Simbiosis Mutualisme

1685 Words
"Tidak ada yang lebih menyakiti hati daripada dosa" _Ali bin Abi Thalib_ *** Cewek mungil berkerudung itu mengayun-ayunkan kakinya sembari menunggu Azzam untuk pulang bersama. Gadis pemilik pipi gembul itu pun mengedarkan pandangan ke koridor yang sudah mulai sepi, hanya beberapa murid disana yang masih berlalu-lalang. Bibirnya sedari tadi menekuk merasa bosan berdiri di depan kelas seorang diri. Mendengar suara langkah kaki membuat ia menolehkan kepala cepat, "Lama amat sih, gue udah tung.." Azura menggantungkan ucapannya melihat bukan Azzam yang datang melainkan Alvaro. "Lo nungguin gue?" Kata cowok itu dengan menautkan alis sembari memicingkan mata kearah Azura membuat gadis mungil itu mendelik. "Dih, ngapain gue nungguin lo." Balas Azura judes dengan menggeser tubuhnya agar menjauh dari pemuda itu. Alvaro mendengkus sembari memutar mata jengah, "Gue juga gak sudi ditungguin sama lo, rugi dunia akhirat gue," Azura meliriknya tajam merasa geram dengan ucapan teman kelasnya. Bukan musuh bebuyutannya itu. Cowok  dengan tinggi 176 senti itu pun hanya tertawa mengejek sembari berlalu pergi dengan terbahak disepanjang koridor meninggalkan Azura yang sudah mengumpat samar di tempat. Alvaro s****n. "Udah lama nungguinnya?" Kata Azzam yang baru muncul sembari menetralkan nafasnya yang masih ngos-ngosan karena berlari, cowok itu tampak lengkap dengan seragam basketnya. "Dari tadi," juteknya lalu melangkah mendahului kembarannya, Azzam menggaruk tengkuknya merasa bersalah membiarkan gadis itu menunggu di koridor yang sudah sepi seorang diri. "Ayo pulang!" Ketusnya lagi sembari memperbaiki letak ranselnya, sang kakak berdehem pelan dan mengusap tengkuknya lagi. "Gue ada latihan basket sama anak kelas, hitung-hitung perkenalan buat anak-anak cowok," Azura melongos dengan kaki yang sudah dihentak-hentakan ke lantai. Azzam jadi tersenyum kaku merasa tak enak. "Kenapa gak bilang dari tadi, gue udah nungguin disini lama. Gue udah lapar Zam, tadi pagi kan gak sempat ke kantin," cerocosnya panjang lebar, merasa kesal dengan perbuatan kembarannya. "Iya maaf," cicitnya kecil, "Yaudah gue antarin ke kantin dulu yah baru gue pergi main, ayah juga belum bisa jemput sekarang masih ngajar," kata Azzam berusaha menenangkan, Azura berdecak lirih lalu membuang muka. "Gak usah, gue bisa pulang sendiri aja," katanya lalu melangkah meninggalkan Azzam di depan kelasnya. "Eh tungguin gue dulu," tahan Azzam berusaha mencari solusi. "Atau gini deh, lo ikut gue ke lapangan basket nontonin gue main," sarannya namun Azura sudah terlampau kesal jadi gak bisa diajak kompromi. "AZZAM BURUAN ANAK-ANAK UDAH TUNGGUIN!" Teriak Candra di ujung koridor membuat cowok itu dilemah, Azura mendengkus lalu menoleh tidak tega juga melihat sang kakak jadi bingung begitu. "Yaudah gue ikut lo," katanya pelan membuat Azzam langsung tersenyum lebar merasa lega begitu saja. Dijutekin kembarannya itu lebih bahaya daripada dimarahin bundanya. Kalau Azura marah semua orang dirumah dicuekinnya, kalau bundanya marah sang ayah yang jadi pelampiasan. Azzam pun menepuk kepala sang adik yang terbungkus kerudung lalu menarik lengannya menuntun kearah lapangan basket. "Eh ada Azura, lo mau nontonin abang main yah?" Kata Bobby sudah menyengir lebar, Candra juga sudah melambai-lambai manis kearah gadis itu. Azura melirik kakaknya sekilas meminta perlindungan, "Ayo main, jangan gangguin adik gue," keduanya pun berdecak lalu tersenyum manis lagi kearah Azura lalu berlari ke lapangan. "Gue main dulu yah." Ujar Azzam membuat Azura mengangguk lemah, pemuda itu pun berlari kecil ke arah lapangan sembari bergabung dengan yang lain. Azura menarik sudut bibirnya pelan melihat Azzam sudah bisa bersosialisasi dengan baik. Bahkan, cowok itu sudah memiliki kedua teman walau dapatnya cuma ampas. Azura meringis kecil mendengar suara perutnya, ia kelaparan sekarang. Ia hendak pamit ke Azzam tapi cowok itu sedang fokus main. Dia pun memilih beranjak dan melangkah sendiri ke kantin. Gadis itu melewati koridor yang sepi membuat ia terbayang film horor yang sering ia nonton, biasanya setan-setan akan muncul di pojokan dengan rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Membayangkan itu membuat ia bergedik ngeri sendiri. Samar-samar ia mendengar kekehan seorang gadis yang membuat ia berjalan pelan sembari mengintai dan bersembunyi di balik pilar. Ia memicingkan mata melihat Alisa sedang mengobrol di telepon sembari sesekali terbahak. "Gue gak serius kok sama Azzam, yaelah cowok gitu mah cuma buat mainan gue doang," katanya sembari memainkan ujung rambutnya, Azura melebarkan mata mendengar penuturan gadis itu. "Gue dengar katanya dia anti pacaran, bullshit bangat gak sih," lanjutnya lagi dengan mendengkus kasar. "Sok polos, padahal mukanya nafsuan." Azura mengepalkan tangannya erat merasa geram sekarang. Amarahnya memuncak seakan ada kepulan asap yang keluar di atas kepalanya. "Gak lah, lo tahu sendirikan gak ada yang bisa nolak pesona gue. Si Kevin aja takluk ama gue, apalagi cuma si Azzam yang biasa-biasa aja, gue pastiin bakalan balas perbuatan dia sama gue. Emang enak dipermaluin depan umum?" Tambahnya lagi, Azura berusaha meredam emosinya. Mau mendengar apa saja yang akan diucapkan gadis licik di balik tembok itu. "Gue kan pura-pura mau jatuh di depan dia, bukannya nolongin malah mgehindar kan t*i. Dia kayak jijik gitu sama perempuan, gue curiga kalau dia homo..." "Eh ular berkepala lima!" teriak Azura di hadapannya, Alisa menegak sembari menurunkan ponselnya yang masih tersambung panggilan. "Lo mau ngapain Azzam hah? Lo emang licik yah?!" Alisa tersenyum culas, "Emang kenapa, masalah buat ampas kayak lo?" "Jelas masalah anjir, lo ngata-ngatain kembaran gue," Alisa terbahak begitu saja, "Kembaran?" Ujarnya merasa geli sendiri sembari melangkah mendekat kearah Azura. "Lo sama Azzam?" Tambahnya lagi masih terbahak dengan menutup mulut sok cantik. "Azzam ganteng, lo jelek. Azzam tinggi lo pendek, Azzam pintar lo d***o. Seriusan Azzam kembaran lo?" Azura meradang sudah maju menjambak rambut Alisa membuat cewek itu memekik kesal. Keduanya pun sudah baku jambak, walau Alisa kesulitan menjambak Azura karena kerudung gadis itu yang licin. "AZURA!" Teriakan Azzam di ujung koridor membuat keduanya terdiam sembari menoleh kearah Azzam yang sudah berlari kecil menuju keduanya, Alisa langsung melepas jambakannya. "Kenapa lo jambak dia?" Katanya pada Azura sembari menurunkan tangan sang adik yang masih mencengkram rambut Alisa, Alisa sekilas tersenyum miring lalu mulai sandiwara menahan tangis. "Dia marah sama gue gara-gara gue cuma pengen kenal sama lo," ujarnya sedih membuat Azura menganga dengan fitnahan gadis itu, Azzam menautkan alis bingung. "Terus dia jambak gue," katanya sudah terisak, Azura sudah maju ingin mencakar gadis itu lagi namun Azzam menahannya. "Gue wakilin Azura buat minta maaf, Azura memang lagi sensitif hari ini. Maaf yah," ujar Azzam ramah lalu pamit dan menarik tangan Azura pergi dari sana. Azzam masih setia menarik lengan Azura walau sang adik meronta meminta dilepaskan, keduanya pun sampai di parkiran. Azura langsung menepiskan tangan Azzam pada lengannya. "Lo lebih percaya sama dia daripada gue?" Azzam menghela pelan. "Bukan begitu," Azura menggigit bibir bawah sembari menahan tangis. "Dia ngehina lo, dia ngatain lo homo, dia ngejelek-ngelekin lo Zam. Dan lo malah minta maaf sama dia," Azzam membasahi bibir sejenak. "Gue cuma gak mau lo ada masa.." "Ayah!" Teriak Azura saat melihat mobil ayahnya berhenti di depan gerbang, ia pun berlari duluan meninggalkan Azzam yah menghela pelan lalu mengekorinya Azura sudah mendudukan diri di kursi belakang dengan wajah yang sudah ditekuk. Azzam mengikuti, dan duduk di sebelah ayahnya. Sekilas ia menoleh pada adiknya yang hanya membuang muka kearah jalanan. "Apa cuma perasaan ayah aja, kok suasananya kayak canggung gini yah?" Celetuk ayahnya, namun tak ada tanggapan dari kedua anaknya. "Yaudahlah, kita pulang!" Katanya lalu melesat kejalanan, menyisahkan keheningan sepanjang jalan. Erza tahu sekali kalau kedua anaknya sedang dalam mode ngambek-ngambekan. *** Bel masuk sudah berbunyi sedari tadi namun Azura masih melangkah pelan menuju kelas. Dari sepulang sekolah sampai berangkat tadi ia sama sekali tidak menegur Azzam sama sekali. Biar dia tahu kalau Azura sekarang lagi kesal sama dia. "Heh kamu, kenapa masih di luar? Bel masuk sudah berbunyi dari tadi," kata guru sejarah yang terkenal killer itu, Azura menegak salivanya kasar sembari memikirkan alasan untuk bisa lolos dari pak Budi. Ia pun memicing saat melihat Alvaro berjalan santai di belokan dengan tangan yang memegang bola basket. "Alvaro!" Teriaknya membuat cowok itu mengernyit lalu menolehkan kepala, ia menautkan alis melihat Azura tiba-tiba tersenyum manis padanya. Pak Budi pun hanya melemparkan tatapan menyelidik kearah keduanya. "Saya kesini mau panggil teman kelas saya pak, soalnya tadi dia mau ke toilet tapi agak lama gitu," cerocosnya membuat cowok jangkung di sebelahnya hanya menatapnya aneh. "Kenapa kamu yang cari, bukan teman cowoknya?" Kata Pak Budi lagi, "Soalnya saya teman baiknya pak, iya kan Al," ujarnya sembari menyenggol pelan tangan Alvaro yang mendelik kecil kearahnya. "Benar begitu?" Tanya pak Budi lagi, Alvaro menghela kasar sembari menoleh pada Azura yang menatapnya dengan kerlipan penuh harap. "Hm.." dehemnya sembari mengangguk lemah, "Yasudah kalian masuk kelas sekarang," ujar pria paruhbaha itu lalu melangkah pamit ke kelas atas di lantai dua. Azura langsung ngacir duluan tanpa memperdulikan Alvaro yang masih menatapnya heran. "Sejak kapan gue temanan sama lo?" Ujar pemuda itu sembari mensejajarkan langkahnya dengan gadis itu, Azura mendesah panjang, "Terpaksa," balas Azura malas sembari melangkah diikuti cowok yang berseragam urakan itu. Untung saja tidak dinoticed Pak Budi. "Lo manfaatin gue?" Ketus Alvaro. "Dih, ini tuh namanya simbiosis mutualisme. Kita saling bantu," ralat Azura dengan tampang serius. "Apaan anjir, lo jadiin gue tumbal," Azura memutar matanya jengah. "Gue bantuin lo biar gak dihukum, lo juga bantuin gue biar gak kena marah," Alvaro mendelik merasa tidak diterima dimanfaatkan begitu saja. "Masalahnya gue gak sudi bantuin lo," katanya kesal, "Gue juga malas, tapi udah terjadi." Kata Azura beralasan. "Yaudah reka ulang, pokoknya gue gak mau bantuin lo," Azura berdecak kasar dan menatap Alvaro tajam. "Ya Allahu Akbar, lo manusia dari dunia belahan mana sih, bantuin orang aja gak mau?" "Lo kan bukan orang, lo cabe," katanya sinis lalu melesat masuk ke kelas membuat anak kelas bercie ria dan heboh pada keduanya. "Ciee dari mana lo berdua, Kok bisa datang sama-sama?" Celetuk Anif yang duduk di pojok meja. Alvaro menyengir sembari mendudukan diri, "Biasa naena dulu di kamar mandi," balasnya asal membuat Azura memakinya kasar. Walau ia tahu itu dosa. Teman-temannya terbahak dengan hebohnya, "PJ woe PJ, baru beberapa hari aja udah lancar aja lo, Al deketin doi." Lanjut cowok bergigi gingsul itu, Alvaro hanya terkekeh pelan. "Dia yang deketin gue, gue mah cool coeg," Azura dan Intan hanya memutar matanya jengah, anak kelas sudah tahu tabiat dan sifat asli Alvaro yang tidak pernah serius dalam hal apapun. Semua ia anggap bercanda, hidupnya juga ia anggap bercanda. Intan yang sudah kenal dekat dengannya hanya menatap miris kearah sahabatnya itu. Sudah tahu seluk-beluk cowok jangkung itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD