Hujan Waktu Pelajaran Kimia

2002 Words
Kata orang, teman itu bisa jadi orang yang paling peduli atau bisa juga orang yang menjerumuskan kita ke lembah paling dalam. Contoh simpelnya, orang yang berteman dekat sama manusia alim kerjaannya ngaji di masjid, pasti beda tuh hasil jadinya sama yang berteman dengan p**************a yang penghasilannya didapatkan dari jalan haram. Sedikit banyak pasti berpengaruh. Tapi, kalau menurut Allegra pribadi, teman itu terbagi jadi tiga macam. Pertama, yang bakal nolongin pas kamu dirundung kesusahan. Kedua, yang bakal nggak peduli walaupun kamu jungkir balik di jalanan terus ketabrak truk. Dan terakhir, yang bakal ngetawain kamu habis-habisan apapun keadaannya lalu menolong ketika rahangnya sudah sakit karena terlalu banyak tertawa. Tipe ketiga itu yang paling nyebelin. Ya walaupun tipe kedua sebenarnya lebih nggak pantas disebut 'teman'. Persis deh kayak sekarang. Sekumpulan manusia--atau mungkin lebih pantas disebut syaiton--itu lagi ketawa habis-habisan. Bikin Allegra mengerucut sebal. "Duh ... ini mah namanya mau meluk bulan tapi tangan tak sampai." "Iya anjir, lucu abis. Eh, Net, bikinin puisi gih buat Alle." Perempuan yang dipanggil 'Net' itu berdeham lalu mulai melantunkan apapun yang terlintas di kepalanya, "Aku tak akan bisa melupakannya, Sore kala hujan di pelajaran kimia, Kamu berdua bersamanya di pojok sana, Saling bertukar cerita penuh cinta, Tanpa peduli bahwa aku di sini terluka, Aku tak akan bisa melupakannya, Sore kala hujan di pelajaran kimia." Seketika sekumpulan syaiton itu tertawa terbahak. Tanpa peduli kalau di depan sana guru masih duduk di atas tahtanya. Udah kelas 3 sih ya, jadi nggak takut lagi sama hukuman dan t***k bengeknya. Toh yang lain juga ribut luar biasa. Salah sendiri, gurunya gabut sih. Padahal dulu waktu masih anak baru, guru lewat depan kelas saja rasanya sudah merinding disko. Sekarang karena sudah hapal betul karakter guru masing-masing, jadi lebih santai. Tetap ada sih guru-guru tertentu yang harus diwaspadai. Misalnya, Bu Jeje, guru fisika. Dengar ribut sedikit saja, Bu Jeje bisa naik darah. Naik darahnya Bu Jeje tidak pakai marah-marah. Perempuan itu biasanya cuma diam, lalu memberi tugas segudang sebagai ganti kemarahan yang dia redam. Waktu itu ada yang diberi lima puluh buah soal fisika gara-gara ribut waktu Bu Jeje sedang menjelaskan. Bayangkan saja, lima puluh soal fisika jelas bukan main-main. Satu soal saja sudah sakit kepala. "Ih kalian ini ya, lihat deh muka Alle makin mencureng begitu. Uluh-uluh." Gadis ber-name tag Gendis Prastika mencolek dagu Allegra. Bikin Allegra yang sedang menyalin tulisan di papan ke dalam buku catatannya makin uring-uringan. "Bacot!" maki Allegra yang untungnya tersamarkan suara hujan dan riuhnya murid-murid lain. Bisa masalah kalau Bu Kelly--guru kimia--dengar. Allegra aja masih ingat jelas bagaimana seminggu lalu kelas mereka dihukum di tengah lapangan karena salah satu murid cowok--yang sampai sekarang nggak tau siapa--nyebutin nama binatang berkaki empat keras-keras waktu guru Bahasa Inggris lewat di depan kelas mereka. Langsung deh, dijemur. Walau cuma satu jam pelajaran doang sih. Itupun mereka nggak serius, malah ketawa-ketiwi dan bikin snapgram. Seolah hukuman itu sesuatu yang membanggakan. Mungkin yang begini ini yang bikin moral di Indonesia makin b****k. Hukuman itu seharusnya bikin jera. Bukan malah jadi bahan candaan. Tapi mau gimana lagi? Lumrahin aja lah ya buat murid-murid kelas 3 SMA, bentar lagi lulus dan punya tingkat solidaritas yang lagi tinggi-tingginya. Merasa dunia ada dalam genggaman dan matahari mengitari mereka. Masih berlindung di balik sayap utopia. Belum saja merasa kerasnya dunia nyata. "Udah deh, Le. Terima aja. Lo kurang gercep sih," tambah Bianda. "Mending gue lah ya, biarpun cuma dua minggu masih sempet memiliki," ledek Endah. "Dua minggu aja bangga," sahut Garnet--si penyair yang tadi menciptakan puisi untuk meledek Allegra. Di tengah pertikaian dan ledekan teman-temannya, Allegra mengalihkan pandangannya ke ujung sana. Sepasang remaja beda jenis kelamin tertawa-tawa. Entah apa yang sedang mereka bahas, dan entah kenapa mereka duduk sedekat itu. Dempet banget lho! Sudah kayak magnet yang ditambahi lem besi. Kenapa? Efek dinginnya hujan mungkin? Ah, Allegra nggak mau peduli! "Udah, Le. Jangan dilihatin mulu. Kan makin sakit," kata Gendis. "Siapa juga yang ngelihatin?" ketus Allegra. Membohongi dirinya sendiri. *** Setelah melemparkan kaus kaki basahnya ke keranjang cuci, Allegra langsung melesat ke kamarnya. Meletakkan tas di meja, lalu berbaring melepas penat di atas kasur, ditambah kenikmatan udara sore yang diiringi gemericik hujan. Sempurna. Atau lebih tepatnya hampir sempurna. Kalau saja suara air hujan tidak mengingatkan Allegra pada kejadian waktu pelajaran kimia tadi. Ditambah kata-kata Gendis yang makin melemahkannya, "Aksa itu seleranya tinggi, Le.". Ya, nama laki-laki yang tadi berdua di ujung kelas itu Aksa. Aksara Ganendra. Si ikal berkacamata yang hampir setahun jadi penyemangat Allegra buat sekolah. Pokoknya manusia satu itu berpengaruh banget deh di hidup Allegra. Bahkan saking berpengaruhnya, Allegra sampai belajar nulis plus baca huruf Thailand--walau belum tuntas--cuma gara-gara Aksara pernah bilang ke sohibnya, "Gue mah gak suka Korea. Gue sukanya Thailand." Sekonyol itu memang. Bahkan kalau Aksara bilang dia suka terjun ke dasar sumur, Allegra bisa saja ikut. Hanya saja realita memang nggak pernah sesuai sama ekspektasi ya. Meski Aksara adalah motivasi buat Allegra, tapi Allegra nggak pernah berarti apa-apa di mata Aksa. Jangankan motivasi, dianggap teman mungkin juga nggak. Allegra terlalu percaya bahwa apa yang terjadi pada Ayudia Bing Slamet dan suaminya yang dituangkan dalam buku Teman Tapi Menikah itu juga akan terjadi pada dirinya. Teman masa SMA yang akhirnya menikah setelah masa penjajakan sana-sini. Allegra sih ngarepnya gitu. Dia sama Aksara bakal ketemu lagi nanti waktu sukses dan terlibat dalam kisah romansa. Begitu percaya diri sampai melupakan fakta bahwa Ayudia Bing Slamet dan suaminya itu sahabat sejak SMP. Mereka dekat, kenal satu sama lain, tau kisah masing-masing. Lah Allegra sama Aksara? Gelar paling tinggi yang mereka punya ya sebatas 'teman sekelas'. Jangankan buat tau kisah masing-masing, ngobrol aja nggak pernah. Kecuali penting banget, misalnya kalau Aksara mau minjam tip-X. Itupun habis itu selesai. Apa? Chat? Duh, jangan ditanya. Ini mah Allegra juga dapat nol besar. Sebagai anak millenials yang sudah dibantu dengan kecanggihan teknologi buat PDKT, nggak pernah sekalipun Allegra chat Aksara. Pernah sih, itupun waktu kelas 11, dimana mereka satu kelompok drama. Sama sekali nggak berarti chat-nya. Cuma nanya soal properti drama yang sebenarnya Allegra juga sudah tau jawabannya. Modus kardus. Aksara juga tipe 'si cuek' yang jawabnya sehuruf dua huruf aja. Jadi Allegra nggak tau mau bahas apa lagi dan akhirnya sampai sekarang juga nggak pernah tuh nyoba chat lagi. Teman-teman syaiton-nya--Garnet, Gendis, Bianda, Endah--sudah berulang kali mengingatkan kalau mau maju harus ada perjuangan. Tapi Allegra ini keukeuh sama pendiriannya kalau 'berjuang buat cinta' itu bukan sekarang waktunya. Toh respon Aksara juga nggak welcome amat kan, susah buat cari topik. Sesimpel itu dia menyerah. Bicara tentang simpel, alasan Allegra menyukai Aksara juga nggak kalah simpel lho. Tau gara-gara apa? Pintar? No, Aksara bukan si jenius yang bikin Allegra terpanah gara-gara isi otaknya. Asik? No, Allegra belum pernah berada pada tahap dimana dia bisa menilai Aksara orang yang asik atau bukan. Jarak mereka terlalu jauh untuk bisa memahami satu sama lain. Fisik? Walaupun ini berperan sekitar 10 persen, tapi bukan ini alasan utamanya. Pertama kali Allegra menyukai Aksara itu cuma gara-gara kejadian 'cuci-kipas-kelas'. Iya, jadi Aksara nyuci kipas kelas gitu. Untuk hal sesepele itu, Allegra terpesona. Memang cinta itu bisa datang dengan jalan yang sederhana bukan? Gadis itu berjalan menuju cermin yang memantulkan seluruh tubuhnya. Bajunya basah, tapi belum ada niat untuk diganti. Yang ada malah niat evaluasi. Yup, evaluasi diri. Hal yang selalu Allegra lakukan saat patah hati. Mulai dari hal yang nggak kasat mata, latar belakang keluarga. Tata--perempuan yang tadi mojok bareng Aksara--itu lahir dari keluarga yang super duper terpandang. Keturunan darah biru keraton Jogjakarta sana yang entah gimana bisa nyasar di kota khatulistiwa ini. Nama lengkapnya aja Raden Roro Thalitahira. Allegra? Keluarga biasa yang dulunya cukup kaya dan bangkrut sekitar 3 tahun lalu karena PHK dari perusahaan. Tata menang, satu kosong. Tata ini si ekstrovert yang mudah bergaul. Ramah, tebar senyum sana-sini, aktif--walau kadang cewek-cewek di kelas ngatain dia ini centil--, asik diajak ngobrol, masuk 10 besar paralel pula. Allegra sendiri nggak g****k banget kok. Setidaknya nama Allegra nggak pernah luput dari 15 besar paralel beda dikit lah sama Tata. Tapi Allegra ini introvert, bukan tipe orang yang ngajak ngomong duluan kalau nggak kenal, pasif, dan asiknya kalau sama teman-teman dekatnya doang. Satu poin lagi untuk Tata. Dan terakhir yang paling penting, tampilan. Allegra udah jelas kalah telak sih sama Tata. Tata itu goddess banget, Sis. Tinggi semampai, kulitnya cokelat eksotis, wajahnya cantik khas Indonesia, bibirnya tipis, aduh super cantik deh pokoknya. Lah Allegra? Hidung jauh dari kata mancung, bibir tipikal tebal--tapi nggak sampai dower--, rambut gelombang, dan kulitnya kuning langsat. Keseringannya sih dekil kalau udah jam pelajaran terakhir. Ya gimana Aksara mau naksir kan? Ada juga ilfeel duluan. Mama aja sampai protes dan bilang kalau anaknya ini malas ngurus diri. Padahal mah kenyataannya Allegra nggak semalas itu. Cuci muka, apply pelembab-sunscreen, maskeran seminggu dua kali, kurang apa lagi coba? Hasilnya masih sama tuh. Nggak ada perubahan spesifik. Nggak ada istilah glow up kaya di t****k orang-orang. Padahal Mama itu mudanya super cantik, Papa juga ganteng sampai dikejar-kejar perempuan setempat magangnya dulu. Allegra kadang suka heran kenapa aura ganteng dan cantik dari orang tuanya itu nggak nurun ke dia. Allegra sih dulu pemegang teguh prinsip 'semua-perempuan-itu-cantik'. Prinsip yang sekarang sepertinya dia buang jauh-jauh. Karena makin kesini Allegra makin tidak paham tentang apa itu cantik. Konsep cantik tampaknya terlalu abstrak buat Allegra. Sulit dipahami makna harfiahnya. Mama pernah bilang kalau cantik itu cuma konsep yang dibuat masyarakat dengan standar-standar tertentu yang tidak masuk akal dan menggeneralisasi manusia. Kata Mama, standar-standar itu adalah sebuah konsep bodoh. Sebuah bentuk penghinaan dari manusia kepada Tuhan, Sang Pencipta yang maha besar. Seniman dengan kreativitas tak berbatas yang sudah menciptakan manusia dalam berbagai bentuk, warna, dan rupa. Dulu Allegra memegang teguh kata-kata mamanya ini. Tapi sekarang, beda cerita. Menurut Allegra, Mama sama sekali tidak berhak mengatakan konsep semacam itu. Karena Mama masuk dalam kaum yang dipandang cantik oleh masyarakat. Karena Mama tidak pernah menjadi Allegra yang biasa-biasa saja. Karena Mama tidak pernah merasa lemah akibat konsep cantik buatan masyarakat seperti yang Allegra rasa. Karena Mama bukan Allegra. Bohong kalau Allegra bilang dirinya baik-baik saja. Meski banyak yang bilang kalau cinta di masa SMA itu cuma cinta monyet, tapi Allegra tetap saja merasa nyeri di sudut-sudut hatinya. Allegra memutar lagu Evanescence berjudul My Heart is Broken dengan volume penuh. Lagu rock dengan lirik mendayu-dayu sedih itu adalah s*****a penting yang selalu Allegra butuhkan ketika emosinya meluap-luap tak tertahan. "My heart is bro ... ken! Sweet dreams my dark angel!!!" Allegra meneriakkan seluruh tenaganya untuk mencapai high pitch. Sampai-sampai suaranya serak, gersang dan terasa sakit. Meski sumbang, Allegra tak peduli. Paling-paling dapat protes dari Mama. Sosok Aksara melayang di depan mata Allegra. Membuat emosi perempuan itu ikut meluap. Menguap bersama teriakannya. Allegra segera menutup mulutnya ketika merasa lega. Ketika beban dalam dadanya cukup longgar, Allegra mematikan lagu dan terduduk lemah di lantai. Jelas, sebentar lagi Mama akan membuka paksa pintu kamarnya. Memberi protes keras akibat polusi suara yang diciptakan Allegra. Klek! Sosok Mama muncul dari balik pintu. Lengkap dengan mata melotot yang khas ketika mau memarahi Allegra. "Alle, kenapa teriak-teriak gitu? Nggak enak didengar tetangga! Rumah kita ini nggak kedap suara!" ujar Mama. "Iya," jawab Allegra lemah. Kalau sudah begini, dia tak punya tenaga untuk menjawab lebih panjang kata-kata Mamanya. Allegra sedang tak mau berdebat, tak mau bicara banyak. Seusai menegur, Mama hilang dari pandangan. Allegra merendahkan lagi levelnya. Dia terbaring di atas ubin dingin sambil menatap kosong langit-langit kamar yang catnya sudah mengelupas. Teringat lagi kata-kata tajam Gendis tadi siang, "Aksa sukanya yang cantik-cantik, Le." Walaupun perkataan Gendis diselingi tawa dan Allegra tau berintensi canda, tapi sedikit banyak mempengaruhi. Membuat Allegra mempertanyakan dirinya sendiri, "Gue sejelek itu, ya, emangnya?" Membuat Allegra makin tidak mengerti, apa itu cantik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD