Sebuah Kelahiran

1249 Words
Di ruang operasi, Sonya berhasil melewati masa kritisnya dan telah melahirkan bayi laki-laki. "Suster, tolong kau bawa bayinya ke ruang inkubator. Bayi ini harus diberikan perawatan secara intensif sebelum akhirnya boleh dibawa pulang," pinta seorang dokter wanita pada salah satu perawatnya sembari meletakkan bayi mungil itu ke dalam keranjang beroda. "Baik, Dok!" Suster itu lekas membawa sang bayi keluar ruang operasi. "Aku akan mengabari keluarga pasien," ucap Dokter laki-laki berpamitan pada dokter perempuan yang masih mengobati Sonya. Orang tua Sonya dan Shirin langsung menghampirinya begitu melihat seseorang yang keluar dari pintu. Kemudian disusul pula seorang dokter yang keluar. "Dok, bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Defne panik. Namun rasa paniknya itu berkurang saat melihat bayi mungil di dalam keranjang. "Bisa kita bicara sebentar!" pinta sang dokter pada Hazmi. "Anak Bapak baik-baik saja. Dia sudah berhasil melewati masa kritisnya. Tapi bayinya butuh perawatan intensif. Dia harus ditaruh di inkubator." Dokter itu menjelaskan pada Hazmi. "Syukurlah!" Mereka semua terlihat senang. Mata Defne dan Hazmi berkaca-kaca melihat cucunya yang dibawa ke ruang inkubator. "Aku ikut senang mendengar Sonya selamat dan berhasil melahirkan bayinya," ucap Shirin pada Defne. Kemudian mereka berpelukan. "Aku akan mencoba menghubungi Aydin lagi. Dia pasti akan gembira mendengar kabar ini." Hazmi mulai mengoperasikan ponselnya dan menelpon menantunya itu. Sama seperti sebelumnya, tidak ada jawaban. Ekspresi pria paruh baya itu menjadi sedih. "Dia memang tidak pernah peduli dengan Sonya," ujar Defne marah. Di sebuah perusahaan perhotelan, sebuah rapat penting tengah berjalan dan sebentar lagi akan usai. Seorang pria tampan nan karismatik dengan setelan jas hitam, tengah duduk di kursi utama sebagai pemimpin rapat. Dia adalah Aydin Alvendra. CEO dari Star blue group. Star blue sendiri adalah nama perusahaan yang terdiri dari perhotelan, pariwisata, dan juga restoran. "Baiklah rekan-rekan, kita akhiri rapat malam hari ini. Kita akan lanjutkan rencana proyek yang sudah kita susun minggu depan." Aydin menutup rapatnya dengan gayanya yang bijak. Karisma Aydin memang sangat berwibawa, hal itu menambah poin plus tersendiri setelah menyandang predikat sebagai salah satu pria berwajah tampan di negeri ini. Selain itu sikapnya yang ramah dan baik pada siapapun, membuatnya banyak dikagumi orang-orang sekitarnya. Dia memang pandai merebut hati semua orang. Namun, meskipun memiliki semua sifat teladan tersebut, tidak afdhal jika tidak ada orang-orang yang iri terhadapnya. Ada juga beberapa rekan bisnisnya yang cemburu terhadap kesuksesannya. Tok! Tok! Suara ketukan pintu terdengar setelah Aydin berjabat tangan dengan rekan-rekan kerjanya. "Masuk!" kata Aydin mempersilakan. Pintu terbuka dan seorang gadis–karyawan kantor–memasuki ruang rapat dengan ekspresi cemas. Dia membawa sebuah tablet dan bergerak ke arah Aydin. "Maaf, Tuan. Baru saja saya melihat berita telah terjadi kecelakaan. Dan istri anda juga terlibat dalam kecelakaan tersebut," ujarnya menyampaikan kabar. "Apa?!" Aydin terkejut dan buru-buru meraih ponselnya di atas meja. Ia mengaktifkan ponselnya itu. "30 panggilan tak terjawab," ucapnya panik. Lantas ia menatap ke arah temannya di sampingnya. "Harun, tolong kau urusan di kantor, aku harus segera pergi sekarang." "Kau tenang saja, Aydin. Akan aku urus segalanya. Semoga Sonya baik-baik saja," ucap Harun mendoakan. "Oh iya, kabari aku jika kau sudah lihat keadaan di sana," lanjutnya. Harun adalah teman sekaligus rekan kerja kepercayaan Aydin. Selain itu, Harun juga seorang pengacara andalannya. Mereka bersahabat sejak masih di bangku sekolah. Aydin buru-buru keluar ruangan dan turun menggunakan tangga, karena lift hanya membuang waktu saja. Dia berlari secepat kilat menuruni tangga dengan wajah kecemasan. Sesampainya di luar gedung, seorang penjaga langsung menyiapkan mobil untuknya. Aydin masuk dan mengemudikannya dengan kencang. *** Di rumah sakit, Aisha tengah mengerang kesakitan. Kedua tangannya mengepal, meremas sprei putih yang basah akan keringatnya. Sementara dua suster dan seorang dokter tampak berusaha. "Dorong lagi, Nona. Ayo dorong!" ucap dokter menyemangati. "Aaargghhh!" "Ayo sedikit lagi." "Aaaaarggghhhhh!" "Bagus." Setelah teriakan terakhir yang keluar dari mulut Aisha, kemudian disusul suara tangisan bayi terdengar menggema. Aisha berhasil melahirkan bayi perempuan yang lucu. Namun, malangnya wanita itu tak sadarkan diri setelah melahirkan. "Syukurlah. Bayinya lahir sehat," ucap Dokter senang karena telah membantu persalinan dengan selamat. "Sus, tolong kau bawa bayinya ke ruang bayi. Dan ya, mandikan juga dan rapikan. Setelah itu bawa ke sini pada ibunya," perintah dokter pada salah satu susternya. "Baik, Dok!" Suster itu segera menaruh sang bayi mungil itu ke dalam keranjang beroda dan mendorongnya keluar ruangan. "Apa ibunya baik-baik saja, Dok?" tanya suster yang satunya sembari memandang ke arah Aisha. "Dia hanya pingsan. Nanti juga sadar. Oh iya, tolong kau awasi dia, begitu sadar nanti panggil saya. Saya akan menemui keluarganya," pesan dokter lantas berlalu keluar ruangan setelah direspon anggukan oleh sang suster. Nermin yang saat itu sedang bersandar di kursi dengan mata terpejam, tidak melihat keponakanya baru lahir yang dibawa keluar menuju ruang bayi. Hingga akhirnya dokter menghampirinya dan membangunkannya. "Ibu? Bangun, Bu?" kata Dokter seraya menggoyang-goyangkan bahunya. "Apa ibu keluarga pasien?" "Ah, dokter. Kau mengganggu mimpiku saja." Nermin mengucek matanya dan berdiri di hadapan dokter. "Apa persalinannya sudah selesai? Bagaimana bayinya?" tanyanya kemudian. "Bayinya sedang dimandikan. Tetapi ibunya pingsan, tapi anda tidak perlu khawatir. Nanti akan segera siuman." "Ya sudah," balas Nermin seolah tak peduli. "Oh iya, di mana ayahnya? Akan lebih baik jika ayah sang bayi juga ada di sini." "Dia akan datang, Dok. Sebentar lagi dia pasti akan datang." "Baiklah kalau begitu. Setelah ibunya bangun nanti, anda bisa melunasi administrasi pembayaran dan kalian bisa membawa bayinya pulang. Saya permisi dulu," kata dokter seraya melemparkan senyuman kemudian beranjak dari sana. Nermin menepuk jidatnya. "Pembayaran? Pasti sangat mahal. Aduh Elvan, ke mana kau bodoh. Jangan biarkan aku membayar hutangmu ini," keluhnya seraya memainkan bibirnya. Di tepi jalan, seorang pria tampak sedang menghentikan taksi. Dia adalah Elvan. Pria itu sudah berkali-kali mencari taksi kosong, namun semuanya tampak penuh. Apalagi hujan mulai turun, membuatnya semakin panik. "Tuhan, setidaknya tolong jangan hujan dulu. Biarkan aku menemui pangeran kecilku dulu," ujarnya sembari menatap langit yang gulita. Dia sangat yakin kalau anaknya itu lahir laki-laki, padahal sebenarnya adalah perempuan. Di jalur yang sama, tampak Aydin mengemudikan mobil dengan kencang. Menerobos rintikan hujan yang semakin lebat, dan melewati kendaraan-kendaraan di sampingnya. "Kalau sesuatu terjadi pada anakku, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri. Tuhan, aku mohon selamatkan mereka." Sepanjang perjalanan pria itu terus berdoa dengan cemas. Pikirannya tidak tenang membuat konsentrasi dalam mengemudi buyar. Cieettt… bunyi gesekan ban mobil dengan aspal terdengar menciut. Mobil Aydin berhenti tiba-tiba saat di depannya ada pria yang sedang melintas dan hampir tertabrak olehnya. Aydin buru-buru keluar dan mengecek keadaan. "Maaf, apa kau tidak apa-apa?" tanya Aydin menghampiri pria itu yang terjatuh karena kaget. "A-aku tidak apa-apa." Dia adalah Elvan. "Baiklah aku akan membantumu berdiri." Aydin membantu Elvan berdiri. Lantas ia merogoh saku jasnya dan memberikan beberapa uang padanya. "Maaf, aku harus buru-buru pergi. Ini sebagai tanda maafku karena hampir menabrakmu. Sebenarnya aku tidak sengaja, aku sedang panik dan-" "-Tidak perlu repot-repot, Tuan. Aku baik-baik saja. Tapi, bisakah kau menolongku?" kata Elvan. "Aku akan menolongmu, tapi saat ini aku harus segera pergi." "Tuan, istriku sedang melahirkan di rumah sakit. Aku harus menemuinya. Aku sudah mencari taksi tapi tidak ada yang kosong. Maukah kau mengantarku?" pinta Elvan dengan ekspresi penuh iba agar Aydin menyetujuinya. "Rumah sakit? Rumah sakit mana?" tanya Aydin. "Em … rumah sakit yang di sebelah kanan jalan jalur ini. Apa namanya ya, aku-" "-Maksudmu Rumah Sakit besar Cempaka Putih itu?" selak Aydin bertanya. "iya … iya itu, Tuan." "Kebetulan tujuan kita sama. Kalau begitu ayo kita masuk ke mobil!" ajak Aydin. Mereka pun akhirnya masuk ke mobil, dan Aydin bergegas melajukan mobilnya kembali. *** TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD