Part 11

1037 Words
Riko dan Diana tiba di kosan pukul 12.00 wib. Riko menyusun barang-barang milik istrinya di dalam kamar. Sebenarnya kost milik Riko ini cukup elit. Karena ruangan 4×5 cm ini dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi di dalam ruangan dengan toilet duduk, westafle, kamar dengan AC, Lemari kayu, dipan bahkan lengkap dengan springbed, dan meja belajar. Tak heran uang sewanya pun cukup mahal, mencapai 850.000 per bulan. Kalau dulu, Riko tidak perlu khawatir dengan uang sewa kost, tapi sekarang mana mungkin dia bisa bayar uang kos dengan uang nya sendiri. Sedangkan dia punya tanggung jawab yaitu menafkahi istrinya, sementara dia tidak memiliki pekerjaan. "Pakaian kamu yang ada di tas ini, pakaian sehari hari kan?" Riko mengangkat satu tas untuk menunjukkan tas mana yang ia maksud. "Iya.." "Kalau begitu ini aja yang kamu bongkar terus susun di dalam lemari itu. Yang lain nggak usah di bongkar" "Lho kenapa?" "Karena nanti malah ngerepotin kita waktu keluar dari kontrakan ini. Aku nggak bisa memperpanjang kontrakan, uang ku nggak ada. Jadi kita habiskan saja masa pemakaiannya saja. Papa aku sudah bayar sampai tanggal 2 Juli 2019. Jadi masih ada 3 hari lagi" "Terus setelah 3 hari ke depan kita tinggal dimana?" "Kita cari tempat yang lebih kecil dari dan lebih murah dari ini" "Kamu punya uang?" "Itu dia masalahnya Din" "Kenapa kamu nggak bilang?" "Semalam aku berusaha buat ngejelasin soal ini ke kamu. Tapi kamu malah mengira aku plin plan. Sekarang kamu ngerti kan apa yang aku khawatirkan?" "Astaga.. Ya Tuhan apa lagi ini?" "Huff.." Mereka pun terdiam di dalam kesunyian. Lalu memutuskan untuk beristirahat dengan posisi saling membelakangi. Mereka bahkan tidak seperti pasangan suami istri pada umumnya. **** Keduanya terbangun sebab perut yang mulai keroncongan. Diana merentangkan tubuh hampir bersamaan dengan Riko. Lalu mereka saling pandang. "Kamu lapar?" Diana hanya mengangguk sambil memegang perut dengan kedua tangannya. Lalu Riko pun bangkit dari kasur kemudian berjalan menuju kulkas. Ia mengeluarkan salad, roti tawar, telur dan juga saos serta mayonaise. Kemudian Riko pun membuat sandwich dengan alat pemanggang electric. Setelah membuat 2 sandwich Riko pun memberikan satu ke Diana. "Nih Din buat kamu. Sori ya aku cuman punya ini di kulkas lagian kamu kan tau sendiri aku nggak punya kompor. Yang ada cuman rice cooker itupun biasanya aku cuman masak nasi doang, sedangkan sambal beli di luar. Jadi aku nggak pernah masak di sini" "Ya udah nggak papa tapi aku butuh lebih dari sekedar 2 roti berlapis telur" "Hmm.. gimana ya ia b ku cuman 200.000 ntar kalau tiba-tiba kita di usir karena uang kontrakan gimana?" "Kamu nggak usah khawatir aku punya 500.000 uang cash di tanganku. Sebenarnya aku punya uang tabungan kuliah di ATM, cuman mama yang pegang ATM nya. Kalau aku yang pegang nanti malah habis" "Ya udah kamu simpan aja dulu itu. Kamu tunggu aja di sini, aku suruh Christove ke sini antarin motor biar aku aja yang keluar beli sambal. Kamu masak nasi aja, itu ada beras di toples sisa bulan kemaren" "Ok.. tapi jangan lama lama ya, aku takut sendirian di sini soalnya" "Ok" Riko pun meraih ponselnya di atas tempat tidur lalu segera menekan nomor Christove dan menyuruh nya untuk mengantar motor ke kontrakan. Untung saja Papa nya tidak menyita motor. Kalau tidak bisa mampus dia, sudahlah nggak dapat uang bulanan, nggak punya motor nggak punya rumah. Gimana caranya dia bisa menghidupi Diana?. Tidak lama kemudian Christove tiba di rumah Riko. Kemudian mereka pamit pada Diana untuk membeli sambal. Ketika suaminya sudah pergi ia pun segera memasak nasi. Sedangkan Riko setelah membeli sambal ia pun mengantar Christove ke rumahnya lalu kembali ke kos. Di rumah Diana sudah menyiapkan nasi di piring untuk di dinginkan karena ia sudah tidak tahan lagi dengan rasa lapar yang tengah ia tahan. Lalu Riko membuka pintu kamar kemudian menyodorkan sebungkus plastik berisikan sambal untuk mereka berdua. "Aku belum sekalian untuk nanti malam. Jadi kita nggak perlu keluar lagi nanti malam untuk nyari sambal." "Ok.. ya udah nih nasi kamu, yok makan" "Ayok.. Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus.. amin" Keduanya membuat tanda salib sebelum mencicipi hidangan makan malam. **** Di kediaman Handriko, Bapak Petrus sedang berdiri di atas balkon rumah nya. Ia termenung dengan tatapan lurus ke depan. Pikirannya jauh melayang pada apa yang ia khawatirkan saat ini. Memang ia sempat berkata pada anak dan menantunya agar mereka harus bisa hidup mandiri tanpa bantuan dari orang tua. Sebab ia telah mengatakan bahwa tugas nya sebagai ayah telah selesai karena Riko sudah berkeluarga. Maka sudah saat nya bagi Riko untuk bertanggung jawab pada keluarga kecilnya sendiri. Tidak peduli apakah Riko siap atau tidak. "Hhhh.. huahh" Bapak Petrus menarik nafas dalam dalam lalu mengeluarkan nya dengan pelan. Jauh di dalam lubuk hati yang paling dalam, ada luka yang tak berbekas yang sulit di jelaskan. Bahkan ia sendiri tidak mampu menjelaskan luka tersebut. Begitu pula dengan Bapak Lukas, ia pun tengah berdiri di depan teras belakang rumahnya dengan satu tangan di dalam saku celana. Ada luka yang teramat sakit yang membekas di hati mereka. Namun mereka sendiri tidak tau bagaimana cara untuk menyembuhkan luka tersebut. Ada perasaan kecewa yang tak dapat di rangkai lewat kata kata. Perihnya lebih tajam dari tikaman pisau tajam. Lebih baik mereka di tikam dengan pisau ketimbang di hadapkan dengan rasa kecewa seperti ini. Bagaimana tidak? Anak yang seharusnya membuat mereka bangga suatu hari oleh karena kelulusan malah membuat mereka malu dan kecewa dengan keputusan menikah dini. Bukannya mereka melarang anak-anak untuk menikah, hanya saja waktunya tidak tepat untuk menikah. Harusnya mereka mengutamakan pendidikan mereka, dan masa depan mereka. Setelah semuanya selesai baru lah mereka memutuskan untuk menikah. Ini tidak malah sebaliknya, belum apa apa, masih di awal semester mereka malah sudah mengecewakan. Sungguh sakit yang mereka lakukan sangat mengecewakan. "Haaaa... hufff" Berulang ulang keduanya menghembuskan nafas berat. Hingga tak terhitung berapa lama mereka berdiri seperti itu. Sedangkan Mama Riko dan Mama Diana hanya bisa menangis terisak di dalam kamar. Satu sisi mereka menangis kecewa atas apa yang di lakukan anak-anak. Tapi di sisi lain jiwa ke ibuan mereka tidak sanggup melihat anaknya di paksa untuk bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri. Sedang mereka tidak bisa berbuat apa apa. Satu satu nya yang bisa di lakukan hanya lah berdoa. Semoga Diana dan Riko mampu menjalani semuanya dengan baik.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD