Chapter 1
CANTIK
Dari kejauhan seorang pemuda bernama Athaya Najib Zaahirulhaq, mengamati seorang gadis tanpa kedip.Sejak melihat wajah cantik itu di parkiran, mendadak keberaniannya muncul untuk berkenalan. Belum pernah ada seorang gadis yang mampu menggetarkan hatinya seperti sekarang ini.
"Hai! Kenalin aku Atha, kayaknya kita sekelas," sapa Atha penuh percaya diri. Dia mencoba menyejajarkan langkah dengan si gadis.
"Sorry, aku nggak kenal." Gadis itu melengos pergi, meninggalkan Atha yang terpaku dengan sejuta keterpesonaan.
Untung cantik, meskipun sombong nggak masalah. Makin tertantang rasanya, berarti dia bukan gadis gampangan. Senyum keyakinan terpancar. Dia telah menemukan orang yang tepat untuk tambatan hatinya.
"Siapa, Mir?" tanya salah satu sahabat gadis itu, Cordelia Rafani.
Gadis yang bernama Amirah Lashira menjawab, "Tau, aku nggak kenal."
"Biarpun nggak kenal, harusnya kamu ramah, Mir. Siapa tahu dia sekelas sama kita," sarannya pada sang sahabat.
"Dia, sih, bilang gitu tadi. Cocok tuh sama kamu, Del. Udah sehati aja omongannya." Mira mencolek dagu Delia dan segera masuk ke dalam kelas.
"Apaan, sih, Mir." Delia mengikuti langkah Mira.
Dua gadis yang kini baru memasuki kelas sepuluh itu memang bersahabat sejak lama. Dari mereka sekolah taman kanak-kanak hingga saat ini, selalu satu kelas dan sekolah. Namun, sifat keduanya sangat berbeda, Amirah Lashira dengan sikap acuh dan cuek pada siapa pun yang belum dikenalnya. Cordelia Rafani dengan sikap ramah dan lebih bersahabat kepada siapa pun termasuk orang yang baru dia kenal.
Athaya memasuki kelas dengan tenang, dia berusaha tak melirik ke arah Mira. Jika gadis itu sudah bersikap cuek, maka dia pun akan melakukan hal serupa. Pemuda yang memiliki belahan rambut di sebelah kiri itu menyapukan pandangan ke segala arah. Mencari bangku kosong untuk tempat duduknya. Saat menemukannya, dia segera berjalan mendekat.
"Maaf, boleh duduk di sini? Masih kosong, 'kan?" tanya Atha.
"Duduk aja! Nggak ada yang nempati juga," kata pemuda itu cuek, dia masih tetap fokus pada buku di depannya.
Atha mengelus d**a, pagi ini mengapa dia bertemu dengan orang-orang yang tak bersahabat. Perasaan dari rumah tadi aku sudah baca doa agar Allah melindungi hari ini. Kok, sekarang malah ketemu sama makhluk-makhluk yang menguji kesabaran. Huh! hatinya mengeluh.
Seorang lelaki paruh baya masuk ke dalam kelas. "Asalamualaikum dan selamat pagi anak-anak semua."
"Waalaikumsalam, selamat pagi juga, Pak," jawab semua murid serempak.
"Kenalkan! Nama Bapak, Adam. Bapak akan menjadi wali kelas kalian selama di kelas sepuluh ini. Kalau ada yang mau ditanyakan silakan!"
Mira mengangkat tangan. "Ya, silakan kamu!" perintah Pak Adam.
"Bapak ngasih pelajaran apa?" tanya Mira. Semua cowok yang ada di kelas sepuluh menoleh. Tak diragukan lagi aura kecantikannya begitu terpancar.
"Bapak ngasih pelajaran kesenian dan kerajinan. Bukankah kalian sudah mendapat jadwal pelajaran?" tanyanya. Para murid serempak menjawab iya.
"Pelajaran favoritmu, Del," bisik Mira. Delia, hanya mengangguk setuju dengan perkataan sahabatnya.
*****
Bel tanda pelajaran sekolah usai, berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Saling mendahului agar bisa sampai gerbang dengan cepat. Mungkin mereka sudah tak sabar untuk sampai di rumah. Waktu yang selalu ditunggu-tunggu setiap murid.
"Del, pulang bareng, nggak?" tanya Mira. Rumah mereka memang searah walaupun letaknya agak berjauhan.
"Aku masih mau ke perpustakaan, Mir," jawab Delia sambil memasukkan buku ke dalam tasnya.
"Jangan terlalu rajin! Masih jauh kita lulus," ucap sang sahabat. Setelah selesai membereskan buku-bukunya.mereka berjalan keluar, Mira berjalan di samping Delia sebelum akhirnya berpisah di depan persimpangan lorong kelas.
"Kamu enak. Punya otak encer banget. Biarpun nggak belajar pasti bisa. Lah, aku?" Delia mengerucutkan bibir.
"Dikira air, apa? Huh, payah kamu, Del." Mira menarik ujung hijab di wajah sahabatnya sehingga berantakan sedikit, lalu dia segera berlari kecil menuju parkiran.
"Mira ...!" teriaknya, "kebiasaan deh." Delia menghentakkan kaki kanan, sebal. Gadis berambut hitam lurus itu selalu saja menggoda. Mira menengok, lalu menjulurkan lidah mengejek sang sahabat.
Dari depan musala, Atha mengamati keduanya. Dia juga ikut tersenyum saat dua sahabat itu bercanda. Kebiasaan sejak kelas sembilan sebelum pulang ke rumah, pemuda itu melaksanakan salat zuhur terlebih dahulu. Alasannya agar tenang saat perjalanan pulang dan jika ada halangan, maka dia sudah menyelesaikan kewajiban itu.
Delia memasuki perpustakaan yang sudah sepi, dia mencari buku-buku yang berkaitan dengan pelajaran kimia. Otaknya selalu tumpul jika berkaitan dengan ilmu pasti. Sudah belajar sekuat tenaga pun kadang nilai yang didapat masih ada pada urutan terbawah.
"Asalamualaikum," salam seseorang dari belakang si gadis. Keadaan perpustakaan yang sepi membuat Delia terlonjak kaget. Sebagian buku yang ada di rak terjatuh. "Astagfirullah, maaf," ucap pemuda itu yang tak lain adalah Atha.
"Waalaikumsalam," jawab Delia, "maafkan aku juga." Gadis itu segera membereskan buku-buku yang berserakan.
"Kita satu kelas 'kan, ya?" tanyanya. Atha berjongkok ikut membantu memunguti buku yang terjatuh.
"Iya." Delia menatap sekilas, lalu kembali melihat ke bawah.
"Kenalkan! Aku Athaya Najib Zaahirulhaq." Tangannya terulur ingin bersalaman dengan Delia.
"Delia," jawabnya singkat dengan mengatupkan dua tangan di depan d**a. "Maaf, aku harus segera ke luar. Sebentar lagi, perpustakaan akan tutup. Kamu masih mau nyari buku?"
Atha tertegun, gadis di depannya ini sangat ramah. Berbanding terbalik dengan sang sahabat, Mira. Jangankan memberi tahu seperti sikap Delia sekarang, menyebutkan nama saja dia enggan.
"Hai! Kenapa malah bengong? Kalau belum dapat buku, buruan! Keburu tutup perpustakaannya. Ntar, nyesel." Delia melambaikan tangan di depan muka Atha.
"Eh, i-ya." Seketika Atha tersadar dari lamunannya. Gadis berkerudung putih itu tersenyum, lalu meninggalkan dia sendirian. "Del, tunggu!" teriak Atha.
Delia menoleh. "Kenapa?"
"Aku boleh anggap kamu teman?" Wajah Atha dibuat semanis mungkin untuk menarik perhatian sang gadis.
"Kamu lucu, Tha. Kita emang teman, 'kan? Teman satu kelas." Delia terkikik sendiri.
"Iya, juga." Atha pun tertawa. Selesai melaporkan buku yang mereka pinjam, keduanya meninggalkan perpustakaan berbarengan.
Di depan gerbang pemuda yang membawa motor sport itu kembali bertemu dengan Delia yang tampak menunggu seseorang. Atha menghentikan motor tepat di samping si gadis. "Nunggu siapa, Del?"
"Eh, kamu. Ngagetin aja, lagi nunggu masku."
"Mau bareng?" ajak Atha.
"Nggak usah. Rumahku jauh. Lagian bentar lagi masku sampai. Terima kasih."
"Aku temani sampai masmu datang,ya? Nggak baik perempuan duduk sendirian." Atha turun dari motor dan duduk di samping Delia.
"Orang tuamu nggak nyariin nanti, anaknya kenapa gak pulang-pulang." Gadis itu menutup mulut.
"Dikira aku Bang Toyib, ya?" Atha pun tertawa setelah mengatakannya.
"Kamu beneran mau nemenin aku, Tha?" Delia heran. Mereka baru pertama saling mengenal, tetapi sudah bisa seakrab ini.
"Iyalah, bener. Kenapa?" Atha menyilangkan kaki, ngobrol dengan gadis itu terasa menyenangkan. Segala sifat jaim dan cuek terkikis dengan sendirinya.
Baru saja Delia akan berucap, seseorang di atas motor membunyikan klakson keras. Delia menoleh, dia melihat kemarahan di mata saudaranya. Gadis dengan tinggi 150 sentimeter itu segera naik ke motor meninggalkan pemuda itu sendirian. Sampai di rumah nanti Delia pasti akan diinterogasi Ayah dan masnya.
"Jelaskan semua di rumah, Dik! Siapa cowok itu?" Baru saja Delia membatin masnya sudah mengatakan apa yang ada dipikirannya.