6. Jurit Malam

1553 Words
Malam yang cerah bertabur bintang ditemani alunan suara petikan gitar yang Bambang mainkan. Seakan memunculkan angan kerinduan akan hadirnya cinta dalam hati Medusa. Ia melamun di antara riuhnya suara tepukan tangan dan suara merdu para penikmat alunan petikan gitar itu. Jaelani sang pengamat, tidak lengah menelisik jauh arti dari tatapan hampa seorang Medusa yang terkenal dengan sikapnya yang dingin. Jaelani pun tak lupa mengamati sekitarnya. Ia melihat beberapa mahasiswi yang menatap Bambang dengan tatapan spesial. Seperti Tasya yang terlihat jelas mengagumi Bambang. “Bener-bener ini sohib gua ... kelihatanye banyak yang naksir Bambang ... tapi kenape juga si Bambang masih menutup hati? Buat seseorang yang ampe saat ini belum diketahui di mane rimbanye.” Jae berbicara dalam hatinya sembari menggelengkan kepalanya. Penampilan kelompok Bambang menjadi penutup acara api unggun. Semua peserta diminta untuk beristirahat sebelum acara jurit malam dilaksanakan. “Terima kasih buat seluruh peserta yang sudah memberikan penampilan terbaik, untuk memeriahkan malam keakraban ini ... tapi semua belum selesai karena masih banyak Games seru lainnya ... acara selanjutnya akan dilaksanakan nanti saat pergantian hari ... Games selanjutnya adalah mencari jejak misteri ... kalian akan ditugaskan untuk menyelesaikan misi ... ada lima posko yang harus kalian datangi untuk menyelesaikan setiap misi di posko itu ... kemudian, panitia akan memberikan sebuah clue pada setiap posko ... saat sampai di posko terakhir dan menjalani misi terakhir, kalian harus menebak apa yang dimaksud oleh rangkaian clue tersebut ... bisa nama tokoh, atau ilmu pengetahuan, dan masih banyak kemungkinan lain ... oleh karena itu, panitia menghimbau pada seluruh peserta agar memanfaatkan istirahat secara maksimal ... sehingga saat Games mencari jejak misteri, kalian tidak akan merasa mengantuk ... apa kalian mengerti?” tanya ketua panitia yang bernama Abas. “Mengerti, Kak!” seluruh peserta kompak menjawab. *** Usai acara api unggun, semua peserta kembali ke tenda masing-masing. Tak jauh berbeda, Bambang dan kedua sahabatnya pun beristirahat di dalam tenda. Malam yang semakin dingin, membuat mereka merapatkan jaket serta sweater yang dipakai. Bambang mengambil tas ranselnya untuk ia gunakan sebagai bantal saat berbaring meluruskan punggung yang pegal-pegal. Tak jauh berbeda dengan Jae dan Sam. Mereka masih terjaga sembari bercerita. “Guys ... menurut kalian, games yang bakal kita jalani malam ini, bakalan seru ape serem?” Jaelani merasa sedikit ragu karena memang dia penakut. “Bakalan seru, Jae! Soalnya aku waktu SMA paling seneng acara jurit malam ... ada penasaran, takut, seru, dan pastinya menegangkan menguji adrenalin kalau pas ketemu suara-suara, walau kita tahu itu kerjaan panitia ... tapi seru, asyik.” Bambang merasa senang karena akan ada acara jurit malam. “Kalau aku sendiri, memang suka dengan acara-acara yang mengandung misteri ... seperti acara mencari jejak ini.” Sam menambahi. “Emang bener muka lu aja udeh penuh misteri.” Celetukan Jae membuat mereka semua tertawa. Namun seseorang berteriak dari balik tenda. “Bambang! Jangan bercanda! Waktunya tidur!” suara Medusa membuat Bambang terkesiap. Medusa dan beberapa panitia lainnya sedang patroli wilayah, untuk memastikan semua peserta aman dan bisa beristirahat sebelum melanjutkan aktivitas selanjutnya. “Kok aku lagi sih yang kena omelan dia?” Bambang berbisik pada Jae dan Sam. Ia merasa semakin kesal pada Medusa. “Ye ... pan gua udeh bilang kalo doi suka ama lu!” Jae membalas komentar sembari berbisik pada Bambang. “Pait ... pait ... pait ....” Bambang berbisik lagi lalu memejamkan mata. “Udahlah, Bang! Akui saja!” Sam berbisik pada Bambang. Bambang membuka matanya dan kembali membalas komentar Sam. “Amit-amit jabang bayi bocah kaget! Emoh!” Bambang berbisik pada Sam. Kemudian mereka beristirahat. *** Malam kian larut ditemani suara jangkrik yang beradu dengan kabut yang kian dingin menusuk tulang. Semua peserta terlelap sebelum mereka melanjutkan kegiatan selanjutnya. Medusa dan beberapa panitia lainnya duduk di posko pemantauan sembari meminum kopi hangat sebelum memulai kegiatan mencari jejak. Selang beberapa menit kemudian bunyi suara sirene yang berasa dari speaker milik panitia membahana memecah kesunyian. Beberapa panitia membangunkan para peserta untuk melanjutkan acara selanjutnya yaitu mencari jejak tak jauh di sekitar wilayah Vila tersebut. Semua peserta yang sudah mempersiapkan diri, diminta untuk berkumpul di lapangan berdasarkan kelompok mereka masing-masing. Perlengkapan seperti senter dan air minum sudah mereka bawa. Tak lupa mereka pun diwajibkan memakai jaket untuk mencegah hawa dingin merasuk pada tubuh mereka. Topi kupluk penghangat atau syal pun diperbolehkan untuk mereka kenakan. Karena yang terpenting dalam acara ini adalah kekompakan peserta. Meningkatkan persatuan dan kesatuan dalam memecah teka-teki yang akan diberikan oleh panitia. Setiap mereka berhasil menyelesaikan misi pada setiap posko, dengan waktu yang sudah ditentukan, maka mereka akan diberi satu clue untuk menebak apa atau siapa yang dimaksudkan dari kelima clue itu. Bambang selalu terlihat memesona dengan jaket merahnya. Jaket merah kesayangan pemberian dari ibunya. Penampilan Bambang malam itu membuat semua mata tertuju padanya. Bukan karena saking memesonanya. Melainkan apa yang ia kenakan seperti orang yang mau ronda malam. “Bambang! Lu ngapain begitu? Mirip sama Mamang-mamang penjaga Vila yang mau ronda!” Jae berbisik padanya. “Apanya yang aneh sih? Perasaan biasa aja!” Bambang merasa kalau penampilannya sudah sesuai standar dirinya. “Lihat sajalah, kau! Semua peserta laki-laki tidak ada yang menyelempangkan sarung begitu.” Bisik Sam pada Bambang. “Oh ... ini ciri khas kalo aku ronda di desa aku, Sam! Nggak apa-apa, gaya baru ... influencer ....” Bambang tersenyum pada Sam. “Bodo amat dah!” Jae yang mendengar bisik-bisik mereka merasa kesal pada Bambang. Suara ketua panitia menggema di antara kesunyian malam. Semua peserta dibariskan sesuai dengan kelompok mereka. Semua ponsel mereka dikumpulkan dan dijaga oleh panitia yang bertugas menjaga vila beserta barang-barang semua peserta. Setiap regu hanya diberi satu lampu senter sebagai penerangan. Akan ada petunjuk jalan yang sudah panitia siapkan dari awal keberangkatan hingga pos terakhir. Sepanjang perjalanan ada panitia yang mengawasi mereka. Ada yang bersembunyi ada juga yang berkeliling. Sehingga panitia menjamin keamanan serta keselamatan semua peserta demi kelancaran acara. *** Regu Bambang menjadi regu ketiga yang diberangkatkan. Mereka mulai berjalan menyusuri hutan kecil yang berada di sebelah danau buatan itu. Mereka berdoa agar sampai tepat waktu dan selamat. Sepanjang perjalanan menuju pos pertama, mereka berbincang untuk memecah kesunyian yang mulai melahap keberanian mereka. Jae menceritakan pengalamannya yang sering mengikuti kegiatan jurit malam saat pelantikan ekstrakurikuler saat SMA. Namun tetap saja ada perasaan takut dalam dirinya. Begitu pula dengan Sam beberapa kali mengikuti kegiatan jurit malam, tetap saja selalu merasa takut juga seru dengan acara itu. Pos pertama tidak berada jauh dari Vila. Mereka sampai di sana. Kemudian panitia meminta yel-yel regu mereka. Setelah selesai yel-yel, mereka diminta untuk menyebutkan bunyi Pancasila dari sila pertama sampai kelima. Misi mereka sukses lalu panitia memberi sebuah clue tentang teka-teki yang harus mereka tebak di pos terakhir. Clue pertama yang mereka dapat adalah sejarah. Kemudian mereka kembali berjalan menyusuri hutan yang gelap. Bambang menyalakan lampu senter. Sepanjang perjalanan, mereka melanjutkan perbincangan. Bambang mengatakan jika dirinya pun pernah mengikuti jurit malam. Bahkan Bambang mengaku tidak takut dengan perjalanan menyusuri pekatnya malam. “Aku ini udah biasa tinggal di desa, banyak kebon begini ... jadi nggak takut kalo jalan malam-malam seperti ini.” Seusai Bambang mengatakan itu, seseorang muncul dari balik semak-semak. Hal itu sungguh mengejutkan regu yang terdiri dari lima orang itu. “Bener gak takut?” suara salah seorang panitia mengejutkan mereka. “Hwaaaaaaaaa ....” Mereka berlima lari tunggang langgang. Hal itu dimanfaatkan oleh Tasya yang langsung memegang tangan Bambang. Mereka berlima lari hingga sampai pada pos kedua. Wajah pucat dengan napas tersengal menjadi pemandangan saat regu yang diketuai oleh Bambang tiba di sana. “Kenapa kalian lari seperti itu?” tanya salah seorang panitia. “Lagi cerita sambil jalan tiba-tiba ada senior yang muncul dari semak-semak ... kaget kita, Kak!” jawab Bambang sebagai ketua regu. “Ada-ada saja! Ya sudah sekarang kalian harus mengikuti Games di pos ini! Siapa ketuanya?” “Saya, Kak!” Bambang mengangkat tangannya. “Baik, Games kali ini adalah tebak kata ... saya akan menaruh sebuah kertas berisi tulisan di atas helm yang dipakai Bambang ... tugas Bambang menebak tulisan yang ada di sana ... tugas anggota kelompok, memberi arahan ... satu orang hanya bisa mengatakan satu kata sebagai kata kunci yang mengarah ke tulisan itu setiap kali terkena giliran ... begitu seterusnya, dalam waktu lima menit ... jika ketua kalian bisa menebaknya, maka akan mendapat satu clue untuk kelompok klian! Apa kalian mengerti?” “Siap! Mengerti!” Kemudian Bambang memakai helm dengan kertas di atasnya yang bertuliskan “Spatula”, Bambang harus menebak kata itu dan keempat temannya mengarahkannya. “Mulai!” suara panitia membuat mereka semakin gugup. “Benda.” Sam mengawali memberikan arahan. “Mobil, motor, rumah?” Bambang mencoba menebak “Dapur,” Tasya melanjutkan. “Piring, sendok, wajan, panci?” Bambang mencoba menebak lagi. “Panjang,” Jae mendapat giliran. “Aduh! Gugup! Benda dapur panjang?” Bambang sedang berpikir dan berbicara sendiri. “Mengaduk,” Dela memberi arahan. Lalu kembali lagi urutannya pada Sam. “Wajan,” Sam kembali mengarahkan. “Iya ... iya, benda panjang ... mengaduk wajan, aku tahu!” “Soled!” Bambang menebak benda yang dimaksud, tetapi menggunakan bahasanya sehari-hari. “Bukan ...!” Jae sudah merasa gemas. “Soled, kan? Yang buat masak itu ... yang buat mengaduk masakan, kan?” Bambang terus berpikir dan merasa jawabannya sudah benar. “Kata lain, Bambang!” Dela pun ingin tertawa. “Oh ... iya bentar! Itu namanya ... hmmm ... Ingat!” jawab Bambang. “Susruk!” Bambang lagi-lagi menjawab dengan istilah lain dalam bahasa di kampungnya. “Banbang! Kesel ih!” Tasya gemas dengan Bambang. “Soled bukan, Susruk bukan? Tapi itu sala loh alatnya! Namanya aja yang beda!” Bambang mulai mengeyel. “Iya ... samsooon! Bendanya memang sama? Tapi kan nama dalam bahasa globalnya bukam yng lu sebutin tadi! Bambaaang!” Jae semakin kesal dengan temnya itu. “Apa ya? Soled ... Sodet ...Susruk ... aduh ...!” Bambang pun deg-degan karena waktunya tinggal tiga puluh detik lagi. “Soled, sodet, susruk, soled ... Oh iya!” Bambang teringat sesuatu. “Spatula!” Jawaban Bambang tepat lima detik sebelum waktu habis. “Nah ... iya ....” Wajah mereka semringah. *** Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD