3. Two Different Life

2195 Words
Sepuluh tahun kemudian......... Dor Suara sorakan orang-orang bergema begitu kencang di stadion olahraga yang kini tengah menggelegar perlombaan lari antar universitas ketika suara pistol olahraga akhirnya berbunyi keras. Masing-masing perwakilan sekolah segera melaju kencang setelah mereka mendengar suara itu. Posisi mereka yang semula berjauhan mulai merapat ketika para pelari berbelok dengan kecepatan tinggi. Suara nafas dan lawan yang ada di depannya menjadi fokus utama bagi Vano yang kini tengah mewakili universitasnya dalam nomor lari jarak menengah. Kakinya terus-menerus berakselerasi tanpa ada niatan untuk melambat melambat sedikit pun. Tatapan Vano begitu fokus, ketika dia tidak langsung berusaha menyalip lawannya yang telah terlebih dahulu berlari dengan kencang dari garis start. Dengan konstan, Vano terus menerapkan prisip lari yang diajarkan pelatihnya ketika semakin lama Vano malah berlari semakin cepat. Ketika yang lain mulai gemetar karena mereka terlalu banyak menghabiskan energi di awal pertandingan, Vano yang semula tertinggal mulai menyusul ketertinggalannya dengan sangat tenang. Keringat mulai menetes dari tubuh remaja itu, mengalir sampai berkumpul di bulu matanya ketika dari kejauhan Vano sudah bisa melihat garis finish yang menjadi tujuannya. Di cuaca yang terang itu, Vano mulai merasa kedinginan karena semua panas tubuhnya telah menguap bersama keringatnya. Kegugupan mulai remaja itu rasakan, ketika dia masih harus menyalip satu orang lagi untuk bisa mendapatkan posisi pertama yang telah dia janjikan. Dengan seluruh kekuatannya, Vano bertaruh dengan menghabiskan seluruh energi yang masih dia miliki dengan berlari kencang untuk menyusul lawan yang ada di depannya. Sorakan penonton terdengar semakin kencang, saat Vano akhirnya bisa menyusul dan merobek pita yang menandakan garis finish perlombaan lari ini. Di stadion itu, Vano lagi-lagi berhasil memenangkan perlombaan dan mengharumkan nama universitas tempatnya menuntut ilmu selama ini. ***** "VANOOOO!" Vano tertawa kecil saat dia langsung diserbu oleh teman-temannya ketika dia sudah diijinkan untuk keluar dari lapangan. Di universitas yang terkenal karena nilai akademis mahasiswanya yang luar biasa, pencapaian Vano dalam bidang non-akademis telah membuat bangga seluruh anak yang sudah jengah dikategorikan sebagai kutu buku semenjak mereka diterima di universitas. Masing-masing dari mereka mengucapkan selamat atas kemenangan remaja itu sekalipun Vano merupakan yang termuda di antara mereka, sampai suara lembut yang sangat Vano hafal sampai ke telinga remaja itu. "Selamat Sayang." Di belakang teman-teman Vano, kini berdiri Dominic dengan tangan yang melingkar di pinggang Alexa yang sebelumnya mengucapkan selamat pada anaknya itu. Baik Alexa maupun Dominic masih cocok tampil seperti pasangan muda sekalipun usia keduanya sudah menginjak angka empat puluhan kini. Dengan semangat Vano mengucapkan selamat tinggal pada teman-temannya, sebelum dia bergegas untuk datang memeluk sang ibu seperti biasanya. "Ma, apa kamu melihat penampilanku tadi? Aku berlari dengan sangat keren bukan?" Alexa tersenyum saat dia dengan lembut mengusap rambut anaknya yang terbakar oleh matahari. Terlepas dari umur Vano yang seharusnya masih duduk di bangku SMA, remaja itu nyatanya benar-benar tampaknya seperti mahasiswa berkat penampilan tingginya yang didapat dari olahraga rutin yang ditekuninya bersama sang ayah. Alexa sampai harus mendongkak jika dia ingin melihat rambut putranya kini. Wanita itu benar-benar bangga telah berhasil membesarkan anak seperti Vano, yang tidak bosan membuatnya dan Dominic bangga sejak anak itu masih sangat kecil. "Ya, Mama dan Papa melihatnya. Anak nakal, Mama tahu kamu sengaja mengalah di awal karena kamu terlalu meremehkan lawan-lawanmu sebelumnya." Dengan nada lembut, Alexa menegur sang putra yang kedapatan terlihat terlalu santai sebelum perlombaan dimulai sebelumnya. Vano sedikit merengek sebagai bentuk protes karena Alexa tetap memarahinya sekalipun dia berhasil menang pada akhirnya. Tapi tidak lama kemudian, Vano kembali terdiam saat dia mendapat usapan lembut yang biasa Alexa berikan tiap kali wanita itu hendak memujinya. "Tapi hasilnya sudah bagus Sayang. Mama dan Papa benar-benar senang saat melihatmu sampai pertama di garis finish. Hanya saja jika kamu bisa tolong jangan ulangi lagi sifat meremehkanmu itu. Meremehkan lawan merupakan alasan terbesar yang biasanya membuat kita kalah, jangan lupakan itu Vano." Vano langsung mengangguk ketika dia mendengar nasihat yang dilontarkan oleh Alexa dengan suara lembut. Dibandingkan dengan ayahnya saja, Vano memang lebih terbiasa dinasihati oleh Alexa dibandingkan oleh Dominic. Ibunya mengatakan itu karena ayahnya selalu berusaha untuk memanjakan Vano tanpa menekannya dalam urusan apa pun juga. Tapi bagi Vano, sang ibu lebih tegas mungkin karena pengalamannya di militer sebelum sang ibu akhirnya memutuskan untuk menikah dengan ayahnya. "Aku mengerti Ma. Tapi apa kalian akan pergi lagi setelah ini? Aku ingin makan malam bersama untuk malam ini Ma....." Vano merengek saat dia memeluk Alexa dengan gaya manja. Selanjutnya Alexa hanya tersenyum maklum, sementara Dominic yang sejak tadi tidak bicara akhirnya membuka mulutnya juga. "Kami akan menunggu di sini sampai acaranya penyerahan hadiahnya selesai Vano. Kita akan pulang bersama setelah itu. Karena ini hari spesial, bagaimana jika kita makan di restoran favoritmu setelah ini?" tawar Dominic. Dia dan Alexa memang kembali hari ini agar keduanya tidak melewatkan pertandingan penting Vano. Keduanya memang sering berpergian ke berbagai tempat, tapi sudah menjadi peraturan di rumah bahwa baik Alexa maupun Dominic harus pulang jika Vano akan melewatkan hari-hari pentingnya. Permintaan Vano untuk makan malam bersama bukan lah hal yang sulit dikabulkan oleh Dominic. Apalagi setelah ditinggal lama, Dominic merasa dia memang harus memberi Vano kompensasi karena kepergian mereka. "Setuju! Hehe, terima kasih Pa. Papa yang terbaik!" Dominic tersenyum saat dia mendengar suara girang dari sang anak. Senyum Vano dan Alexa adalah segalanya bagi Dominic. Pria itu ikut mengusap rambut sang anak saat Vano akhirnya melepaskan pelukannya pada Alexa. Vano adalah sumber kebahagiaan mereka saat ini. Melihat senyum anak itu saja, sudah membawa kebahagiaan sendiri bagi orang tua seperti Dominic. "Sekarang kamu lebih baik mandi, jagoan kecil. Kamu tidak akan menerima medali dengan penampilan kotor itu bukan?" Vano tertawa kecil mendengar godaan ayahnya. Remaja itu memeluk Alexa dan Dominic secara bergantian, sebelum dia pergi untuk membersihkan dirinya selagi dia malah memiliki waktu sebelum acara pengalungan medali. "Jangan lupa foto aku saat acara penyerahan medali, Papa, Mama!" Vano sama sekali tidak peduli dia disebut anak manja oleh orang-orang yang melihat interaksinya dengan Alexa dan Dominic. Remaja itu tetak berucap dengan percaya diri, sementara Alexa hanya bisa menggeleng pelan melihat sifat aktif yang ditunjukkan oleh anak semata wayangnya itu. "Dasar." Alexa hanya bisa berkomentar kecil, saat Dominic menuntunnya untuk kembali ke tempat mereka menonton sebelumnya sampai acara pemberian medali akan dilakukan nanti. ***** Bugh "Mengumpulkan uang setoran untuk hari ini saja kamu tidak bisa huh?! Berapa lama kamu sudah bekerja di bidang ini Freya? BERAPA LAMA AKU TANYA?!" "Hampir sembilan tahun....... Bos." Freya menjawab dengan tenang saat pipinya yang memar karena pukulan sebelumnya mulai berdenyut sakit. Dengan posisi tegak Freya terus berdiri, seakan dia merupakan prajurit yang tengah melapor pada atasannya saat ini. Tapi atasannya ini...... Tidak memiliki hati seorang prajurit ketika dia dengan kasar melemparkan kertas tagihan tepat di wajah gadis itu. "SEMBILAN TAHUN! Hampir sembilan tahun kamu bekerja untukku namun kamu masih terus melakukan kesalahan sesimpel ini?! Katakan padaku Freya, kamu benar-benar ingin membuat aku marah bukan?" Freya melepaskan sikap tegaknya saat dia mendengar ucapan bosnya. "Maafkan aku Bos. Pria itu tidak bisa membayar hutangnya tepat waktu karena uang itu digunakan untuk biaya pengobatan istrinya yang sakit parah. Dia juga meminjam uang pada kita untuk hal yang sama. Dia sudah berjanji akan mencari cara untuk melunasi hutang-hutangnya setelah istrinya membaik nanti. Sampai dia bisa membayar lagi...... Bos bisa memotong gajiku untuk membayar hutang mereka." Pria yang disebut bos oleh Freya menghela nafas panjang ketika dia mendengar penjelasan panjang yang diucapkan oleh gadis itu. Freya sebenarnya bukan gadis bodoh yang tidak cocok bekerja di lingkungan mereka. Tapi jika dia dipertemukan dengan kasus seperti tadi...... Bosnya itu selalu merasa bahwa kepintaran Freya menurun drastis hanya karena rasa kasihan naifnya itu. Pria itu sudah mengenal Freya sejak gadis itu dengan berani balas menatapnya tanpa getar ketika dia datang untuk mengambil gadis itu sebagai bayaran dari hutang-hutang yang dimiliki ibunya. Freya bisa dia sebut sebagai bawahan terbaiknya selama ini. Jika saja gadis itu tidak terus bersikap lembut pada orang-orang yang mengaku berhutang untuk membayar biaya pengobatan kerabatnya, pria itu mungkin sejak dulu sudah mempertimbangkan Freya sebagai penerusnya suatu saat nanti. "Sampai kapan kamu akan terus begini Freya?" Pria itu menatap tajam Freya saat dia bertanya lagi pada gadis itu. Saat Freya tampaknya tidak mengerti dengan pertanyaannya itu, pria itu dengan tenang mengulang pertanyaannya lagi dengan lebih jelas agar Freya bisa menjawabnya dengan benar untuk kali ini. "Sampai kapan kamu akan terus menghabiskan uangmu untuk orang seperti mereka? Kamu bahkan belum bisa melunasi hutang ibumu sampai saat ini, namun kamu sudah ingin membayarkan hutang yang dimiliki oleh orang lain. Kita ini bukan bagian dari badan amal Freya. Kita merupakan perusahaan yang akan meminjamkan uang pada mereka yang sudah mengerti resiko dari pinjaman yang mereka lakukan dengan sadar. Tugasmu sebagai pengumpul hanya lah mengambil kembali apa yang menjadi milik kita dari mereka, beserta bunganya. Sekarang aku tidak ingat memintamu untuk berkeliling seperti orang bodoh, meminjamkan uangmu sendiri untuk membayar hutang orang-orang seperti mereka. Kapan kamu akan maju jika terus begini Freya? Apakah kematian ibumu tidak cukup, untuk membuktikan betapa penting uang untuk menentukan tingkat kebahagiaan seseorang?" Freya diam-diam mengepalkan tangannya dengan erat saat bosnya mulai membawa-bawa lagi nama ibunya dalam pembicaraan mereka. Freya kini marah, tapi dia tahu amarahnya itu tidak akan berguna jika dia harus menghadapi bosnya untuk saat ini. Sambil menurunkan harga dirinya, Freya mulai menenangkan dirinya sendiri. Dalam hatinya Freya terus mengulang bahwa begini lah dunia bekerja selama ini. Orang lemah sepertinya tidak akan bisa melakukan apapun, jika orang kuat seperti bosnya adalah orang yang harus dilawannya untuk kali ini. "...... Maafkan aku Bos." Pria itu berdecak kencang ketika dia mendengar Freya lagi-lagi hanya bisa mengucapkan kalimat itu seperti sebuah kaset rusak. Dengan kaki yang diangkat ke atas meja, pria itu mulai menatap lama Freya. Pria itu akhirnya membuang nafas panjang, saat dia kembali bersuara untuk berbicara pada gadis yang berdiri di depannya itu. "Aku akan mengambil uangmu untuk membayar tagihannya untuk bulan ini, Freya. Aku akan membuktikan padamu bahwa hati lembut yang kamu miliki itu hanya akan membuatmu tersiksa pada akhirnya. Jika uangmu habis nanti, aku harap kamu tidak datang ke tempat ini untuk ikut meminjam uang seperti yang lainnya. Aku tidak ingin mengambil organmu jika kamu tidak lagi bisa membayar nanti. Kamu aset terbaikku, jadi coba lah untuk berpikir jernih mulai saat ini." "Terima kasih Bos." Freya membalas sebelum dia keluar dari ruangan bosnya setelah pria itu memberinya isyarat bahwa dia bisa keluar setelah pria itu puas memarahinya. Dengan wajah tenang Freya berjalan, sepenuhnya mengabaikan godaan para pekerja lain yang mengejeknya sebagai satu-satunya penagih wanita yang ada di perusahaan ini. Seperti biasa Freya merapikan barang-barangnya dari meja kerjanya yang sederhana, sebelum dia meneruskan langkahnya untuk keluar dari gedung karena waktu bekerjanya sudah habis untuk hari ini. Karena sempat dimarahi sebelumnya, Freya baru bisa keluar setelah langit telah gelap sepenuhnya. Sepanjang jalan Freya harus bisa menutup mata saat berbagai jenis kejahatan terjadi di gang tempatnya bekerja ini. Sesekali Freya bahkan bisa mendengar suara desahan dari sudut-sudut gelap gang yang kotor, hingga gadis itu pada akhirnya memutuskan untuk menambah kecepatan langkahnya. Beruntung namanya sudah memiliki reputasi sendiri di lingkungan kumuh ini, sehingga Freya tidak perlu khawatir seseorang yang menghampirinya dengan maksud yang jahat. Sejujurnya Freya sudah sangat lelah hari ini. Sebisa mungkin, Freya ingin segera sampai di kontrakannya dan mandi menggunakan air dingin yang dia miliki untuk menyegarkan pikirannya kembali. Butuh waktu sekitar dua puluh menit sebelum Freya akhirnya tiba di kompleks kontrakan reyot yang dia tinggali selama ini. Pemilik kontrakan tersebut adalah wanita paruh baya yang tinggal di sebelah kontrakan Freya yang hanya dibatasi oleh kayu tipis. Ketika wanita itu melihat Freya akhirnya pulang dari pekerjaannya, wanita itu dengan ketus segera menghampiri Freya untuk mengulurkan tangannya tanda meminta uang kontrakan yang lupa Freya bayarkan pagi ini. "Uangmu." Freya tahu wanita itu akan berubah bengis pada orang-orang yang telat membayar biaya mengontrak di kontrakannya yang b****k itu. Freya sebetulnya ingin pindah, tapi dengan uangnya saat ini dia hanya mampu membayar kontrakannya yang sekarang berserta makan seadanya selama sebulan. Dengan pahit Freya merogoh pakaiannya. Dari dompet lusuhnya Freya mengeluarkan beberapa lembar uang, sebelum menyerahkannya pada wanita itu. Seakan tidak percaya dengan hitungan Freya, wanita itu tetap menghitung ulang uang yang diberikan oleh Freya sebelum dia kembali tersenyum dengan puas. Tanpa mengatakan apapun wanita itu akhirnya berbalik, sementara Freya yang ditinggal sendirian akhirnya melanjutkan langkahnya lagi untuk masuk ke unit kontrakannya sendiri. Karena pemilik kontrakan menagih bayarannya tadi, Freya akhirnya sadar bahwa dia sendiri tidak memiliki banyak uang saat ini. Bosnya itu benar, Freya hanya akan membuat dirinya sendiri kelaparan dengan membantu pria yang tidak dia kenal sebelumnya. Tapi hati kecil Freya terus berteriak bahwa dia telah melakukan hal yang benar. Freya tidak ingin melihat nyawa seseorang melayang lagi, hanya karena orang miskin seperti mereka tidak bisa membiayai pengobatan mereka sendiri. Daripada terus memikirkan uangnya yang hampir habis, Freya memutuskan untuk mandi terlebih dahulu sebelum beristirahat seperti biasanya. Dengan alasan berhemat, Freya dengan santai melewatkan makan malamnya. Selesai mandi gadis itu langsunh berbaring di kasur tipisnya. Tubuh Freya sedikit mengigil, saat selimut tipisnya ternyata tidak lagi bisa menahan hembusan angin yang masuk dari dinding kontrakannya yang terlamlau tipis. Dengan usaha keras, Freya berusaha tetap memejamkan matanya. Gadis itu berusaha keras untuk tidak menangis, saat sosok ibunya tiba-tiba saja terbayang di benaknya dalam situasi yang sulit seperti sekarang. "Ibu........" Dengan suara bergetar, Freya terus menggumamkan nama ibunya sebagai pengantar tidurnya untuk hari ini. To be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD