"Apa yang membuatmu begitu bahagia di pagi hari, Tuan Muda?"
Vano tersenyum lebar saat Jasper menyapanya di pagi hari. "Aku akan menyantap sarapan buatan Mama hari ini," ujarnya bersemangat sambil berjalan cepat ke arah ruang makan rumah mereka. Vano masih sedikit jauh dari ruang makan saat harum masakan ibunya sudah tercium sampai ke hidung Vano. Remaja itu mempercepat langkahnya, saat dia melihat orang tuanya sudah ada di ruang makan begitu dia akhirnya berhenti berjalan.
Vano merindukan pemandangan di mana mamanya tengah memasak sambil dibantu oleh Flora sementara papanya duduk sambil menatap tabnya dengan ekspresi serius. Walaupun Vano sendiri yang meminta orang tuanya untuk pergi tanpa perlu khawatir pada keadaannya, tidak dapat dipungkiri terkadang dia juga akan merindukan kedua orang tuanya itu. Setiap hari Vano selalu berdoa agar dia bisa tumbuh lebih cepat, agar dia bisa membantu pekerjaan orang tuanya hingga mereka tidak harus sibuk sepanjang waktu seperti sekarang ini.
"Vano, duduklah dan makan sarapanmu Sayang."
Melihat Vano telah tiba di ruang makan, Alexa yang kebetulan melihat remaja itu langsung berucap sampai menarik perhatian Dominic yang sebelumnya hanya fokus pada tab yang ada di tangannya. Pria tertua dalam rumah itu memberi Vano senyuman kecil, sebelum dia menyimpan tabnya agar dia bisa berbicara santai dengan putranya di pagi hari.
"Tidurmu nyenyak? Kamu seharusnya bolos saja hari ini. Kamu tidur terlalu malam kemarin."
Dengan nada khawatir, Dominic bertanya pada Vano yang mulai mengambil tempat duduk di dekatnya. Mendengar pertanyaan Dominic, Vano menggeleng pelan. Remaja itu tersenyum kecil, ketika dia membalas pertanyaan Dominic dengan suara lembut.
"Aku baik-baik saja Pa. Aku tidak mengantuk, dan aku tidak ingin melewatkan mata kuliah apa pun pada semester ini."
"Tidak perlu memaksakan dirimu Sayang, Mama benar-benar khawatir dengan kesehatanmu. Kamu berlatih bela diri, belajar, dan sesekali membantu ayahmu dalam satu waktu. Kami memang senang kamu belajar se aktif ini. Tapi Sayang, selalu ingat bahwa kesehatanmu merupakan prioritas utama kita semua oke?"
Sambil menyimpan segelas s**u hangat untuk Vano di meja makan, Alexa segera menyampaikan kekhawatirannya pada sang anak selama ini. Wanita itu membuang nafas panjang saat dia duduk di kursinya sendiri, dan langsung diserbu oleh Vano yang duduk di sebelah Alexa.
"Aku tahu Ma...... Ugh, aku baik-baik saja. Aku sudah besar, tolong jangan perlakukan aku seperti anak kecil untuk selamanya......."
"Tapi Tuan Muda, tidak ada orang dewasa yang bermanja pada orang tuanya seperti ini. Lagipula, kami akan kesepian jika Tuan Muda tumbuh terlalu cepat. Jadi untuk beberapa tahun ke depan, tolong tetap lah bersikap seperti ini."
Flora yang ikut bergabung di meja makan ikut berkomentar saat Vano membalasnya dengan gerutuan pelan. Bagi Vano, bermanja pada orang tuanya bukan menjadi tolak ukur dia sudah dewasa atau belum. Cara berpikirnya sudah cukup untuk menjadi faktor penentu. Dan dalam masalah otak, Vano percaya dia sudah bisa disamakan dengan teman-teman kuliahnya saat ini.
"Aku akan tetap bermanja pada Mama sampai kapan pun juga. Aku anak Mama, kedewasaan tidak bisa menghalangi aku untuk bermanja pada Mama."
Alexa tertawa kecil ketika dia mendengar protesan yang diajukan oleh anaknya. Tangannya dengan lembut mengusap rambut putranya, sebelum remaja itu akhirnya duduk dengan benar kembali karena Dominic akhirnya siap untuk makan bersama yang lain.
"Ya, ya, terserah saja jagoan kecil. Makan lah sarapanmu, Papa yang akan mengantarmu secara pribadi hari ini."
Sudah menjadi peraturan bagi Vano bahwa dia akan terus diantar oleh seseorang untuk pergi kemana pun. Jika orang tuanya tidak bisa mengantar, Jasper atau Flora yang akan bertugas bergantian untuk mengantar remaja itu. Menjadi satu-satunya anak yang dimiliki Alexa dan Dominic, Vano harus rela jika semua kekhawatiran yang dimiliki oleh orang tuanya tumpah hanya padanya seorang.
Walaupun seseorang terkadang mengejeknya karena hal itu, Vano tidak masalah selama Alexa bisa tersenyum dan merasa tenang dalam kepergiannya. Dia sudah pernah menyaksikan sang ibu bersedih saat masih kecil. Vano percaya, ibunya itu hanya berhak mendapat kesenangan ketika orang tuanya sudah bertemu kembali kini.
"Aku sudah selesai Pa!"
Dengan nada riang, Vano bangkit berdiri dan bergerak untuk mencium pipi sang ibu ketika dia telah selesai sarapan. Dominic mengikuti tidak lama kemudian. Pria dewasa itu bergegas mendekati Alexa untuk mencium sekilas bibir istrinya, sebelum tersenyum lembut sambil menatap wajah cantik Alexa yang sedikit bersemu merah karena perbuatannya.
"Aku pergi dulu Sayang."
Alexa mengangguk. "Hati-hati di perjalanan, dan selamat bekerja," balasnya dengan nada lembut. Alexa mengantar keduanya dengan senyuman kecil, sampai keduanya akhirnya menghilang dari pandangan wanita cantik itu.
*****
"Ugh, aku benci belajar....... Vano, bagaimana mungkin kamu bisa terus menyerap ilmu dengan otakmu itu huh? Aku saja sudah kesulitan untuk mencerna pelajaran SMA saat ini. Jika ayahku memaksa agar aku kuliah nanti, maukah kamu menyerahkan sebagian kecil dari kepintaranmu itu padaku? Aku sudah menyerah untuk menyerap pelajaran apa pun....... Semua angka itu, hanya terlihat seperti bahasa alien di dalam otakku ini."
Vano tersenyum maklum saat Ayden, teman masa kecilnya yang dia kenal dari daycare tempat Alexa bekerja dulu mulai menggerutu pelan ketika mereka kebetulan bertemu karena letaknya SMA Ayden kebetulan dekat sekali dengan kampus yang dimasuki oleh Vano saat ini. Melihat Vano yang tengah duduk di taman dekat kampus sambil membaca buku sendirian membuat Ayden tanpa pikir panjang langsung mendekati pria itu dan mengajaknya mengobrol karena Vano kebetulan tengah menunggu jemputan keluarganya seperti biasa. Vano sekarang mungkin terkenal di mana-mana. Tapi sebagai teman dekatnya selama ini, Ayden tahu bahwa Vano tidak berubah sedikit pun karena remaja itu tidak pernah melupakan teman-teman daycarenya sampai saat ini.
"Sudah kubilang aku bisa mengajarimu mata pelajaran yang tidak kamu kuasai Ayden. Sesekali mainlah ke rumahku, kamu juga bisa meminjam buku catatan lamaku jika kamu memang mau."
Vano mulai menegur sementara Ayden hanya membalas tawaran Vano dengan tawa hambar. "Terima kasih atas tawaranmu, tapi aku benar-benar tidak ingin diajari olehmu. Sampai sekarang aku masih trauma, harus mengikuti kecepatan berpikirmu yang tidak main-main itu," ujarnya santai yang dibalas helaan nafas panjang oleh Vano. Mungkin kebiasaannya untuk melakukan segala sesuatu secepat dan seefektif mungkin tidak bisa selalu di aplikasikan pada orang-orang di sekitarnya. Orang-orang di sekitarnya juga sering mengeluh karena masalah itu. Vano mulai mempertimbangkan untuk bersikap lebih santai di sekitar orang-orang, ketika Ayden tiba-tiba melanjutkan ucapannya.
"Jika Freya ada di sini, dia pasti akan memarahimu karena terus bergerak maju tanpa menunggu kita menyusul. Kamu ingat saat kamu dengan gagah mencoba melawan orang dewasa yang menganggu kita ketika bermain dulu? Dia memarahimu habis-habisan karena berusaha melawan mereka hanya karena ibumu mengajarimu bela diri sejak kecil."
Ekspresi Vano tiba-tiba membeku ketika dia mendengar nama Freya disebut dalam percakapan mereka. Perasaan rindu dan khawatir yang berusaha Vano lupakan selama ini kembali muncul ke permukaan hanya karena dia mendengar nama itu. Vano langsung terdiam murung, sementara Ayden yang melihat perubahan ekspresi itu akhirnya sadar bahwa dia baru saja tidak sengaja melakukan kesalahan pada saat ini.
"Um..... Vano, aku minta maaf. Aku seharusnya tidak mengatakan-"
Ayden berhenti bicara saat Vano mulai menggeleng pelan. Pria itu dengan lembut menutup bukunya, sebelum menatap Ayden dengan senyum yang sedikit tertahan.
"Tidak apa-apa. Tidak ada yang melarangmu untuk menyebut namanya di depanku, Ayden. Aku sebelumnya hanya....... Kau tahu, kita semua merindukannya bukan?"
Walaupun Freya bukan anak yang memang dititipkan di daycare dan hanya datang jika Vano mengajaknya bermain, kesan anak-anak itu pada gadis itu begitu kuat karena kondisi menyedihkan yang diderita oleh Freya. Tidak ada yang tidak sedih ketika mereka tahu bahwa Freya dan ibunya tiba-tiba saja menghilang setelah insiden penusukan yang terjadi pada Alexa. Melihat anaknya yang selalu murung, Dominic juga sudah berusaha untuk mencari gadis itu menggunakan koneksi yang dia miliki. Satu bulan...... Dua bulan...... Satu tahun berlalu tanpa kabar baik apa pun sampai Vano sendiri yang akhirnya meminta ayahnya untuk berhenti mencari gadis itu.
Vano tidak ingin Alexa terus khawatir padanya karena sepanjang waktu menunggu sesuatu yang tidak pasti. Vano pikir Freya mungkin sengaja tidak ingin bertemu dengannya lagi, karena bagaimana pun Alexa telah membunuh ayah Freya tepat di hadapan gadis itu sendiri. Bagi Vano saja pengalaman itu adalah pengalaman buruk yang tidak ingin dia ulangi lagi. Apalagi bagi Freya, Vano tidak akan terkejut lagi jika gadis itu membenci mereka sekarang.
Tapi walaupun Vano sudah mencoba untuk berhenti berharap......... Ada satu titik kecil dalam hatinya yang tetap berteriak bahwa dia tetap berharap dia bisa bertemu Freya lagi suatu saat nanti. Freya merupakan teman pertama yang memiliki keterikatan kuat dengan Vano. Sampai sekarang Vano bahkan masih ingat, bahwa keduanya terbiasa menganggap dunia hanya milik mereka berdua saja saat mereka masih kecil dulu. Masa-masanya dengan Freya merupakan masa terindah yang bisa Vano ingat dam memori masa kecilnya, sekaligus yang terburuk karena perpisahan yang terjadi diantara mereka.
Tin
Tin
Lamunan Vano pecah saat suara klakson mobil memecah keheningan yang tercipta antara Ayden maupun Vano. Mobil yang berhenti di depan mereka bukan lah mobil yang biasa menjemput Vano, karena yang baru saja berhenti merupakan ayah Ayden yang memang terbiasa menjemput anaknya pada jam istirahat makan siang perusahaannya.
"Vano, aku harus pergi."
Vano mengangguk lalu dia melambaikan tangannya pada ayah Ayden yang menyapanya dari dalam mobil dengan wajah ramah. Vano mendekat saat ayah Ayden memanggilnya dari jauh. Vano tersenyum sopan, saat dia menyapa pria paruh baya itu.
"Selamat siang, Paman."
"Vano, Ayden bilang kamu tengah menunggu jemputan dari orang tuamu yang tidak kunjung datang bukan? Jika kamu mau, Paman bisa mengantarmu dan kamu bisa memberitahu mereka bahwa kamu sudah pulang dengan kami. Sebentar lagi hujan, Paman khawatir jika kamu terus duduk sendirian di luar sana."
Vano menggeleng pelan untuk menolak tawaran ayah dari Ayden tersebut. "Terima kasih Paman, tapi aku akan baik-baik saja. Waktu istirahat Paman juga tidak banyak bukan? Aku yakin jemputanku juga akan datang tidak lama lagi." Dengan suara halus, Vano menolak tawaran tersebut. Ayah Ayden juga tidak ingin memaksa jika Vano sendiri telah menolak tawarannya. Mereka berbincang sedikit lagi, sebelum mobil Ayden akhirnya melaju meninggalkan Vano seorang diri lagi.
Vano baru saja berbalik, saat ponsel genggamnya tiba-tiba berbunyi. Kontak dengan nama 'Papa' terlihat di layar ponselnya. Vano tanpa ragu mengangkat panggilan itu, saat suara frustasi papanya tiba-tiba terdengar dari ujung panggilan.
"Vano, Sayang maafkan Papa tapi Papa tidak bisa menjemputmu untuk hari ini. Ada kecelakaan di dekat kantor Papa yang melumpuhkan jalan sampai Papa tidak punya pilihan selain memutar kembali ke kantor untuk menghadiri rapat berikutnya. Papa akan meminta Bibi Flora untuk menjemputmu setelah ini. Tetaplah di sana dan tunggu sama Bibu Flora datang oke?"
Vano mendongkak untuk menatap langit yang sudah benar-benar mendung. Ini sudah terlalu terlambat jika dia harus menunggu Jasper atau Flora untuk menjemputnya saat ini. Akalnya tiba-tiba bekerja saat Vano memikirkan ide yang bagus. Baginya, ini adalah saat yang tepat untuk mencoba berbagai hal sendiri seperti yang biasa dilakukan teman-temannya. Vano meneguk ludahnya dengan susah payah. Tidak apa-apa bukan, jika dia pulang sendirian untuk kali ini saja?
Toh, dia juga biasa pulang sendirian ketika dia hanya hidup bersama ibunya dulu. Pulang sendirian seharusnya tidak begitu sulit, Vano seharusnya masih hafal cara-caranya walaupun sudah lama sekali sejak Vano menaiki angkutan umum.
"Pa, bisakah aku pulang sendiri saja untuk hari ini? Aku akan baik-baik saja, ijinkan aku untuk sekali ini saja ya?"
Dengan nada memohon, Vano mulai membujuk orang tuanya itu. Dominic tampaknya tidak ragu sedikit pun, saat pria itu membalas permintaan anaknya itu dengan nada yakin.
"Tidak, Vano. Terlalu berbahaya. Flora akan sampai sebelum kamu bisa menyadarinya. Tunggu sampai Bibi Flora datang saja oke? Papa berjanji dia tidak akan lama."
Vano tahu papanya itu tidak akan mudah untuk dibujuk tentang sesuatu yang menyangkut keselamatannya. Tapi Vano benar-benar sudah tidak tahan lagi. Dia hanya akan pulang menggunakan bus seperti teman-temannya lalu menaiki taksi untuk sampai ke rumahnya yang terpisah dari jalan utama. Tidak akan ada hal buruk yang terjadi, Vano yakin akan hal itu.
"Pa..... Sekali saja. Sekali dan aku tidak akan memintanya lagi. Aku akan pulang sebelum Papa dan Mama bisa khawatir padaku. Percaya saja padaku kumohon....."
Dominic menghela nafas panjang saat anaknya mulai memohon sekali lagi. Dominic mulai merasa bersalah saat sekarang dia mungkin terlihat seperti orang tua yang mengekang anaknya. Dominic mengusap rambutnya dengan frustasi, sebelum dia akhirnya membuat keputusan yang mungkin akan membuat Alexa marah jika wanita itu sampai tahu nantinya.
"1 jam. Pulang sekarang dan satu jam kemudian jangan lupa untuk menelepon Papa oke? Ah tidak. Telepon Papa juga jika kamu memiliki masalah selama berada di perjalanan oke? Telepon Papa akan terus aktif untukmu. Pulang lah dengan selamat, dan hati-hati di perjalanan Sayang."
"Hehe, terima kasih Pa."
Vano tersenyum puas setelah dia akhirnya mendapatkan ijin langsung dari papanya. Panggilan dimatikan setelah itu. Vano menyimpan buku yang sebelumnya dia baca pada tas yang dia bawa, sebelum dengan semangat Vano melangkah menuju halte bus yang ada di dekat kampus yang dihadiri Vano.
Mendapatkan kesempatan langka ini, Vano tentu saja tidak akan menghabiskannya dengan naik taksi yang langsung membawanya ke rumah tanpa ada kesenangan sedikit pun. Vano melihat dengan teliti jadwal bus yang ada di halte tersebut, sebelum dia menemukan bus yang tepat dan naik ketika waktunya telah tiba.
Rindu dengan pengalaman yang kini dia rasakan, Vano tidak henti-hentinya memerhatikan lingkungan sekitar ketika dia akhirnya bisa menaiki bus. Perhatiannya tiba-tiba berhenti, ketika dia mendapati siluet akrab dari gadis yang berdiri di ujung lain bus yang dia naiki saat ini.
Ketika Vano perhatikan lebih dekat, jantungnya berdegup semakin kencang ketika dia benar-benar bisa melihat wajah dari gadis yang menarik perhatiannya itu. Dengan gugup Vano berusaha berjalan mendekati gadis itu, sebelum dengan suara ragu Vano berusaha memanggil nama yang begitu dia rindukan selama ini.
"Freya?"
To be continued
Kebahagiaan meluas di seluruh tubuh Vano, ketika gadis itu benar-benar menoleh untuk menatapnya di detik selanjutnya.