Perempuan. Kalau dengar satu kata dengan 9 huruf itu bawaannya macam-macam. Ada yang langsung ingat ibu, ada yang ingat aktris-aktris cantik televisi, ada juga yang ingat bahwa perempuan adalah makhluk kebenaran di bumi ini. Ya, maksudnya selalu benar dan merasa nggak pernah salah gitu lho.
Allegra kok lain ya? Dia ini perempuan tulen tapi kok kalau di rumah jadi serba salah kayak lagunya Raisa begini? Bayangin aja deh, udah bersihin seisi rumah plus cuci piring malah masih aja diteriakin, "Le, kamu ini males bener sih jadi perawan! Daritadi nggak ngapa-ngapain!"
Pengin rasanya Allegra teriakin balik, "Lah terus yang bersih-bersih sama cuci piring tadi siapa, Ma? Setan?". Sayang cuma berani ngomong dalam hati. Kalau diucapkan benaran, yang ada Allegra bisa kena tabok pakai sandal, ngeri deh. Mending tutup mulut.
Jadi buat kalian yang mikir perempuan itu makhluk kebenaran, selamat, kalian salah besar. Rasa Allegra sih predikat 'makhluk kebenaran' itu cocok buat Mamanya. Cerewetnya amit-amit khas ibu-ibu protektif. Sekarang aja Allegra lagi diomelin habis-habisan. Allegra sih udah biasa tiap hari libur begini selalu diawali dengan omelan 'nyonya besar'.
"Kamu ini gimana sih? Nyapu nggak sekalian? Di halaman nggak kamu sapu! Kalau nggak niat bersihin ya nggak usah, biar Mama sendiri!"
Allegra menyunggingkan senyum semanis mungkin. Menahan rasa sebal yang sudah mengalir di pembuluh darahnya, naik sampai ke kepala, "Tapi Ma, sapu yang biasanya buat nyapu depan nggak ada."
"Bantah aja kamu ya! Kan bisa pakai sapu yang lain!" lanjut Mama.
"Kan biasanya Mama marah kalau Allegra nyapu depan pakai sapu yang lain."
"Masih bantah aja kamu ya! Udah sana cepet nyapu. Awas ya kalau nanti Mama selesai masak dan halaman depan belum bersih!" ancam Mama meninggalkan Allegra.
Allegra menghela napas berat lalu mengambil sapu, "Iya deh iya. Mama emang nggak pernah salah."
Ngebabu nampaknya sudah jadi kerjaan mingguan--di hari Sabtu-Minggu--selama 4 tahun terakhir buat Allegra. Jangan harap santai-santai, ada setumpuk kerjaan yang harus dibereskan. Dari bangun pagi, biasanya Allegra akan memulai dengan cuci piring, lanjut nyapu ngepel seisi rumah, dan kalau Mamanya masih ngomel-ngomel bilang Allegra nggak ngapa-ngapain biasanya tambah seterika baju. Pekerjaan yang terakhir itu Allegra super benci, selain karena panas--apalagi di rumah Allegra tidak ada AC--juga karena tepian telunjuk gadis itu bakal menebal sejenis kapalan kalau kelamaan pegang seterika. Bukannya manja ya, tapi suka kesel aja kalau jarinya kerasa kasar-kasar gitu.
Kalau Allegra lagi s**l--Mama super repot sama hal lain--biasanya dia disuruh untuk menjaga Adagia, adik perempuannya yang beda 13 tahun serta ekstra bandel. Pokoknya jaga Adagia sama aja nyari capek. Capek raga iya, capek mental iya juga.
Beginilah gambaran perempuan di masyarakat. Atau setidaknya di Indonesia. Punya beban berat karena konstruksi sosial yang menganggap bahwa perempuan harus bisa ini dan itu. Nyatanya masih terjadi banyak ketimpangan. Masih banyak stigma bahwa pekerjaan rumah adalah milik perempuan. Makanya anak perempuan dituntut rajin sementara anak laki-laki bisa bersantai. It's hard to be a female, especially at Indonesia.
Untungnya Allegra nggak kaget lagi, dari kecil juga dia udah lihat Mamanya apa-apa sendiri. Mama memang anti buat pakai asisten rumah tangga apalagi babysitter. Apalagi sejak Papa di-PHK dari kantor tempat dia bekerja 3 tahun lalu, jangankan buat bayar pembantu, makan aja kadang susah. Untung rumah seisinya tidak ada yang terjual sama sekali.
Sekarang Papa jadi pengangguran yang produktif. Buka restoran, bagi hasil sama temannya. Lumayan lah, sekeluarga nggak perlu hidup kelaparan di jalan. Meskipun usaha di bidang makanan itu nggak semulus kelihatannya, suka sepi tiba-tiba. Naik turun seperti roller coaster.
Kadang Papa juga sering bantu-bantu pekerjaan rumah. Cuci piring, siram tanaman, nyapu, kadang juga masak kalau Mama lagi nggak enak badan. Mereka adalah keluarga kecil yang saling mengandalkan. Menghadapi kerasnya dunia bersama-sama meski tidak sempurna dan seringkali terseok-seok.
Cukup melankolisnya, balik lagi ke Allegra yang sekarang lagi nyapu sambil ngedumel. Bibirnya mengerucut, masih sebal dengan Mama sekaligus meratapi nasibnya yang nahas.
Rasa-rasanya tidak ada yang berjalan mulus untuk Allegra. Diomeli terus di rumah dan harus patah hati di sekolah. Seolah semesta memang berkonspirasi, tidak mau Allegra bahagia.
Coba saja Allegra terlahir jadi anaknya Bill Gates atau Mark Zuckerberg, kehidupannya pasti tidak akan sebegini menderita. Allegra tak akan kena omel hanya karena tidak berbakat menyapu.
Saat-saat begini membuat Allegra kembali ingat soal Aksara. Pemuda berambut ikal itu tampaknya punya hubungan yang bukan sekadar teman dengan Tata. Allegra tak akan menampik, mereka berdua nampak serasi seperti pemeran utama di sebuah cerita. Bukan seperti Allegra yang tampaknya selalu ditakdirkan jadi pemeran ekstra yang ada hanya untuk mempermanis cerita.
"Coba aja muka gue secantik Gigie Hadid, sesukses Kylie Jenner, sekurus Kendall Jenner. Mungkin Aksara bisa suka sama gue," desah Allegra. Tak puas dengan kehidupannya.
"Seandainya aja tiba-tiba ada pangeran jatuh dari langit dan bantuin gue nyapu. Terus bisa nerima bentukan gue yang nggak cantik ini," keluh Allegra sambil terus menyapu halaman depan. Syukurnya sih halaman depan rumah Allegra ini cuma seuprit dan nggak ada sampah atau kotoran yang cukup mengganggu mata.
Pandangan Allegra yang tadinya fokus menatap lantai langsung teralih waktu sebuah mobil yang berhenti tepat di depan rumah sebelah. Allegra melongo. Bukan karena mobil itu kinclong dan kelihatan masih baru, tapi karena fakta bahwa tidak ada yang mengunjungi rumah sebelah selama kurang lebih tiga tahun belakangan. Kecuali si makelar dan pemilik rumah yang datang untuk bersih-bersih. Iya, rumah sebelah itu dijual. Tiga tahun dan belum juga laku. Apalagi kalau bukan karena harganya yang selangit?
Sebanding sih sama rumahnya yang tiga kali lebih luas dari rumah Allegra. Belum lagi furnitur di dalamnya yang kata Mama sih super mewah.
Oh my ... Tak cukup melongo, sekarang Allegra malah menganga. Yes, seriously. Gimana mau nggak nganga? Yang keluar dari dalam mobil kinclong itu nggak kalah kinclong. Ganteng abis, Sist! Seolah jawaban dari semesta akan harapan Allegra baru saja.
Wajahnya oriental, badannya jangkung, pakai kemeja warna hitam yang digulung lengannya, rambutnya messy-messy sexy pula. Aduh ini mah kayak oppa-oppa di drama Korea yang Allegra tonton!
Karena batas antara rumah Allegra dan rumah sebelah itu pendek banget--sedada--Allegra jadi bisa ngelihat laki-laki barusan dengan super jelas. Tanpa diduga-duga, tiba-tiba laki-laki itu balas melihat Allegra lalu tersenyum ramah. Matanya itu lho, sipit banget waktu senyum. Duh Allegra kan jadi gemes!
Allegra yang linglung malah makin nganga waktu disenyumin sampai-sampai nggak kerasa kalau laki-laki tadi sudah masuk ke dalam rumah. Saat kesadarannya sudah mulai kembali, Allegra langsung melempar sapu dan berlari ke dapur, "Ma, kita punya tetangga baru, ya?!"
***
Seandainya ada orang yang lewat dan lihat keadaan Allegra saat ini pasti mengira perempuan itu gila. Duduk di atas jendela kamarnya, kaki diayun-ayun di udara bebas tanpa takut jatuh, sambil senyum-senyum pula. Serem.
Allegra sudah terbiasa duduk di atas jendelanya. Sering diteriaki Mama karena takut jatuh, tapi Allegra tetap bandel. Baginya, jendela kamarnya adalah salah satu spot adem yang cocok untuk segala suasana. Allegra sering menangis sendiri di atas jendela ini. Misalnya ketika dia dapat nilai 50 untuk pertama kalinya ketika SMA. Atau ketika sedang kesal maksimal karena berkelahi dengan Mama perihal masalah-masalah sepele. Tapi tidak selalu sedih, ketika bahagia juga begitu. Saat ini contohnya. Bibirnya bisa saja robek karena tersenyum begitu lebar.
Allegra senyum bukan tanpa alasan. Itu lho ... teringat senyuman tetangga sebelah. Tetangga? Ya, kata Mama rumah sebelah memang sudah terjual. Bahkan pemilik barunya udah pindahin barang sejak minggu lalu, dan Allegra berhipotesis bahwa laki-laki tadi adalah orang yang akan menjadi tetangga barunya.
Air muka Allegra berubah menjadi penasaran saat ruangan di seberang sana menyala terang. Ya, ruangan berbalkon milik rumah sebelah yang berhadapan langsung dengan kamar Allegra. Jaraknya kurang lebih sekitar 10 meter. Tidak cukup jauh kalau-kalau tetangga sebelah keluar ke balkon itu dan ngajakin Allegra ngobrol.
Belum-belum saja Allegra udah ngebayangin gimana kalau tetangga sebelah benar-benar ngajakin dia ngobrol dalam keadaan begini. Si tetangga di balkonnya, dan Allegra duduk di jendelanya. Ngebayangin aja udah bikin Allegra melting. Pasti super romantis!
Klek! Allegra tersentak dan langsung meloncat masuk ke kamarnya saat pintu dari arah balkon itu terbuka. Diam-diam sepasang mata Allegra mengintip, sedang laki-laki tampan yang mencuri perhatian Allegra beberapa jam lalu muncul dan menghirup udara segar di sana. Dia terlihat menikmati.
Gimana kalau gue muncul dan ajak ngobrol ya? Eh, tapi gimana kalau dia malah kaget terus jantungan? Belum selesai Allegra berdebat dengan pikirannya, laki-laki yang sepertinya berada di ambang usia 20 tahunan itu masuk kembali. Sebelum pintu benar-benar tertutup, Allegra bisa melihat kasur, lemari, dan beberapa furnitur lain di ruangan seberang sana yang begitu cocok jika diasumsikan sebagai sebuah kamar.
Allegra langsung loncat-loncat kegirangan. Ya ampun! Seberangan kamar sama cogan!
***
Allegra senang karena meskipun dia jatuh cinta dengan mudahnya pada Aksara, tampaknya juga mudah perasaan itu dilupakan. Buktinya laki-laki ganteng yang tadi mampir ke rumah sebelah alias calon tetangga potensialnya mampu mendikstraksi perasaan Allegra yang sedang galau-galaunya. Kalau begini Allegra yakin, melupakan Aksara tak akan jadi perkara susah.
"Le, gue sih seneng ya kalau lo punya tetangga baru yang ganteng dan berpotensi jadi pacar lo. Tapi gue harap lo nggak mengulangi kesalahan lo lagi," ucap Garnet lewat video call. Wajahnya serius, tampak memberi Allegra peringatan.
Allegra yang terlalu senang disenyumi calon tetangganya memang tak bisa menahan rasa. Perempuan itu langsung bercerita pada Garnet, salah satu temannya yang paling dekat. Ya, tau sendiri. Biasanya di dalam sebuah kelompok pertemanan. Ada orang-orang tertentu yang punya bonding spesial. Lebih dari yang lain. Garnet dan Allegra salah satunya.
Meski Garnet banyak sengkleknya, tapi Garnet adalah orang yang bisa Allegra percaya. Ketika ada yang salah, Garnet tak segan menegur Allegra. Begitu pula sebaliknya.
"Kesalahan? Kesalahan gimana? Emang gue pernah berbuat kesalahan?" tanya Allegra.
"Hari-hari yang lo laluin buat suka sama Aksara tuh kesalahan!"
"Hah?"
"Kesalahan karena lo tuh nggak pernah coba deketin Aksara. Lo tuh pasif, punya rasa sendiri dan patah hati sendiri. Tanpa pernah membuat pergerakan dan akhirnya keduluan orang lain."
Allegra menghela napas panjang, "Ya ... kalau dia nggak suka sama gue, gue bisa apa?"
"Ya bisa berjuang lah! Kita tuh masih muda ya! Orang-orang muda kayak kita tuh harusnya berani, nggak takut gagal, dan nggak pasrah kayak lo!"
"Hmm ...."
"Lo tuh selama ini nggak pernah ambil langkah soal Aksara. Jangankan PDKT, lo bahkan nggak tau betul Aksara itu orang kayak apa. Lo sibuk menciptakan gambaran sempurna Aksara di kepala lo tanpa mau tau faktanya. Dengan kata lain lo tuh jatuh cinta sama Aksara yang di kepala lo! Bukan Aksara yang asli!" ujar Garnet.
Allegra seolah ditampar oleh kenyataan. Perkataan Garnet benar.
"Makanya lo sama Aksara nggak bisa sama-sama! Kali ini gue nggak mau lo kayak gitu lagi. Gue mau kali ini lo punya perasaan yang nyata. Bukan ilusi kayak perasaan lo sama Aksara."
"Gitu ya? Emang gue harus gimana biar perasaan gue nyata?"
Garnet menatap Allegra tajam, "Seenggaknya lo harus kenal dia dan tau sifat-sifatnya. Jangan kebanyakan membayangkan dia orang yang kayak gimana hanya dari penampilannya! Tapi cari tau secara nyata! Penampilan itu menipu, Le! Bahkan Ted Bundy yang kelihatan ganteng dan berpendidikan aja ternyata psikopat! Jangan tertipu ilusi otak lo!"
Kalau dipikir-pikir lagi, semua perkataan Garnet jelas benar. Selama ini Allegra terjebak dalam pikirannya sendiri. Mengandai-andai bagaimana sifat Aksara hanya dari penampilan luarnya. Baik, bijaksana, jujur, dan lembut adalah sifat-sifat yang Allegra bayangkan ada dalam sosok Aksara. Namun pada kenyataannya, Allegra sama sekali tidak paham mengenai Aksara. Bicara saja jarang, bagaimana mau tau sifatnya?
Allegra terjebak dalam imajinasinya sendiri. Menyia-nyiakan waktu dan emosinya selama ini.
Ketika video call nya dengan Garnet berakhir, Allegra menghempaskan diri ke kasur. Matanya menatap langit-langit sambil merenungkan perasaannya pada Aksara selama ini. Perasaan berlandaskan asumsi yang Allegra juga tak peduli bagaimana realitanya.
Selama ini Allegra hanya tau cangkang Aksara, penampilannya. Dari penampilan itulah Allegra berasumsi. Hanya membayangkan sifat-sifat yang cocok dengan penampilan Aksara. Bukan berusaha mengenal Aksara secara nyata.
Padahal Aksara adalah manusia nyata. Bukan tokoh fiksi di dunia cerita yang bebas dibentuk dan diimajinasikan sedemikian rupa.
"Sebenarnya apa yang lo lakukan selama ini, sih, Allegra?" desahnya.