Maxime masih berdiri di sana, menatap ke arah Sarah sambil bersembunyi di balik pilar dekoratif besar di dekat lift, menahan napasnya.
Sarah juga masih berdiri di depan pintu Unit 3402 miliknya, yang megah. Tubuhnya yang kurus tampak semakin kecil di hadapan pintu raksasa itu. Dia tidak langsung masuk. Tangannya yang memegang kantong belanja berisi racun tikus itu gemetar hebat.
Bahu Sarah merosot. Dia menyandarkan keningnya sejenak ke daun pintu yang dingin, seolah sedang mengumpulkan sisa-sisa keberanian untuk masuk ke dalam rumahnya sendiri. Rumah yang seharusnya menjadi istana, tapi dari gestur tubuhnya, Sarah terlihat seperti narapidana yang hendak masuk kembali ke dalam sel isolasi.
Maxime ingin sekali berlari ke sana. Memeluknya. Bertanya kenapa dia memakai baju berwarna suram itu. Bertanya kenapa dia tidak lagi memakai gaun kuning cerahnya. Tapi kaki Maxime terpaku. Dan Maxime tahu, ia sudah tidak berhak.
Perlahan, Sarah menempelkan jarinya pada pemindai biometrik. Pintu berbunyi klik berat, lalu terbuka otomatis. Sebelum melangkah masuk ke dalam kegelapan apartemennya, Sarah menoleh sekilas ke belakang. Selama sepersekian detik melihat tatapan mata Sarah, Maxime menggigil melihatnya! Tatapan matanya terlihat hampa, putus asa, dan lelah. Itu adalah tatapan seseorang yang sedang berpamitan. Tatapan seseorang yang tidak berharap melihat hari esok!
Pintu tertutup. Suara klik dari kunci otomatis terdengar seperti vonis mati di telinga Maxime. Selanjutnya, keheningan kembali menyelimuti lorong lantai 34.
Maxime akhirnya melangkah keluar dari persembunyiannya. Kakinya terasa berat saat ia berjalan mendekati pintu Unit 3402, seolah menyeret beban berton-ton. Dia berdiri lama di sana, menatap pintu kayu kokoh yang kini memisahkan mereka.
Di balik kemewahan pintu yang sunyi ini, di balik dinding kedap suara apartemen termahal di kota ini, ada Sarah di dalam sana. Tapi bukan lagi Sarah miliknya.
Ingatan Maxime akhirnya melayang ke enam tahun lalu. Saat Sarah masih menjadi miliknya. Sarah yang dia kenal adalah definisi matahari. Gadis yang tertawa lepas saat makan es krim di pinggir jalan, yang matanya menyipit lucu saat sedang merajuk. Wajah itu selalu bersinar, penuh harapan, penuh kehidupan.
Namun, wajah yang baru saja dia lihat tadi... adalah kebalikannya!
Wajah Sarah tadi, adalah reruntuhan. Cekung, gelap, dan memancarkan aura kematian yang pekat. Bekas tamparan di pipinya hanyalah luka fisik, tapi Maxime tahu, luka di dalam mata Sarah jauh lebih dalam dan mematikan.
Apa yang terjadi padamu, Sarah? batin Maxime perih.
Enam tahun lalu, setelah perpisahan menyakitkan mereka, tiba-tiba Sarah menghilang. Maxime tidak pernah berhenti mencari. Dia menyewa detektif swasta terbaik, menelusuri setiap jejak digital, bahkan mendatangi kota-kota kecil yang pernah Sarah sebutkan ingin ia kunjungi. Namun, Sarah menghilang tanpa jejak, seolah ditelan bumi.
Sampai beberapa minggu kemudian, sebuah undangan pernikahan mewah tersebar di kalangan pebisnis elit.
Sarah menikah! Dan bukan dengan sembarang orang, melainkan dengan salah satu rival bisnis keluarga Maxime yang terkenal ambisius dan dingin. Pernikahannya sering disebut-sebut sebagai The Wedding of The Century. Semua orang mengira pasti Sarah hidup seperti ratu dalam dongeng.
Saat mendengar kabar pernikahan itu, dunia Maxime runtuh untuk kedua kalinya. Karena hancur dan merasa tidak berhak lagi mengganggu kebahagiaan Sarah, dia berhenti mencari. Dia memaksakan diri untuk fokus pada bisnisnya, membangun kerajaannya sendiri, berusaha melupakan nama Sarah.
Tapi hari ini, Maxime melihat realitanya. Takdir ternyata memiliki selera humor yang gelap. Dia dipertemukan kembali dengan Sarah disini, di tempat tinggal barunya, hanya untuk melihat realitas yang sebenarnya. Dongeng itu palsu. Istana di lantai 34 ini tidak menempatkan sarah sebagai nyonya besar yang bahagia, melainkan sebagai wanita yang membeli racun tikus dengan pipi memar.
Kemarahan kembali menjalari syaraf-syaraf Maxime. Tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih, kukunya menancap ke telapak tangan.
Setelah berdiri cukup lama, Maxime berbalik badan, menghadap pintu apartemennya sendiri, Unit 3401, yang tepat berada di depan unit Sarah. Dia mengeluarkan kartu aksesnya, dan membuka pintu apartemennya, masuk ke dalam ruangan luas yang masih berbau cat baru dan furnitur kulit yang belum pernah diduduki. Dia tidak menyalakan lampu. Cahaya kota dari jendela kaca raksasa floor-to-ceiling menerangi siluet tubuhnya yang kaku.
Lutut Maxime melemas. Pertahanan dirinya jebol. Ia menjatuhkan dirinya ke sofa, namun matanya tetap tajam menatap ke arah pintu depan, seolah pandangannya bisa menembus lorong dan masuk ke unit seberang.
Bayangan wajah Sarah yang putus asa dan penuh kehampaan terus berputar di kepalanya seperti film horor yang tidak bisa dimatikan.
Apa yang sedang Sarah lakukan sekarang? Mungkin sedang menatap botol racun itu. Mungkin sedang menangis tanpa suara agar suaminya tidak mendengar. Mungkin sedang merindukan warna-warna cerah yang dulu menghiasi hidupnya.
"Sungguh.. Apa yang terjadi padamu, Sarah?" bisik Maxime dalam kegelapan. Suaranya parau.
Rasa sakit melihat wanita yang dicintainya dalam kondisi mengenaskan bercampur dengan rasa bersalah karena ia pernah berhenti mencarinya. Dia pikir Sarah bahagia dengan kekayaan suaminya. Betapa bodohnya dia.
Maxime mengepalkan tinjunya di atas lutut. Rahangnya mengeras.
Takdir sudah membawanya ke sini. Dari jutaan apartemen di dunia, dia membeli unit tepat di depan Sarah. Di lantai yang hanya dihuni oleh mereka berdua. Ini bukan kebetulan. Ini adalah kesempatan kedua!
"Tidak lagi," bisiknya dalam kegelapan. Suaranya serak, bergetar menahan tangis dan amarah. "Aku tidak akan kehilanganmu lagi, Sarah."
Detik itu, di dalam penthouse yang sunyi, Maxime berikrar. Sebuah tekad baja terbentuk di hatinya yang berantakan. Dia tidak peduli apa yang bersembunyi di balik pintu 3402, apa pun neraka yang sedang dijalani Sarah, Maxime bersumpah akan menariknya keluar. Meski dia harus menghancurkan pintu itu, meski dia harus menghancurkan siapa pun yang menyakiti Sarah, bahkan jika dia harus menghancurkan dirinya sendiri dalam prosesnya.
Maxime tidak peduli pada hukum, etika, atau apapun itu. Tidak peduli betapa berkuasanya suami Sarah. Dia tidak akan diam saja melihat wanita yang masih dicintainya, sedang sekarat, jiwanya.
Dia akan menyelamatkan Sarah! Harus. Karena jika sampai dia kehilangan Sarah lagi, Maxime tahu, tidak akan ada lagi yang tersisa dari dirinya selain cangkang kosong yang bernapas.
...................................