yang dikecup oleh Sean.
“Ah, jantungku kembali berulah,” ucap Vierra lirih.
“Hayo! Sedang apa?” tanya seorang pria yang tiba-tiba datang merangkul bahu Vierra. Berkat pria itu, Vierra tersadar dari lamunannya.
Vierra berdecak dan mencubit gemas perut keras pria yang merangkulnya. Ia melepaskan paksa tangan yang merangkulnya itu dan meninggalkan pria yang sedang meringis sakit akibat ulahnya.
“Hey, Ra! Dasar tak berperikemanusiaan!” kesal pria itu sembari menyusul Vierra. Ia menatap sinis pada gadis-gadis yang menatapnya dengan mata berbinar lapar seolah ingin menerkamnya.
“Tega sekali menganiayaku, kurang baik apa aku ini? Menunggumu hampir satu jam demi untuk masuk kelas bersama. Namun malang sekali nasibku ini malah ditinggal,” ucap pria itu dramatis. Ia bahkan sudah merangkul bahu Vierra kembali.
“Ryder, berhenti drama. Aku lelah dengan sikapmu ini,” ungkap Vierra. Kali ini ia membiarkan tangan berotot pria itu merangkulnya.
“Tapi sayangnya aku tidak bisa, Ra. Dan ingat ini, hanya denganmu saja aku begini, asal kau tau saja.” Vierra mencebikkan bibirnya.
“Terserah apa maumu, Tuan Ryder.” Pria yang dipanggil Ryder itu tersenyum puas.
Zacky Ryder Ozzerd adalah nama untuk pria yang merangkul Vierra saat ini. Pria yang merupakan sahabat satu-satunya Vierra saat pertama kali menginjakkan kakinya di kampus terkemuka ini. Pria tengil yang sayangnya tak kalah tampan dari kakaknya. Bahkan setelah kakaknya wisuda beberapa bulan yang lalu, Ryder menempati posisi pertama sebagai most wanted pria incaran gadis-gadis kampus.
Saat tiba di kelas yang mereka tuju, Vierra menghela napas lega karena dosen belum memasuki kelasnya. Kali ini Vierra mengambil tempat duduk di belakang sudut kanan, dan tentu saja Ryder akan duduk di sampingnya.
“Wow sangat jarang seorang Vierra mengambil tempat duduk di belakang, apalagi di pojok seperti ini. Apa kau mau melakukan hal m***m padaku, Ra?” ucap Ryder hingga tanpa sadar mengundang pasang mata untuk melihat ke arahnya.
“Hust! Kau ini!” kesal Vierra sembari menginjak kaki Ryder dengan kuat, dan berhasil membuat Ryder mengumpat kesakitan.
“Kau ini senang sekali menyakiti orang, apa kau ingin menjadi psikopat?” rutuk Ryder.
“Ryder,” peringat Vierra agar Ryder berhenti mengoceh hal tak berguna.
“Ck, iya.” Tak ada lagi yang bisa Ryder lakukan selain mengiyakan. Dan tepat saat ia terdiam, dosen memasuki kelasnya.
***
Kelas berakhir saat Vierra terlihat sudah muak dengan segala pembelajaran yang dibahas. Dirinya merasa amat bebas kala keluar dari ruangan yang menyesakkan ini. Dan lagi-lagi Ryder terus membuntutinya bahkan merangkulnya kembali. Vierra malas untuk berdebat jadi ia abaikan saja.
“Ra, apa kau haus? Aku sangat haus, apalagi mengingat dosen tak berhenti berbicara tadi. Bagaimana jika kita singgah ke cafe depan?” ajak Ryder.
“Aku ma-”
“Okay sepakat, kita ke cafe depan,” ucap Ryder memotong ucapan Vierra, sebelum gadis itu menolaknya. Dan yang hanya Vierra lakukan hanya menurut. Ia terlalu lelah selepas pelajaran dan terlalu lelah menanggapi Ryder.
Langkah kaki pelan membawa mereka menyeberangi jalan hingga tiba di pintu masuk cafe itu. Saat pintu dibuka oleh Ryder, bunyi bel terdengar.
“Aku cari tempat duduk, kau yang mengantri memesan. Okay, babe.” Ryder mengecup pipi Vierra tanpa aba-aba. Vierra tampak biasa saja karena itu sudah biasa dilakukan oleh Ryder padanya. Gadis itu memilih untuk mengantri memesan minuman untuk keduanya. Tanpa Vierra sadari, mata elang sejak tadi terus menghunus tajam menatapnya saat pertama kali memasuki ruangan itu. Ralat, bahkan bukan hanya satu pasang mata tajam saja melainkan hampir semua pria menatapnya penuh damba.
“Terima kasih,” ucap Vierra pada pelayan pria yang memberikan pesanannya. Gadis itu sedikit mengernyit kala melihat semburat merah di pipi putih sang pelayan. Apa hari begitu panas sampai membuat pipi pelayan itu memerah?
Vierra berjalan menuju meja dimana ada Ryder yang tengah melambai-lambaikan tangannya.
“Dasar tidak tau malu,” rutuk Vierra. Gadis itu memberikan satu minuman di tangannya pada Ryder yang langsung disambut dengan gembira.
“Apa?” tanya Vierra saat Ryder terdiam sembari menatapnya.
“Itu,” ucap Ryder lirih sembari memberikan isyarat dengan dagunya.
“Maksudnya?” kesal Vierra.
“Kakakmu dan teman-temannya sejak tadi menatap kita dengan tatapan mengerikan,” bisik Ryder yang memajukan sedikit tubuhnya agar Vierra mendengar.
“Hah, kakakku?” Vierra dengan cepat berbalik menatap ke arah yang ditunjuk Ryder.
“Au!” pekik Vierra saat kakinya diinjak kuat oleh Ryder. Gadis itu melotot pada Ryder sembari mengelus sepatu yang ia pakai.
“Ada apa denganmu, hah!” desis Vierra penuh murka.
“Jika aku berbicara seperti tadi, jangan langsung menengok ke belakang, bodoh!” balas Ryder tak kalah kesal.
“Terserah.” Vierra kembali menatap ke arah belakang dan benar saja, di sana tak jauh darinya terdapat Sean yang tengah menatapnya tajam dan juga sahabat kakaknya itu, serta tak lupa dengan Bella. Vierra berdecak saat menemukan gadis itu perkumpulan kakaknya.
Vierra mengabaikan tatapan tajam Sean yang mengartikan untuk gadis itu berjalan mendekat ke arahnya. Vierra lebih memilih kembali duduk menghadap Ryder.
“Kakakmu terlihat ingin menelanku hidup-hidup, Ra.”
“Biarkan saja, dia memang sering seperti itu. Jangan dipedulikan,” ucap Vierra acuh tak acuh.
Beberapa menit mereka habiskan untuk duduk santai meminum minuman segar, barulah keduanya berniat untuk pulang. Ryder kembali merangkul bahu Vierra untuk keluar dari cafe, tapi sayangnya saat mereka keluar dari pintu masuk tiba-tiba saja Sean datang dan menghempas kasar lengah Ryder pada bahu Vierra. Pria itu menarik Vierra mendekat padanya sembari terus menatap wajah Ryder penuh intimidasi.
“Berperilakulah selayaknya teman, dude.” Ryder mengangkat tangannya sambil menyengir lebar, Sean terlihat dalam mode serius saat ini.
“Woho, baiklah Kakak ipar. Kalau begitu aku izin pulang lebih dulu, bye Ra.” Sebelum beranjak pergi, Ryder mencuri kecupan di pipi Vierra dengan cepat. Ia bahkan berlari cepat saat dirasa Sean akan memukulnya.
“Ayo pulang, Kak.” Sean mendengus.
“Lain kali jangan biarkan pria itu mencium pipimu, Ra.”
“Tapi-”
Secara mengejutkan Sean mengecup pipi Vierra yang sempat dikecup oleh Ryder tadi. Pria itu bahkan juga mengecup pipi bagian lainnya.
“Baiklah, sekarang sudah lebih baik.” Sean berujar santai tanpa menyadari bahwa Vierra tengah mematung saat ini. Gadis dengan detak jantung bertalu-talunya kini terdiam. Raut wajahnya terlihat sedikit konyol, tapi segera hilang saat Sean menarik tangannya menuju mobil Sean yang terparkir.
Vierra mengernyit saat tiba-tiba saja Sean membukakan pintu mobil bagian belakang. Saat ingin protes, suara seorang gadis menyadarkan Vierra.
“Hai, Ra.”
Vierra menekan bibirnya agar tidak mengumpat kesal. Di sana Bella terlihat duduk dengan tenang di kursi penumpang samping pengemudi. Seharusnya Vierra yang duduk di sana karena dialah adik dari pemilik mobil ini. Namun apa daya lagi-lagi Vierra tak mampu protes.
Saat Vierra telah memasuki mobil. Mobil yang dikendarai oleh Sean kini melaju dengan kecepatan normal menuju apartemen Bella. Di perjalanan, Vierra seolah tak terlihat oleh Sean dan Bella yang sibuk bercerita tentang berbagai hal bahkan sampai ke bisnis keluarga. Vierra tak ingin mendengarkan obrolan itu, tapi telinganya tak bisa ia cegah untuk mendengar. Saat mendengar sekumpulan gombalan yang Sean ucapkan untuk Bella membuat Vierra dibakar api cemburu. Gadis itu memilih untuk memainkan ponselnya.
“Ra,” panggil Sean tiba-tiba.
Vierra yang sedang asik memainkan ponselnya terpaksa harus mendongak menatap pada Sean.
“Hm?” deham Vierra malas berbicara.
“Pindah duduk sini,” ucap Sean sembari menepuk kursi penumpang samping kemudi yang tadi di duduki Bella. Vierra sempat heran kemana perginya Bella, dan saat ia melihat ke luar jendela barulah ia sadar bahwa ini adalah tempat apartemen Bella yang berarti gadis itu telah turun. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Vierra berpindah duduk ke depan dan kembali asik dengan dunianya.
“Ra,” panggil Sean yang sudah tidak tahan dengan keheningan yang menguasai.
“Hm?”
“Kau kenapa? Apa kakak membuat salah lagi?” tanya Sean.
“Tidak ada,” balas Vierra cuek. Ia kembali memainkan ponselnya, tapi belum sampai beberapa detik ponselnya telah dirampas oleh Sean dengan cepat.
“Jangan pernah memainkan ponsel ketika sednag bersama kakak, ingat ini.”
“Ck, kenapa banyak sekali aturan yang Kak Sean terapkan pada Rara?” kesal Vierra.
“Karena kakak tidak suka diabaikan,” sahut Sean ringan.
“Iya terserah. Sekarang cepat bawa mobilnya, Rara sudah mengantuk.” Sean terkekeh saat melihat wajah Vierra yang terlihat kesal tapi memelas. Gadis itu begitu menggemaskan.
“Apapun untuk Tuan Putri.”
***