First Impression Itu Penting

2011 Words
"Lho, kok Mama nggak ngasih tau Alle sih?" protesnya tadi dengan dahi berkerut-kerut yang direspon dengan sebuah pertanyaan balik dari Mama, "Ya ngapain juga Mama ngasih tau kamu? Kepentingannya apa?" Langsung kicep deh Allegra. Ada, sih, kepentingan. Kepentingan pribadi buat hati Allegra. Oke, itu nggak penting amat ya. Yang penting sekarang adalah rumah sebelah udah berpenghuni, Sis! Kata Mama sih, tetangga baru mereka tiba tepat jam 6 pagi tadi waktu Allegra masih molor. Bukannya Allegra malas bangun pagi, cuma ini kan hari libur dan Allegra juga butuh banyak energi buat nge-babu begitu dia bangun. Jadi ya gitu deh. Allegra super duper yakin kalau laki-laki ganteng kemarin itu pasti tetangga barunya. Bukan cuma itu, dia juga yakin kalau kamar si ganteng itu ada di seberang kamarnya. Pasti enak banget kan ya kalau tiap pagi buka jendela dan lihat si ganteng itu lagi tebar senyum di balkon kamarnya. Bayanginnya aja sukses bikin Allegra deg-degan dan jejeritan dalam hati. "Le! Turun sini!" pekik Mama membuat Allegra mengerutkan dahi. Duh Mama, Alle kan lagi ngebayangin tetangga sebelah. Ketimbang kena omel lagi kayak tempo hari gara-gara Allegra nggak dengar panggilan Mama, mending Allegra langsung gerak cepat. Tanpa perlu berlama-lama lagi, Allegra langsung melesat ke dapur--tempat Mama berada, "Apa, Ma?" "Nih anterin ke rumah sebelah," ucap Mama sambil memberikan sepanci penuh soto ayam dengan uap yang mengembun di penutup kacanya. Allegra bingung. Pasalnya bagi-bagi makanan ke tetangga begini bukan Mama's thing. Bukan, bukannya Mama pelit. Tapi karena kompleks perumahan mereka cenderung individualistik. Kenal satu sama lain saja sudah syukur. "Rumah sebelah? Rumah pejabat itu, Ma? Kan orangnya nggak pernah di rumah," sahut Allegra sesuai fakta. Ya gitu deh, orang-orang kompleknya Allegra ini tipe-tipe individualistik yang nggak pernah di rumah. Tepat sebelah kanan rumah Allegra, rumahnya pejabat kota yang mobilnya gonta-ganti tiap hari. Depan rumah, keluarga banker super sibuk yang berangkat sunrise balik sunset. Dulu Papa juga nggak kalah sibuk, mondar-mandir ke luar kota ngurus ini itu, mungkin ketemu dalam seminggu cuma 2 hari. Tapi sekarang sudah berubah. Semenjak PHK dari kantornya, Allegra bisa ketemu Papa setiap hari. Dan sebenarnya sampai sekarang Allegra bingung harus bersyukur atau bersedih atas pemutusan hubungan kerja perusahaan atas Papanya. "Tetangga baru ini lho. Sekalian kamu kenalan gitu. Selama kita di sini kan nggak pernah akrab sama tetangga. Siapa tau tetangga yang ini nggak terlalu individual." Mama menunjuk bagian sebelah kiri rumah. Deg. Dengar kata 'tetanga baru' langsung bikin Allegra merinding, Sist. Kebayang muka tetangga ganteng di kepala plus senyuman manisnya kemarin pagi. "Oke, oke, tunggu bentar, Ma!" Allegra langsung berlari kembali ke kamar. Allegra tersenyum simpul. Dia nggak mau melewatkan kesempatan ini. First impression! *** Skinny jeans, crop top putih, rambut yang terurai rapi, dan bedak warna natural yang kata mbak-mbak SPG-nya nyerap minyak. Oke, kamu mungkin boleh bilang Allegra terlalu berlebihan kali ini. Mamanya tadi juga berpikir demikian, "Kamu ini mau nganter soto ke tetangga aja kayak mau jalan-jalan kemana." Allegra dengan cerdasnya langsung membela diri, "Nggak gitu, Ma. Emang Mama mau anak Mama dibilang kayak gembel sama tetangga baru?" Padahal mah bukan itu alasannya. Satu-satunya hal yang langsung membuat Allegra bertransformasi sedemikian rupa ya si tetangga. Allegra nggak mau tampil begitu lusuh di depan tetangga baru. Apalagi kata buku yang dia baca, ada dua kriteria yang laki-laki nilai sebelum jatuh cinta. Pertama, fisik. Kedua, obrolan. Tau pepatah 'dari mata turun ke hati' kan? Pepatah ini sudah tertanam di benak laki-laki secara alami sejak mereka mulai masuk masa puber. Jelas, di dunia ini nggak ada laki-laki yang mau punya pacar jelek dan malu-maluin kalau dikenalin ke teman-temannya. Setelah fisik yang mumpuni, mereka biasanya mulai ngajak ngobrol. Dan kalau klop, bisa lanjut deh. Tapi masalahnya realisasi nggak segampang teori. Buat perempuan-perempuan bertampang standar macam Allegra rasanya perlu berusaha lebih keras. Beda cerita dengan perempuan yang memang dari lahir sudah cantik bak Dewi Yunani dan otomatis lulus tahap satu. Buat Allegra, lulus tahap pertama saja sudah luar biasa. Allegra sering merasa bahwa usahanya sia-sia. Udah berusaha keras pun, hasil masih nol. Contohnya, pada Aksara. Allegra nggak pernah tuh sekalipun tampil asal-asalan di depan Aksara. Selalu memastikan dirinya on point. At least, gak buluk-buluk amat lah. Hasilnya? Jangan ditanya, nggak ada hasil apa-apa. Aksara punya standar sendiri dalam menentukan fisik perempuan, begitu pula si tetangga baru. Setidaknya begitu hipotesis Allegra. Hipotesis itulah yang membuat Allegra bersemangat membara seperti ini. Masih ada celah-celah cahaya harapan di kala gelapnya hidup Allegra. Coba-coba berhadiah katanya. Mana tau nyangkut, kan? Makin dekat jarak pada rumah berpagar besi itu, jantung Allegra juga makin berdetak keras. Antara nervous, senang, ditambah rasa takut kalau first impression resmi si tetangga padanya akan buruk. Allegra nggak suka perasaan campur aduk macam gini. Bikin perutnya geli-geli gimana gitu. "Permisi!" seru Allegra selembut mungkin. Nggak mungkin kan ya gue teriak-teriak di depan rumah calon pacar. Ehe. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Orang yang Allegra harapkan keluar dari pintu rumahnya. Celana pendek selutut, sleeveless shirt warna hitam, dan rambut yang agak basah habis mandi. Seksi abis! Boleh nggak ya Allegra mikir ke arah agak dewasa? Belum 17 nih. Haram! "Tinggal di sebelah, ya? Ayo masuk dulu." Iya, itu dialog si tetangga ganteng. Tau nggak, suaranya itu lho ... nggak kalah seksi dari penampilannya! Serak-serak basah, Sist. Ini sih kalau jadi anggota boygroup-boygroup Korea kesukaan Allegra, pasti ditempatin di posisi Rapper. Begitu si tetangga buka pagar rumahnya, Allegra masuk. Si tetangga memimpin Allegra dan menggiringnya ke ruang tamu. Dipimpin ke ruang tamu udah, tinggal nunggu dipimpin ke pelaminan nih. Gila, ini rumah apa istana?! Allegra terkagum-kagum begitu tau isi rumah ini. Bernuansa eropa klasik dengan lukisan-lukisan besar di bagian dindingnya. Nggak kalah keren dari rumah Raffi Ahmad dan Nagita Slavina atau rumah baru Baim Wong dan istrinya, Paula. "Ehm!" dehaman dari tetangga ganteng langsung menyadarkan Allegra. Gadis itu tersadar dan mengutuk dirinya sendiri, Aduh pasti gue tadi melongo jelek banget! b**o deh lo, Le! Kesan pertama tuh penting! Allegra langsung duduk dan tersenyum semanis mungkin--jatuhnya malah senyum awkward--lalu berkata, "Ini ada makanan dari Mama." "Makasih ya. Kebetulan Mama saya juga nggak sempet masak karena masih jetlag. Baru sampai tadi pagi," paparnya. Duh dengar suaranya begini, Allegra jadi pengin cepat-cepat lulus SMA, kuliah, kerja, dan minta halalin sama laki-laki di depannya ini. Coba bayangin deh, bangun pagi dan di samping udah ada laki-laki seganteng ini terus disapa, "Selamat pagi, Sayang". Surga dunia, Sist. "Kamu masih SMA ya?" tanya laki-laki itu. Sekaligus menampar Allegra kembali ke realita bahwa dia masih anak SMA. Belum saatnya mikir halal-halalin. Persamaan kuadrat aja kadang masih pusing. "Iya, K-Kak. Eh? Panggilnya apa nih?" jawab Allegra. Bawaannya kalau di depan cogan emang suka gini. Suka gagap tiba-tiba. Masing untung nggak tiba-tiba kejang, saking excited nya. "Oh iya, nama saya Antariksa Aidit Sitradivari. Biasanya teman-teman saya manggil Anta. Karena saya lebih tua dari kamu, kamu boleh panggil Kak, Bang, Mas juga boleh," katanya ditambah senyuman manis. Kalah gula. "Bang Riksa boleh?" usul Allegra. Lawan bicaranya mengangguk dan tersenyum. Kan unyu ya kalau punya panggilan berbeda dari orang lain. Anggap aja trial panggilan sayang sebelum resmi manggil sayang beneran. "Boleh aja. Adik saya seumuran kamu lho. Malah nggak manggil saya pakai embel-embel kehormatan apapun," ceritanya diiringi tawa. Ya ampun, Bang. Cukup deh ketawanya, Allegra tuh nggak kuat. Bisa semaput kalau kayak gini. Allegra baru sadar kalau di bawah mata bagian kanan Antariksa ada sebuah tahilalat. Lucu. Omong-omong tentang tahilalat, Allegra jadi ingat pernah baca di suatu website yang membahas tentang tahilalat serta sangkut pautnya dengan karakter. Katanya sih ya, kalau di bawah mata artinya si pemilik tahilalat adalah orang yang emosional, peka perasaannya, mudah bersedih dan berduka. Peka sama adek juga dong, Bang. "Nama kamu siapa?" tanya Antariksa membuyarkan lamunan Allegra. "Eh? Nama aku Allegra. Allegra Ayu Laksamani." Antariksa mengulurkan tangannya, Allegra menggapainya. Mereka bersalaman. Dan Allegra merasakan itu. Sebuah sengatan listrik kecil yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Membuat ion-ion di tubuh Allegra berfluktuasi dan menimbulkan sensasi lucu yang sulit dipahami. Sensasi yang sekaligus jadi tanda bahaya. Nggak! Allegra nggak boleh terlalu lama di sini. Bisa-bisa dia pingsan karena tidak kuat menahan pesona si Antariksa ini. "Bang Riksa, Alle mau pulang dulu," pamitnya buru-buru. *** Cantiknya Indonesia--Raisa--ketemu Hamish Daud dari jauh-jauh hari. Berawal dari percakapan sederhana yang cuma say hi dan tanpa disangka-sangka ternyata berakhir di pelaminan. Begitu juga Hank dan Hailey dalam Being Henry David karangan Cal Armistead. Berawal dari Hank yang tersesat saat mencari Danau Walden. Dimulai dengan hai dan kesepakatan Hailey untuk menjadi pemandu jalan bagi Hank ke tempat tujuannya. Percakapan sederhana itu lalu berlanjut hingga akhirnya Hailey menjadi salah satu hal penting di hati Hank. Atau pertemuan tidak sengaja antara Ruri Watanabe dan Hiroaki Shiina di novel Scheduled Suicide Day karya Akiyoshi Rikako yang pada akhirnya mampu menggagalkan niat bunuh diri Ruri. Sebegitu besarnya efek pertemuan dan percakapan. Ketiganya dimulai dari percakapan sederhana dengan akhir tak terduga. Jadi boleh tidak Allegra kali ini berharap bahwa percakapan sederhananya tadi dengan Antariksa akan berakhir tak terduga juga? Allegra nggak muluk-muluk mau berakhir di pelaminan kayak Hamish-Raisa kok. Bisa dekat aja udah Alhamdulillah. Syukur-syukur kalau si tetangga juga naksir Allegra. The real definition of coba-coba berhadiah. Tepat pukul 5 sore, Allegra duduk di atas jendelanya. Di sampingnya sudah ada teropong bintang milik Papa. Papa memang dari dulu suka sama benda-benda langit. Katanya benda-benda langit itu seperti pengingat bahwa ada kekuatan masif Maha Kuasa yang mengatur alam semesta. Pengingat bahwa manusia hanya bagian kecil dari alam, tidak layak sombong dan harus banyak bersyukur. Dulu waktu muda, Mama digombalinnya pakai filosofi bintang gitu. Dulu Mama dan Papa sempat LDR beberapa tahun karena pemerjaan. Waktu itu Mama sudah hampir menerima lamaran orang lain. Tapi luluh karena Papa menganalogikan hubungan LDR mereka dengan Altair dan Vega, dua bintang yang cuma bisa bertemu setiap tanggal 7 Juli tapi saling mencintai. Mama berubah pikiran deh. Allegra sih nggak begitu tertarik sama bintang dan teman-temannya. Tapi kayaknya kalau digombali pakai perbintangan gitu asik juga, meskipun kedengaran agak kuno dan sedikit norak. Sayangnya nggak ada tuh yang mau gombalin Allegra. Nasib. Beberapa kali dia meminjam teleskop Papanya kalau lagi pengin lihat aja. Seperti sore ini rencananya dia mau melihat konjugasi bulan dan planet mars yang sebenarnya juga bisa dilihat dengan mata t*******g. Biar keren aja. Siapa tau tetangga sebelah keluar dari balkonnya dan nggak sengaja lihat Allegra sedang serius mengamati teleskop terus jatuh cinta. Siapa tau? Allegra mendekatkan matanya ke bagian lensa okuler dan mulai melihat cahaya yang dipantulkan oleh teleskopnya. Tiba-tiba ... kriett ... pintu di seberang sana terbuka. Suara itu menarik perhatian Allehra. Aduh, nih Bang Riksa pasti mau keluar. Gue harus pasang pose paling anggun. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Semenit. Dua menit. Tiga menit. Sampai lima menit. Lho? Kok lama banget sih? Iseng, Allegra mengarahkan teleskopnya ke seberang sana. Ngintip dikit kamarnya nggak apa-apa kan ya? Tak banyak yang bisa dia lihat, cuma sebuah kasur ukuran king size, meja di sampingnya, dan wallpaper warna keemasan yang terpatri di dinding. Semuanya mencerminkan nuansa eropa kuno. Persis seperti di ruang tamu tadi. Kini Allegra tau kenapa rumah di sampingnya itu dijual dengan harga yang sangat mahal oleh pemilik lamanya. Dulu Keluarga Allegra juga ditawari, namun harganya yang mencapai 1 milyar dirasa mencekik. Mau dapat dari mana uang sebanyak itu? Jadi babi ngepet? Pelihara tuyul? Atau cari pesugihan di gunung? Allegra menikmati apa yang dilihatnya. Dia anggap sebagai salah satu langkah perkenalan secara tidak langsung pada Antariksa. Deg! Jantung Allegra rasanya langsung berhenti berdetak waktu lensanya menangkap refleksi seseorang yang sepertinya juga menyadari keberadaan dirinya. Allegra cepat-cepat menunduk serta menarik tripod teleskopnya, lalu menutup jendela rapat-rapat. Matanya menelisik dari balik gorden, mengintip dalam diam dan penuh kehati-hatian. Di sebrang sana, seorang laki-laki sedang menatap lurus ke arahnya dengan tatapan tidak senang. Tajam, menusuk sampai ke ulu hati dan membuat rambut-rambut halus di tubuh Allegra berdiri ngeri. Mampus, gue ke-gap!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD