KERAS BAGAI BATU
Kian hari perasaan Atha pada Mira kian berkembang. Bukan hanya rasa kagum yang akhirnya tumbuh, tetapi rasa yang lebih dari itu. Namun, dia menyadari rasa yang dimilikinya untuk sang gadis tak akan pernah terbalaskan, saingannya terlalu berat. Banyak sekali desas-desus cowok yang menyukai Mira.
"Hai, kamu anak kelas sepuluh, ya?" tanya seorang cowok pada Atha. Sepertinya, dia salah satu kakak kelas.
"Iya. Kenapa?" Atha menjawab pertanyaan cowok itu sambil memainkan bola basket. Dia tidak terlalu menghiraukannya.
"Teman sekelasnya Mira, 'kan?" kejar kakak kelas itu.
"Iya. Kenapa, sih, nanya terus?" Atha mulai terlihat kesal saat si Kakak kelas menyebut nama Mira bahkan matanya membola marah.
"Biasa aja matanya! aku congkel baru tahu rasa." Sang kakak kelas mulai tersulut emosi. "Sampaikan salamku untuknya. Jangan sampai lupa!"
Atha membalik badan, membelakangi cowok itu. Detak jantungnya berpacu dengan cepat saat menyadari siapa yang baru saja menitipkan salam pada Mira. Adyatma Mahavir, salah satu ketua tim basket sekolah. Idola kaum hawa karena ketampanan dan kepintarannya dalam cabang olahraga yang bergengsi itu.
"Ngomong aja sendiri. Kenapa mesti titip-titip. Nggak gentle banget." Jantungnya memang bergemuruh, tetapi tidak dengan ketenangan wajah. Atha masih bisa mengontrol bahkan dia terkesan enggan menyampaikan amanah dari sang Kakak kelas.
"Ngeselin kamu, ya!" Tangan kiri Havir mencengkeram kerah kaos Atha, tangan yang lain mengepal ke atas siap memukul.
"Kenapa? Kamu nggak terima? Pukul aja pukul aku nggak takut," tantang Atha.
"Hav, turunkan tanganmu! Pak Imam mengamati," kata salah satu sahabat Havir.
Atha masih diam, dia menyesal karena tidak bisa menguasai emosinya sendiri. Setelah Havir melepaskan cengkeraman, Atha segera berlalu meninggalkan Kakak kelas itu. Langkahnya semakin lemah saat melihat Mira di pojok lapangan basket sedang tersenyum bahagia bersama seorang cowok.
Agak jauh di sebelah Mira, Atha melihat Delia yang berdiri menatap sang sahabat. Cowok itu tersenyum dan segera menghampirinya. "Del, ke kantin, yuk!" ajaknya.
Delia menoleh pada Atha dan berkata, "Enggak, ah, males." Dia berlalu meninggalkan teman sekelasnya itu.
"Del, tunggu!" teriak Atha sambil berjalan mengiringi langkah si gadis berkerudung.
"Atha, ih, sana! Jauh-jauh dari aku!"
"Kenapa, sih, Del? Aku cuma pengen jadi temanmu aja. Masak, nggak, boleh?"
"Jangan bikin ribet, deh, Tha. Kalau masku tahu, bisa di sidang lagi." Delia menutup mulutnya dalam keadaan panik dia sering keceplosan. Apa yang seharusnya tidak boleh terungkap kini malah terbuka dengan gamblang. Atha berhenti, dia berusaha mencerna perkataan Delia. Dia mengambil kesimpulan sendiri bahwa Delia sedikit menjauh karena ada larangan dari keluarga. Satu ide muncul di pikiran cowok itu.
"Del, tunggu!" teriaknya.
"Apa lagi, sih, Tha?" Delia menghentakkan kaki, dia mulai jengkel dengan cowok di belakangnya.
"Minta alamat rumahmu, dong!" Atha masih menampilkan senyum termanis.
"Buat apa? Gak usah macam-macam! Ntar malah panjang urusannya kalau kamu sampai main ke rumah." Delia cemberut.
"Satu macam aja, Del. Aku cuma pengen tahu rumahmu." Atha mengerjapkan mata lucu.
"Gak usah, genit! Mira itu enggak suka tipe cowok kayak gitu." Delia menutup mulut karena keceplosan lagi.
"Jadi ....?"
"Apa ...?" Delia melotot.
"Tentang Mira. Dia suka tipe cowok yang gimana? Kalem?" Atha segera menghentikan langkah saat suara Mira terdengar memanggil Delia.
Dari jarak dekat, sahabat Delia itu terlihat begitu cantik. Kecantikan sang gadia makin berlipat-lipat karena rasa yang dimiliki Atha padanya. Cowok dengan rambut lurus belah tengah itu memandang Mira tanpa berkedip, takjub dan terpesona dengan segala keindahan yang ada.
"Kedip matanya, Tha! Jaga pandangan!" sindir Delia.
Atha segera memalingkan muka dan berlalu pergi meninggalkan mereka. Malu, itu yang sebenarnya ketika Delia berkata seperti tadi. Harga dirinya seolah jatuh kedapatan begitu terpesona dengan Mira.
"Kalian sudah akrab banget ternyata. Jangan-jangan...," goda Mira pada sahabatnya ketika Atha sudah menjauh.
"Akrab apa? Dia itu suka sama kamu, tapi kamunya jutek banget, gak pro ma dia." Delia menyenggol lengan Mira. Saat mata keduanya bertemu, mereka tertawa.
"Buat kamu aja, Del. Kalian terlihat cocok." Setengah berlari Mira meninggalkan Delia yang terlihat marah dengan ucapannya.
*****
Di sebuah persimpangan jalan, Atha melihat seseorang yang dia kenal mendorong motor. Rasa hati ingin menolong, tetapi dia ragu. Takut jika Mira akan bersikap tidak ramah seperti yang sudah-sudah dan hatinya akan sangat terluka dengan perlakuan itu.
Wajah Mira terlihat lelah, tetapi Atha masih tetap berada di belakangnya tidak berani menyapa ataupun bertanya. Mira memarkir motor di seberang jalan sepertinya dia akan membeli sesuatu di sana. Atha pun berhenti tidak jauh dari Mira, dengan segala kekuatan cowok itu mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
"Asalamualaikum," salam Atha, "kenapa sama motormu?"
Mira berbalik, menoleh ke sumber suara. "Waalaikumsalam." Tak ada kata lagi darinya. Dia, hanya duduk di sebuah bangku yang terdapat di depan toko.
Atha berdiri di dekat Mira, dia diam menunggu perkataan sang gadis selanjutnya. Sahabat Delia itu mengeluarkan minuman dari tas plastik yang dibelinya tadi. Membuka tutup lalu meminumnya, semua hal itu tak luput dari pengamatan si cowok.
Beberapa menit berlalu, Mira sudah terlihat lebih segar setelah minum. "Motorku mogok, nggak tahu kenapa. Kamu tahu bengkel terdekat dari sini?"
Demi apa, Mira bisa ramah seperti ini. Ingin sekali rasanya Atha berteriak sekencang mungkin meluapkan kebahagiaan, dia mulai tersenyum sendiri. Tiba-tiba cowok itu melihat tatapan Mira yang tidak mengenakkan.
"Eh, maaf. Tadi aku sedang mengingat-ingat bengkel yang paling dekat di daerah sini." ucap Atha agak gugup.
"Terus gimana, ingat? Aku dah capek jalan."
"Ada yang dekat, tapi kamu harus jalan lagi," lanjut Atha. Mira terlihat kecewa. "Naiki aja motormu, biar aku yang dorong dari belakang."
"Maksudnya gimana?" Mira tak bisa berpikir jernih karena lelah.
"Udah tenang aja, ntar kamu pasti ngerti maksudku."
Mira beranjak dari duduknya, lalu berkata, "Ayo, lakukan sekarang!"
Semangat Atha membara melihat antusias dari si gadis. "Ayo, Kamu naik dulu!"
Mira menuruti semua perkataan Atha. Dia menaiki motornya yang juga dihidupkan, meskipun mogok. Cowok itu menggunakan kaki kirinya menutup knalpot motor si gadis, lalu menstarter motornya sendiri. Kini gadis dengan panjang rambut sebahu itu mengerti maksud perkataan teman cowok sekelasnya tadi.
"Ntar pas belokan kayak biasa aja nyetirnya. Jangan kaku biar gak jatuh!" perintah Atha dari belakang.
"Siap!" teriak Mira. Sebenarnya dia takut, tetapi mau bagaimana lagi daripada jalan kaki.
Mira semringah saat melihat spanduk yang bertuliskan bengkel terpasang di pinggir jalan. "Bengkelnya yang itu, bukan?"
Pandangan Atha mengikuti arah yang ditunjuk oleh gadis di depannya. "Iya, itu. Nanti, rem aja kalau mau berhenti." Mira mengangguk patuh.
"Makasih, ya. Sudah mau bantuin. Nama kamu Atha, 'kan?" tanya Mira. Mereka kini sudah berada di bengkel dan motor Mira sedang dalam pengecekan oleh montirnya.
"Sama-sama, sudah kewajiban kita membantu orang yang lagi butuh. Aku emang Atha, kita satu kelas kalau kamu lupa."
"Iya, aku ingat. Kamu nggak mau pulang?" Pertanyaan Mira kembali menciutkan niat Atha untuk menemani sampai motor si gadis selesai diperbaiki.
"Ya, pulang, lah. Masak nungguin kamu?" Atha tersenyum kecut.
"Ya, udah sana pulang!" Perkataan Mira terkesan mengusir orang yang sudah membantunya.
Atha pergi tanpa basa-basi lagi. Dia kecewa berat dengan sikap Mira karena tidak memberi celah sedikit pun untuk sekedar beramah-tamah. Semua yang dia lakukan terasa sia-sia saja. Sifat gadis itu bak batu yang tidak bisa dihancurkan, hanya dengan tetesan air sekali saja.
Semoga kelak kamu bisa membuka hati untukku, Mir. Saat itu terjadi, aku akan sangat bahagia sekali. Kamu akan menjadi satu-satunya ratu di hatiku.