"Sigh......."
Freya menghela nafas panjang saat dia menatap dompet lusuhnya yang hanya memiliki sedikit uang di dalamnya. Kali ini, bosnya sepertinya berniat benar-benar membuatnya miskin karena terus saja memerintahkannya menagih uang ke tempat yang begitu jauh. Freya tidak bisa berhemat sedikit pun karena dia harus menaiki bus untuk sampai ke tempat tujuan. Padahal Freya sudah berusaha keras untuk berhemat dengan melewatkan makan siangnya tadi. Tapi tidak peduli apa pun yang dia lakukan, tampaknya uang dalam dompetnya terus saja berkurang drastis hanya dalam waktu satu hari ini.
Freya berharap tidak ada satu pun orang yang mendengar saat perutnya mulai melayangkan protes secara besar-besaran. Freya sampai malu sendiri mendengar suara dari perutnya. Gadis itu berusaha keras menahan suara-suara itu terdengar oleh orang lain, saat keduanya tangannya melingkari perutnya dengan wajah pahit.
"Freya?"
Freya tanpa sadar menoleh saat suara asing memasuki indra pendengarannya. Ketika Freya menoleh, pria yang memanggilnya ternyata seorang pria yang tampak akrab dan tengah menatapnya dengan tatapan terkejut. Butuh waktu beberapa saat sebelum Freya mengenali wajah yang telah berubah menjadi remaja tampan tersebut. Tidak sulit bagi Freya untuk tahu siapa pria itu sekarang. Ekspresinya segera berubah, ketika Freya langsung mencoba kabur namun segera ditahan oleh tangan Vano.
"Freya, ini aku, Vano!"
Suasana semakin kacau saat penumpang lain mulai tertarik pada suara Vano yang memanggil Freya dengan suara sedikit kencang tanpa remaja itu sendiri sadari. Mata Freya dengan panik mencoba mencari celah agar dia bisa kabur dari situasi ini. Freya belum siap bertemu kembali dengan Vano. Tidak, dia tidak akan pernah siap bertemu dengan pria itu lagi. Freya terus mencoba melepas pegangan tangan Vano pada tangannya sendiri, sampai dia melihat tidak lama lagi bus akan berhenti di pemberhentian selanjutnya.
"Freya!"
Dengan paksaan, Freya akhirnya bisa melepaskan pegangan tangan Vano dan berlari menerobos orang-orang ketika pintu bus akhirnya terbuka juga. Tanpa peduli pada Vano yang terus memanggilnya di belakang, Freya mulai berlari kencang seakan hidupnya sendiri tengah menjadi taruhan saat ini. Sebenarnya Freya sedikit beruntung karena jarak antara halte bus tempat dia turun sudah tidak jauh dari lingkungan kantornya. Freya dengan lincah segera berbelok karena dia sudah hafal seluk-beluk lingkungan tersebut. Tubuh mungilnya segera menghilang seperti ditelan kabut, ketika Vano akhirnya bisa menyusul langkah gadis itu.
Dengan nafas terengah-engah, Vano tidak berhenti mencari ke segala arah untuk menemukan jejak yang mungkin ditinggalkan oleh gadis itu. Tapi tidak peduli seberapa keras Vano mencoba mencari, perlahan dia akhirnya benar-benar kehilangan sosok Freya. Dengan putus asa Vano mencoba berhenti sejenak, sebelum pikirannya sadar bahwa dia berada di lingkungan yang sedikit aneh saat ini.
Jenis lingkungan ini bukan tempat yang pernah Vano tahu sebelumnya. Di tempat yang terlihat padat dan memiliki banyak sekali jalan kecil tersebut, terdapat beberapa kelompok orang yang terlihat jahat dan berdiri santai di beberapa sudut jalan kecil yang ada di sana. Tidak seperti jalan utama yang bersih dan terlihat terawat, tempat ini juga memiliki sampah yang berserakan di mana-mana dan selokan dengan warna air yang menyeramkan bagi Vano. Rumah-rumah di sekitar juga sudah tidak layak huni menurut Vano. Beberapa orang terlihat berlalu-lalang dengan pakaian yang tidak layak. Dan yang paling menonjol, dia terlihat aneh berdiri di tengah jalan dengan barang mahal yang melekat di tubuhnya dari atas kepala sampai ujung kaki.
Karena sibuk mencari Freya sebelumnya, Vano juga harus baru sadar bahwa beberapa orang yang terlihat jahat ternyata sudah mengintai dan mengikutinya dari jauh sedari tadi. Mereka dengan berani semakin mendekat saat Vano akhirnya berhenti berlari. Di jalan yang sempit ini, Vano tahu bahwa dia akan kesulitan untuk kabur karena orang-orang mulai memblokir semua jalan yang sebelumnya bisa dia lalui.
"Apa yang anak mama sepertimu lakukan di tempat ini huh? Apa kamu tersesat? Kami bisa mengantarmu pulang jika kamu mau membantu kami juga."
Dahi Vano berkerut dalam saat salah satu dari mereka mulai bicara pada Vano dengan nada mengejek. Remaja itu tetap berusaha untuk bersikap tenang, saat dia mencoba bicara pada orang-orang itu dengan nada baik-baik.
"Terima kasih atas tawarannya, tapi aku baik-baik saja. Namun jika kakak-kakak tidak keberatan, bisakah aku pergi dari tempat ini sekarang?"
Fiyuu
Yang lain mulai beriul untuk memuji keberanian Vano yang masih bisa berdiri dengan tegak sekali pun remaja itu sudah dikelilingi oleh preman-preman berbadan besar seperti mereka saat ini. Yang pertama bicara pada Vano sebelumnya dengan tidak sopan mengaitkan tangannya pada bahu Vano, sebelum berbisik dengan nada mengancam pada remaja tersebut.
"Dengar, Nak. Jangan jadi menyebalkan dan serahkan saja semua barang-barang berhargamu pada kami jika kamu masih menghargai nyawa kecilmu itu. Orang kaya sepertimu tidak akan jatuh miskin hanya karena membantu orang-orang seperti kami bukan?"
"Tapi ini salah. Kalian seharusnya mencari pekerjaan yang benar jika ingin sesuatu."
Dengan yakin, Vano masih berusaha bicara saat tangannya dengan santai menyingkirkan tangan pria tadi dari bahunya. Vano berada dalam posisi tidak siap saat tanpa aba-aba seseorang memukul kencang perutnya. Pukulan itu dilanjutkan saat pria tadi dengan kencang memukul punggungnya dengan keras. Cukup keras, sampai Vano langsung jatuh tersungkur karena pukulan tersebut.
"Kerja katamu? Kamu pikir siapa yang akan menerima orang-orang putus sekolah seperti kami huh? Orang kaya sepertimu mau sok mencerahami kami, rasanya sangat menjijikan tahu."
Hanya dari rasa sakitnya saja, Vano tahu bahwa perut dan punggungnya akan meninggalkan memar yang mengerikan karena pukulan itu. Sambil terbatuk ringan, Vano tetap mencoba untuk bangun kembali. Sebelumnya dia hanya ingin kembali dengan damai. Tapi jika seseorang melukainya, Vano selalu ingat ajaran orang tuanya untuk membalas mereka dengan balasan yang setimpal juga.
"Hoo...... Kamu ingin melawan huh?"
Bugh
Kali ini, sebelum seseorang bisa melayangkan pukulan lain pada tubuhnya, Vano dengan sigap segera menangkis pukulan tersebut. Vano tidak memberikan sedikit pun kesempatan pada yang lain sebelum dia balas memukul siapa pun yang mencoba mendekatinya. Dengan gerakan-gerakan yang diajarkan oleh ibunya, Vano terus melawan orang-orang itu. Sesekali dia memang ikut terkena pukulan, tapi setidaknya semakin lama jumlah orang yang berbaring sambil mengerang karena perbuatannya juga semakin banyak seiring berjalannya waktu.
"SIALAN!"
Melihat bahwa situasi perlahan mulai berbalik, beberapa orang dari kumpulan itu mulai mengeluarkan pisau lipat yang mereka simpan tersembunyi di dalam jaket mereka. Membunuh orang bukan lah hal langka di terotori kecil ini. Walaupun mereka mungkin akan bekerja lebih untuk menyingkirkan mayat dan menghapus semua bukti yang ada, tapi bagi mereka semua itu sebanding dengan uang yang akan mereka dapatkan dari anak itu.
Jam yang dipakai Vano saja, sudah cukup untuk membiayai mereka makan selama setahun tanpa perlu mengerjakan apa pun lagi. Jam yang dibalut berlian itu terlalu mencolok di tempat kumuh seperti ini. Dengan berani datang sendirian ke tempat ini saja, sudah membuktikan bahwa Vano hanya pemuda kaya bodoh yang tidak tahu cara kerja orang-orang di bawahnya.
"Mati kau!"
Vano bergerak cepat saat tangannya secara refleks menangkis pisau yang baru saja diarahkan padanya oleh salah satu dari preman-preman tersebut. Yang lain mungkin tidak sadar karena sekarang mereka hanya fokus mencoba untuk menyingkirkan Vano. Tapi bagi Vano sendiri, remaja itu sudah tahu bahwa tubuhnya tidak akan bertahan lebih lama lagi jika orang-orang mulai menggunakan pisau untuk melawannya.
Vano bukannya tidak tahu bagaimana cara melindungi diri jika lawannya kebetulan menggunakan pisau. Ibunya dan pelatih yang ditunjuk ayahnya sudah mengajari banyak hal padanya selama ini. Tapi pisau telah menjadi kelemahan Vano semenjak sang ibu hampir merengang nyawa setelah ditusuk menggunakan pisau oleh ayahnya Freya beberapa tahun yang lalu. Tubuhnya akan selalu bergetar tanpa sadar saat seseorang menodongkan pisau ke arahnya. Sekuat tenaga Vano berusaha bertahan, sampai seseorang tetap berhasil melukainya karena pikiran Vano mulai tidak fokus karena pandangannya terus fokus pada pisau yang dipegang orang-orang.
Tusukan yang diterima Vano seharusnya tidak dalam. Tapi karena Vano sendiri mulai tidak dapat mengendalikan tubuhnya sendiri, remaja itu dengan cepat jatuh ke tanah dan mulai kesulitan untuk bernafas karena ketakutan yang dia alami.
"Kalian, cepat ambil barang-barangnya!"
Melihat bahwa lawannya sudah tidak lagi bisa melawan, orang-orang itu mulai berani melucuti barang-barang Vano dengan cepat. Tasnya, jamnya, ponselnya, semuanya tersita habis sampai mereka hanya menyisakan pakaian Vano untuk tetap melekat di tubuh remaja itu. Sesekali salah satu dari mereka akan menendang tubuh Vano yang meringkuk tanpa bisa bergerak sedikit pun, sampai remaja itu akhirnya di tinggal sendirian di gang sempit yang mulai basah karena hujan dengan pundak yang mengeluarkan darah akibat luka tusukan yang diterimanya.
*****
"Hah, hah....."
Freya mencoba mengatur nafasnya sendiri saat gadis itu merasa Vano sudah tidak bisa mengikutinya lagi. Keringat mengucur deras di keningnya, karena Freya harus berlari sekuat tenaga untuk mengungguli Vano yang larinya ternyata cepat sekali.
Setelah bertahun-tahun ini dia berusaha hidup sambil melupakan masa lalunya, Freya tidak pernah menyangka bahwa dia bisa bertemu kembali dengan Vano dengan cara seperti ini. Reaksi pertama yang ditimbulkan karena pertemuannya dengan remaja itu malah kabur sejauh yang dia bisa. Tindakannya itu tanpa sadar mencerminkan hati gadis itu sendiri, yang terus berusaha melarikan diri dari kenyataan selama ini.
"Sial......"
Dengan suara pelan, Freya mulai mengutuk hari buruk yang dilaluinya beberapa hari ini. Sekarang perut Freya malah protes semakin kencang, karena seluruh energinya habis dipakai untuk berlari sejak tadi.
"Aku benar-benar melihatnya Bu! Ada pria tampan yang minta tolong pada kita di gang tadi! Kenapa Ibu tidak ingin menolongnya Bu? Dia terlihat kesakitan tadi......."
"Hush! Lupakan saja pria itu, kita hanya akan mendapat masalah jika menolong pemuda kaya yang habis dirampok sepertinya. Kita hanya orang miskin, apa yang bisa kita lakukan untuknya hah?"
Perhatian Freya ditarik oleh perkataan gadis kecil yang berjalan melewatinya sambil berpegangan tangan dengan ibunya ketika dia memutuskan untuk mengatur nafasnya sambil berdiri untuk sementara waktu. Firasatnya tiba-tiba buruk ketika dia mendengar seorang pria kaya baru saja dirambok di dekat tempat mereka. Daerah ini terkenal karena tingkat kemiskinan dan kriminalitasnya yang tinggi. Orang kaya yang memiliki akal tentu tidak akan datang ke tempat ini tanpa pengamanan apapun. Belum lagi waktunya benar-benar bertepatan saat ini. Rasa khawatir mulai menguasai Freya, saat gadis itu tiba-tiba saja malah membayangkan Vano yang berusaha mengejarnya tadi.
Dia......... Tidak mengejarku sampai ke tempat ini kan? Freya membantin pelan. Gadis itu temenung, seharusnya Vano tidak begitu bodoh sampai mau mendatangi tempat yang jelas-jelas terlihat berbahaya seperti ini kan?
Tidak, dia pasti akan melakukannya.
Dengan frustasi, Freya akhirnya bergerak untuk mengejar ibu dan anak tadi untuk menanyakan keberadaan pria yang dimaksudkan mereka sebelumnya. Selesai mendapat informasi yang dibutuhkan, Freya segera berlari kembali untuk mencari pria kaya yang dimaksud gadis tersebut. Freya langsung panik bukan main, saat dia melihat Vano benar-benar pria yang dimaksud gadis itu dan kondisinya saat ini benar-benar buruk. Di antara kondisi sadar dan tidak sadar, Vano mengerang sambil bergerak perlahan untuk keluar dari gang tersebut. Sayang remaja itu tidak bisa mengenali Freya lagi, saat gadis itu dengan susah payah berusaha memapah Vano untuk keluar dari gang berbahaya tersebut.
*****
"Dia akan baik-baik saja. Lukanya sudah tidak terlalu dalam dan hipotermia ringannya sudah kami atasi. Kalian terlihat seperti anak yang masih bersekolah. Bisakah aku menelepon orang tua kalian untuk menyampaikan kejadian ini?"
Freya menghela nafas panjang saat dokter mengatakan bahwa Vano tidak berada dalam kondisi yang berbahaya untuk saat ini. Gadis itu dengan tenang menggeleng saat dokter menanyakan nomor telepon orang tuanya. "Aku hanya kebetulan menemukannya di jalan," jawabnya setengah benar juga setengah salah. Mendengar jawaban Freya, dokter itu juga ikut menghembuskan nafas panjang. Sekarang semuanya akan sulit, mereka tidak memiliki nomor siapapun untuk menghubungi kerabat Vano.
"Tapi aku sering melihatnya. Anak pengusaha kaya yang berprestasi. Namanya Vano bukan? Dia juga sering muncul di majalah."
Mendengar kelanjutan ucapan Freya, dokter tersebut langsung memerintahkan seseorang untuk ikut mencari kontak dari orang tua Vano. Merasa bahwa situasinya sudah lebih terkendali, Freya meminta ijin untuk kembali karena dia masih harus melapor pada bosnya mengenai pekerjaannya untuk hari ini. Dokter itu merasa bahwa dia tidak berhak menahan Freya lebih lama lagi. Gadis itu dibiarkan pulang. Kelaparan, uang habis, dan kehujanan hanya karena Freya mencoba menyelamatkan Vano.
Dengan lirikan singkat, Freya menoleh lagi ke arah rumah sakit tempat Vano pingsan di salah satu ruangan. Melihat wajah pria itu dari dekat saja sudah cukup bagi Freya. Dia merasa dia harus pergi saat ini, atau situasinya dengan Vano akan semakin buruk.
Dengan langkah gontai, Freya akhirnya tetap pergi meninggalkan rumah sakit tersebut.
To be continued