Sebuah Insiden

1367 Words
Beberapa saat kemudian ... "Telah terjadi sebuah kecelakaan antara sebuah truk bermuatan besar dengan sebuah mobil. Diduga truk itu telah menabrak mobil yang tengah berhenti di tengah jalan. Pemilik mobil itu seorang wanita yang tengah hamil. Dia hanya sendirian di dalam mobil. Beruntungnya tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan ini. Setelah diidentifikasi polisi,wanita tersebut bernama Sonya Alvendra, istri pengusaha sukses Aydin Alvendra. Bisa kita lihat sekarang polisi tengah mengevakuasi dan mengamankan keadaan." Seorang reporter tampak tengah memberitakan kejadian kecelakaan tersebut. Terlihat banyak polisi yang mulai berdatangan dan pihak berwajib yang mulai menangani. Garis-garis kuning mulai dibentangkan. Dan sirene ambulance mulai terdengar. Sonya yang setengah sadar diangkut dengan tandu dan dimasukkan ke ambulans untuk dibawa ke rumah sakit. Pendarahannya cukup besar. Beberapa petugas rumah sakit sedang menanganinya di dalam mobil. Ambulans itu juga mulai melaju cepat menuju rumah sakit. Sedangkan petugas polisi juga mulai menghubungi keluarga korban. Sesampainya di rumah sakit, Sonya langsung dibawa ke ruangan operasi. Beberapa perawat dan dokter segera menanganinya sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Tak lama kemudian orang tua Sonya bersama Shirin telah tiba di rumah sakit tanpa kehadiran Aydin bersama mereka. Mereka bertiga menunggumu di depan pintu operasi dengan panik. "Cepat kau hubungi Aydin. Bagaimana bisa anak itu masih di kantor sementara istrinya berada di ruang operasi." Defne tampak panik dan menyuruh suaminya, Hazmi untuk menghubungi Aydin. "Aku sudah menghubunginya berkali-kali, tapi nomornya sibuk. Mungkin dia sedang rapat," kata Hazmi pasrah. Pria paruh baya itu sebisa mungkin menenangkan istrinya yang tengah menangis dan khawatir. "Rapat malam-malam begini?" Defne tak mengerti lagi harus bagaimana menghadapi sikap menantunya yang dingin, dan putrinya yang malang. Di rumah sakit yang sama, seorang wanita berteriak kesakitan dengan memegangi perutnya yang bunting. Wanita cantik bermata hazel itu diangkut tandu ambulan oleh beberapa petugas rumah sakit dan dibawa ke ruang bersalin. "Nona tenang saja, ya. Semua akan baik-baik saja." Salah satu suster mencoba menenangkan wanita itu. "Ayolah Aisha, kau jangan menyerah. Cepat lahirkan bayimu, oke!" Seorang wanita paruh baya dengan rambut yang dikuncir terlihat ikut mengomentari. "Maaf, Bu. Anda tidak boleh ikut masuk ke dalam," cegah salah satu suster ketika mendapati wanita paruh baya tadi hendak ikut masuk ke ruang bersalin. "Memangnya kenapa? Dia adalah adik iparku. Aku berhak menemaninya," bantah wanita itu. "Aku mengerti, Bu. Tapi selain pasien, dokter, dan juga suster, dilarang masuk. Anda bisa menunggunya di ruang tunggu. Tenang saja, anda nanti bisa menggendong keponakanmu setelah bersalinnya selesai." "Benarkah? Apa kau yakin bayinya akan selamat? Maksudku bagaimana jika terjadi apa-apa dengan bayinya. Aku hanya khawatir saja. Hehe." "Anda bisa duduk di sana dan berdoa semoga persalinannya lancar sehingga ibu dan anaknya selamat," ujar suster itu sembari menunjuk ke arah kursi tunggu. "Aku tidak peduli dengan ibunya, yang penting anaknya selamat," ucap wanita itu pelan. "Apa anda mengatakan sesuatu, Bu?" tanya suster terheran. "Oh tidak. Aku hanya berdoa agar bayi dan ibunya sehat. Itu saja. Memangnya kau dengar aku mengatakan hal lain?" Suster itu mulai pusing mengobrol dengan wanita rempong sepertinya. Suster itu menggeleng dan berkata, "Baiklah sekarang anda bisa menunggu di sana." Setelah mengatakan itu, suster langsung menutup pintunya. "Ah, dasar suster aneh. Bilang jangan masuk, jangan itu, duduk saja, apalah," ujarnya dengan gaya bicara mengejek. "Lagipula aku juga tidak peduli dengan Aisha. Dia hanya membuatku emosi saja setiap hari." Wanita itu terus mengoceh sembari menuju ruang tunggu. Ia mulai mendudukkan tubuhnya di sebelah orang-orang yang juga menunggu. "Ah, malang sekali nasibmu Aisha. Entah di mana suamimu itu. Elvan memang keterlaluan, dia meninggalkan istrinya padaku. Sementara dia, dia hanya keluyuran tanpa pulang membawa uang." Wanita berambut kuncir kuda itu tiada hentinya mengeluh. Beberapa saat kemudian seorang petugas dengan catatan dan pena di tangannya, berjalan menghampirinya. "Permisi, apa anda keluarga dari wanita yang akan melahirkan tadi?" tanya petugas tersebut. "I-iya. Memangnya kenapa?" tanyanya balik. "Kami butuh data dari pasien. Bisa anda membantu saya. Katakan siapa nama wanita yang akan melahirkan itu?" "Aisha. Aisha Sehgal," jawab wanita itu. "Suaminya?" "Elvan Sehgal." "Apa dia tidak ikut datang ke sini?" "Aku sudah mencoba menghubunginya dari tadi. Dia pasti akan datang." "Baiklah." Petugas itu memberi jeda sejenak kemudian bertanya lagi. "Kalau nama Ibu siapa?" "Kenapa memangnya? Apa itu diperlukan juga?" "Iya, Bu. Ini untuk urusan administrasi." "Baiklah kau boleh catat namaku. Nermin," jawab wanita itu. "Apa perlu ditambahkan 'sehgal' juga di belakangnya?" "Terserah kau saja. Nermin saja juga tidak apa-apa. Ingat catat yang benar dan yang bagus ya. Jangan sampai hurufnya salah. Ingat itu. N-E-R-M-I-N. NERMIN!" Tingkah dan gaya wanita itu mulai membuat petugas itu muak. "Baiklah aku sudah mencatatnya. Setelah persalinannya selesai, anda bisa melakukan pembayarannya di resepsionis," ujar petugas itu membuat Nermin terkejut. "Apa?!" Suara wanita itu begitu kencang sehingga membuat orang-orang di sekelilingnya tertuju padanya. "Pembayaran apa maksudmu? Apa aku harus bayar biaya bersalin? Begitu maksudmu, hah?" "Iya, Bu-" "-Oh, jadi kau meminta namaku hanya untuk menyuruhku membayar semua ini?" "Memangnya anda pikir saya menulis namamu untuk didaftarkan di biro jodoh? Dengar, Bu. Kau adalah keluarga pasien yang saat ini berada di sini. Jadi kau harus menyelesaikan administrasinya nanti. Saya pergi dulu." Petugas itu pun akhirnya pergi sebelum mendengar omelan wanita rempong itu. "Keterlaluan. Kalau saja dari awal kau bilang untuk masalah pembayaran, aku tidak akan sudi memberikan namaku. Woy!" Nermin menjatuhkan tubuhnya kembali di kursi panjang. Ia memegang kepalanya seraya mengeluh. "Nasibmu memang buruk, Nermin. Kenapa kau bisa ada dalam situasi seperti ini. Andai saja Aisha tidak pecah ketuban di sekitar sini, aku tidak akan sudi membawanya ke rumah sakit besar seperti ini. Firasatku buruk sekali, biayanya pasti sangat mahal. Bagaimana aku akan membayarnya, sementara untuk makan sehari-hari saja aku biasa ngutang." Nermin menata rambut depannya yang menghalangi matanya. "Aku hubungi Elvan saja. Entah di mana anak itu. Dia tidak bisa seenaknya menyuruh kakaknya ini membayar biaya bersalin istrinya." Setelah mengoceh, wanita itu merogoh ponsel jadulnya dari saku. Dicarilah nomor adiknya itu lalu segera ia hubungi. Beberapa kali Elvan tidak mengangkat, tetapi pada akhirnya pria itu mengangkatnya juga. "Hey, bodoh! Kau di mana?" tanya Nermin langsung marah. "Kakak, ada apa? Kenapa kau selalu menggangguku? Aku lagi bekerja" Suara Elvan dari seberang sana terdengar berteriak. "Halah… bilang aja kau lagi gelandangan di tepi jalan. Mana mungkin kau bekerja? Siapa yang mau mempekerjakan pria bodoh sepertimu, hah?" Nermin memang hobi sekali mengejek adik satu-satunya itu. "Jaga mulut corongmu itu. Kalau kau menelpon hanya untuk mengejekku, aku tutup sekarang. Kakak macam apa kau ini, membuang waktu saja!" "Hey Elvan! Jangan tutup dulu. Dengar, istrimu mengalami keguguran!" "Apa?!" Elvan terdengar kaget. Nermin tersenyum karena telah berbohong Aisha mengalami keguguran. Wanita itu pandai mengarang cerita agar adiknya mau datang ke rumah sakit. "Bagaimana bisa? Lalu bagaimana keadaannya sekarang? Apa bayiku akan selamat?" "Aku tidak tahu. Dokter sedang mengupayakannya." "Bagaimana kau bisa membiarkan semua ini terjadi? Aku sudah bilang untuk menjaga Aisha, kan?!" Elvan mulai panik dan marah. "Kenapa kau memarahiku. Istrimu sendiri yang keluyuran malam-malam. Salahkan saja istrimu." Wanita itu memang pandai bersilat lidah. "Adik bodoh, dengar ya, kau harus ke rumah sakit cepat. Bawa uang yang banyak karena biaya bersalin itu sangat mahal di sini," ujarnya sembari memandangi suasana rumah sakit tempatnya duduk. "Di rumah sakit? Kau membawanya ke rumah sakit? Kenapa kau tidak membawanya ke dukun beranak saja? Itu jauh lebih murah." Elvan semakin kesal. "Dukun beranaknya lagi liburan semua." Nermin meneguk ludahnya. Agaknya ia sudah letih bercanda. "Dengar adik bodoh, cepat ke rumah sakit. Anakmu akan segera lahir. Kau tidak ingin melihat anakmu?" bujuk Nermin. "Benarkah putraku akan segera lahir?" Dari suaranya, Elvan sangat berbunga-bunga. "Kakak aku tidak sabar menyambutnya. Aku akan segera ke sana, cepat katakan di rumah sakit mana?" Nermin tertawa kecil bernada mengejek. "Putraku? Yakin sekali istrimu itu akan melahirkan seorang putra. Hahaha." "Kakak jangan mematahkan hatiku. Simpan candaanmu nanti saja. Sekarang katakan di rumah sakit mana?" "Aku akan memberikan alamatnya lewat pesan saja. Kau pasti akan terkejut rumah sakit mana anakmu dilahirkan." Nermin tersenyum sumbang. "Oh, iya bawa uang untuk pembayaran. Jangan lupakan itu!" "Aku tidak punya uang. Kau saja yang bayar." "Apa-" "-Aku aku tutup dulu ya. Aku akan segera ke sana!" "Elvan!" "...." "Ya Tuhan dia mematikan panggilannya." Nermin merengek tangis. "Kau memang k*****t, Elvan. Ya Tuhan … kenapa kau berikan adik seperti dia?" *** TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD