MENCOBA BERTEMAN
Dari depan pintu musala pemuda dengan tinggi sekitar 170 sentimeter itu melihat Delia yang berjalan memasuki kelas. Dia segera memasang sepatunya dan mengejar langkah gadis berkerudung. Memberi salam serta mengajaknya ngobrol, tetapi sang gadis, hanya diam tanpa menjawab pertanyaan Atha.
"Del, are you oke?" kata Atha sambil menurunkan kepala sedikit untuk melihat wajah teman sekelasnya.
"Tha, jangan gitu dong! Gak enak dilihat yang lain." Delia masih terus berjalan tanpa menghiraukan Atha.
"Sikap kamu, tuh, beda sama yang kemarin,"
"Biasa aja, kok. Cuma, kita emang harus ngebatasi pertemanan antara dua lawan jenis." Sisi lain dari Delia terkuak. Atha masih tak mengerti dengan maksudnya.
"So, aku gak boleh temenan lagi sama kamu?" desak Atha.
"Boleh, tapi jangan terlalu dekat juga." Atha meringis, kini dia paham maksud Delia. Mungkin Delia mengira bahwa Atha sedang mendekati layaknya mereka-mereka yang dalam fase pendekatan sebelum memutuskan untuk berpacaran. "Ih, kok senyum-senyum, sih?" Delia mulai curiga.
"Senyum itu ibadah, Del." Gadis berkerudung itu diam, tak menjawab perkataan Atha lagi. Di depan pintu kelas Mira sudah melambaikan tangan pada Delia
Kedua sahabat itu saling memeluk dan cipika-cipiki, lalu keduanya masuk ke dalam kelas. Atha menggaruk kepalanya yang tidak gatal, salah tingkah dengan interaksi dua gadis itu. Dia juga masuk ke dalam kelas, lima menit lagi jam pelajaran sudah di mulai.
*****
"Del, ke kantin, yuk!" ajak Mira, Delia masih membereskan beberapa bukunya yang berserakan.
"Duluan, Mir! Masih ada yang mau aku kerjain," jawabnya yang terlihat bingung.
"Mikir soal kimia lagi? Udah salin aja PR-ku, biasanya juga gitu, 'kan?" Mira mengeluarkan buku, lalu memberikan pada sahabatnya. Dia tahu kelemahan Delia, tidak pernah paham dengan pelajaran kimia dan beberapa pelajaran ilmu pasti lainnya.
"Enggak, ah. Aku mau berusaha sendiri. Daripada di lab nanti malah puyeng."
"Ya, tapi jaga kesehatanmu juga, Del! Kamu pasti gak sarapan tadi," nasihat Mira.
"Iya, nanti aku nyusul." Setelah mendengar jawaban Delia, Mira pun segera pergi meninggalkan sahabatnya menuju kantin.
Setelah kepergian Mira, Atha mendekati. "Aku bantu, Del!" Tanpa menunggu jawaban si gadis, Atha sudah duduk di sampingnya.
"Eh, mau apa kamu?" kata Delia terkejut.
"Bantuin kamu. Emang nggak boleh?" Atha menaik turunkan alisnya.
Kemarin, Ayah sudah memperingatkan agar aku jangan terlalu dekat dengan teman-teman cowok.
"Enggak usah, Tha! Aku bisa berpikir sendiri. Kamu enggak istirahat emangnya?" Delia menggeser duduknya agak menjauh dari Atha.
"Males. Aku belum begitu mengenal teman-teman yang lain, cuma kamu aja yang udah deket." Delia melirik Atha, sedikit curiga dengan kalimat yang dikeluarkan. "Del, aku tanya, boleh nggak?"
"Tanya aja, tapi jangan yang aneh-aneh, ya?" Atha mengangguk. Kedua tangannya diletakkan di atas meja, lalu dia merebahkan kepalanya menghadap ke arah Delia.
"Kamu udah lama temenan sama cewek yang duduk di sini?" Matanya mengarah pada kursi yang dia duduki.
Delia mendongakkan kepala. "Mira, maksudmu?" Atha mengangguk. "Lama banget, dari kita masih taman kanak-kanak, dah, kenal. Kita selalu sekelas dari dulu sampai sekarang."
Atha manggut-manggut. "Kenal baik berarti, ya?"
"Iya. Kenapa, sih?" Delia mulai menangkap sesuatu yang lain di mata Atha.
"Nggak ada, cuma nanya aja," katanya, "eh. Dia gimana, sih, anaknya?"
"Maksudmu?" jawab Delia, "Atha, ih, ganggu aja. Aku lagi ngerjain PR kimia, lho." Atha nyengir, lalu menaikkan dua jarinya sebagai permintaan maaf.
"Aku ajari habis ini, tapi kamu harus jawab pertanyaanku yang tadi. Gimana?" Delia tidak yakin dengan ucapan Atha. Namun, dia tetap menganggukkan kepala.
"Mira itu anaknya cuek. Dia, gak suka beramah-ramah sama orang baru. Udah?" tanya Delia.
"Boleh tanya tentang dia lagi, nggak?" Delia mengangguk. "Dia udah punya pacar belum?"
Tangan Delia menjitak kepala Atha. "Masih kecil udah mikir kayak gituan. Sekolah dibenerin dulu, baru yang lain."
"Kejam kamu, Del. Sakit, tahu!" Atha mengelus kepalanya. "Masak tanya aja nggak boleh?"
"Biarin," katanya melengos, "lagian kamu ngapain tanya gituan. Kalau mau tahu sana tanya sendiri sama yang bersangkutan."
"Kamu tadi bilang dia nggak bersahabat sama orang baru. Aku udah coba dan hasilnya, ya, dicueki." Atha mengembuskan napasnya kasar.
"Tanyanya sudah, kan? Sekarang bantuin aku!" pinta Delia.
Atha meraih buku gadis berjilbab putih itu kemudian dia mulai menerangkan tentang cara mengerjakan semua soal di sana. Saat bel masuk berbunyi, pemuda itu segera kembali ke tempat duduknya. Delia melihat ke Atha, dia tersenyum dan mengucapkan terima kasih dengan suara lirih.
"Del, kamu beneran nggak ke kantin? Awas aja kalau sampai kumat penyakitmu. Tak bilang ke masmu, baru tahu rasa!" ucap Mira saat dia sudah duduk di samping Delia.
"Dasar tukang ngadu." Delia menyenggol lengan sang sahabat.
"Kamu susah dikasih tahu. Selalu teledor dan abai sama kesehatan sendiri." Mira cemberut, dia terlalu sayang pada sahabatnya itu. Makanya, dia selalu memperhatikan kesehatan Delia. Dulu, gadis itu pernah sakit maag parah karena sering telat makan.
"Aku tadi makan roti, kok. Nih, bungkusnya!" Delia memperlihatkan pada Mira, lalu sahabatnya itu tersenyum. "Aku simpan itu, takutnya kamu enggak percaya."
"Aku takut kamu sakit seperti waktu itu, Del." Mira memeluk sahabatnya.
"Insya Allah, enggak." Delia melepas pelukannya. "Eh, Mir, kayaknya ada yang lagi naksir kamu," goda Delia. Dia ingin membuat sahabatnya itu tersenyum kembali.
"Ogah! Ambil kamu aja!" Mira menjawab kata-kata sahabatnya dengan sewot.
"Dih, emang barang! Aku juga ogah. Bisa dicincang sama Ayah kalau ketahuan pacaran."
"Bener itu." Keduanya tertawa. "Apalagi masmu. Ganteng-ganteng galaknya nggak ketulungan."
Dari tempat duduknya, Atha melihat tawa mereka, dia pun ikut tersenyum, meskipun tak tahu apa yang ditertawakan. Kata orang sih tertawa itu bisa menular pada orang yang melihatnya. Atha merasakan itu sekarang.
Seruan dari guru kimia mereka untuk segera ke laboratorium menghentikan tawa Delia dan Mira. Mereka berdiri sambil membawa peralatan belajar. "Del, PRmu udah selesai?" tanya Mira.
"Udah."
Sesampainya di lab, Ibu Guru segera membagi murid-muridnya menjadi beberapa kelompok untuk memudahkan mereka dalam praktek kali ini. Delia mendapat kelompok dengan Atha serta dua teman lainnya. Di depan bangku mereka, ada kelompok Mira dan tiga teman lainnya, salah satunya teman sebangku Atha, Malik.
Setelah pembagian kelompok, mereka segera mengikuti instruksi yang diberikan Bu Guru. Mencampur bahan-bahan kimia untuk membuktikan rumus yang terdapat di dalam buku panduan. Tangan Atha sibuk mengaduk-aduk cairan yang terdapat di dalam tabung kecil. Delia, hanya kebagian mencatat hasilnya saja.
"Sempurna!" serunya. Teman yang lain pun mengangguk setuju. "Udah di catat, 'kan, Del?" Atha mendekati Delia.
"Sudah?" Delia risih dengan Atha yang terus berusaha dekat dengannya. "Ada apa, Tha?" Gugup menyerang Delia seketika.
"Kamu lihat dia, Del!" Delia mengikuti jari telunjuk Atha. Ternyata, jari itu mengarah kepada sahabatnya, Mira.
"Kenapa sama Mira, Tha?" Delia meneruskan tugas untuk menulis hasil praktek kelompoknya tadi.
"Mira itu bagiku perpaduan yang sempurna antara kalsium, nitrogen, titaniun serta kalium." Delia yang tak hafal dengan tabel periodik kimia, hanya memandang Atha cengo.
"Aku enggak ngerti maksudmu, Tha. Ngomong langsung aja sama Mira!" Delia meninggalkan Atha yang tersenyum sendirian. Mana berani pemuda itu mendekati Mira yang galaknya minta ampun.
Lama-lama dekat dengan kamu, aku makin tahu kalau kamu enggak beres. Dah, tahu aku enggak ngerti ilmu ini. Eh, malah ngasih teka-teki. Atha aneh.