prolog
Perkenalkan namaku adalah Yumna Zakiah danenn usiaku 27 tahun. Aku adalah bungsu dari dua bersaudara, kakakku bernama Fauziah Diana danenn usia kakakku dan aku tidak beda jauh hanya berselisih satu tahun saja yang itu artinya kakakku berusia 28 tahun.
Ayahku bernama Abid Dilnawas Danenn biasa dipanggil dengan Pak Abid atau tuan danenn dan ibuku bernama Bilqis Aurora Al Azka dan biasa dipanggil Bu Rora atau nyonya danenn.
Ayahku adalah pewaris tunggal dari sebuah keluarga kaya, yang mana perusahaan mereka berjalan di bidang properti jasa dan asuransi. sementara ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga yang berlatar belakang dulu hanya seorang yatim piatu yang hidup dan besar di panti asuhan.
Kekayaan orang tuaku adalah warisan dari orang tuanya sangatlah banyak dan tak terhitung, bahkan properti yang beliau punya sudah menyebar di pelosok tanah air bahkan ada yang di luar negeri juga.
kekayaan yang beliau miliki sudah digadang-gadang untuk diberikan kepada kami dua bersaudara yaitu diriku dan juga kak Zia
Aku menikah 4 tahun yang lalu dengan seorang laki-laki yang bernama prima Abdul Gani yang sering disapa dengan panggilan Abang Gani.
Suamiku ini adalah anak kedua dari tiga bersaudara, Dia memiliki kakak bernama Laila Abdul Gani berusia 32 tahun dan terbiasa dipanggil dengan sebutan Ila. sementara adiknya bernama hilya Abdul Gani berusia 23 tahun dan terbiasa dipanggil dengan sebutan Yaya.
Orang tua Bang Gani berasal dari kampung yang di mana mata pencaharian mereka adalah seorang petani, Ayah Bang Gani bernama Abdul Gani mutohar biasa dipanggil dengan sebutan Pak Tohar. sementara ibu mertuaku dulu berprofesi sebagai tukang masak di acara hajatan hajatan di kampung, dan ibu mertuaku itu bernama Fatimah lu Aulia dikenal dengan sebutan ibu Imah.
Dalam 4 tahun pernikahan kami sama sekali kami belum pernah dikaruniai keturunan, di awal pernikahan kami aku sempat merasakan mengandung, kamu di usia kandunganku yang ke 3 bulan aku mengalami keguguran oleh karena keracunan makanan.
Sejak aku menikah dengan Bang Gani aku sangat bahagia, tak ada perselisihan berarti dalam rumah tangga kami, apalagi kami pun memutuskan untuk tinggal sendiri dan tidak satu rumah dengan orang tuaku maupun orang tua bang Gani.
Namun kebahagiaanku mulai terusik saat seluruh keluarga Bang Gani memutuskan untuk tinggal bersama kami, dengan alasan rumah yang mereka tempati sudah terjual untuk membayar hutang-hutang mereka yang menumpuk.
Kejadian itu bermula sejak 1 tahun di usia pernikahan kami, bang Gani tidak pernah membicarakan kepadaku perihal keluarganya yang hendak pindah ke rumah kami. Dia hanya meminta maaf saat keluarganya sudah terlanjur datang ke rumah dengan membawa semua barang-barang mereka.
"Dek tolong maafin aku, Aku harap kamu tidak marah, dan mau menerima keluargaku seperti kamu menerimaku sebagai suamimu...!" kata Bang Gani saat itu.
Rasa keberatan yang aku tunjukkan pun tak berarti sama sekali, bahkan dia menggunakan dalil agama untuk membenarkan sikapnya tersebut.
"Keluargaku adalah keluargamu juga dek, apa salahnya kalau kita menampung mereka...? bukankah hidup kita kecukupan...? Kamu tahu kan kalau gajiku lebih dari cukup untuk menghidupi mereka semuanya meskipun mereka tidak kerja sekalipun...!" kata bang Gani saat itu.
"Abang ini anak laki-laki dek, sudah sepantasnya mereka menjadi tanggung jawab Abang, tolong jangan halangi Abang untuk berbakti kepada mereka...!"katanya saat itu.
Tak aku pungkiri jika apa yang dikatakan oleh Bang Gandhi mengenai gaji yang diucapkannya adalah benar adanya, gaji lebih dari 100 juta per bulan tentu sangat cukup untuk menghidupi kami semua, namun satu hal yang tak diketahui oleh bank Gani adalah sebenarnya gaji yang dia terima setiap bulannya itu bukanlah semata-mata miliknya semata.
Bang Gani sama sekali tak mengetahui jika kantor tempatnya bekerja selama ini adalah milik keluargaku, saat kami menikah dulu orang tuaku mewanti-wanti jika aku harus menyembunyikan identitasku yang sebenarnya dari suamiku dan keluarganya, itu adalah syarat mutlak dari kedua orang tuaku memberikan restunya kepada kami untuk menikah.
Dan aku pun menyetujuinya begitu saja, dan sampai saat ini pun dia tidak mengetahui hal tersebut.
"Andai kamu tahu Bang, uang gaji yang kamu terima itu adalah sebagian besar uang milikku, gajimu dari kantor hanya sekitar 25 juta saja...!" batinku yang tanpa aku berani melahirkannya.
Aku terpaksa menyetujuinya, dan dari sinilah ceritaku bermula.
Setiap hari aku melakukan pekerjaan rumah tangga sendirian, mulai dari menyapu mengepel membersihkan rumah mencuci baju bahkan memasak untuk semua anggota keluarga aku sendiri yang melakukannya.
Di rumah kami ini sebenarnya ada 4 orang wanita, Namun semua beban pekerjaan itu hanya dilimpahkan kepadaku dengan dalih mereka hanyalah tamu...
Saat aku mengeluhkan rasa lelah yang kualami, suamiku hanya menanggapinya dengan tersenyum dan memintaku untuk sabar. suamiku selalu berkata jika mereka semua masih beradaptasi.
"Kenapa seolah aku ini menjadi pembantu di rumahku sendiri bang...? aku capek...! kalau begini caranya lebih baik Abang mencari seorang art untuk membantu pekerjaan rumah tangga kita...!" kataku saat itu.
"Kamu tahu sendiri kan dek...? aku tak terbiasa dengan orang lain, dan aku tidak nyaman jika rumah kita ini ditinggali oleh orang lain meskipun itu berstatus art...!" jawab suamiku.
"Lagian sayang kan dek uangnya untuk membayar Art. ? lebih baik uangnya untuk kebutuhan kita sehari-hari, di rumah kita sekarang rame loh dek bukan cuma aku dan kamu saja tapi ada bapak ibu Mbak ila dan juga yaya, apalagi minggu depan anak kembar Mbak ila akan menyusul kesini dan tinggal bersama kita...!" Kata Bang Gani.
"Apa Bang...? tinggal bersama kita...?"pekikku tak percaya.
"Memangnya kenapa...? boleh saja dong...? mereka kan tinggal di rumah omnya, lagian juga bukan kamu yang menghidupi kami..! protes aja bisamu itu...!" kata Mbak ila entah sejak kapan dia berada di sana dan menguping pembicaraan kami.
"Ya jelas aku keberatan lah Mbak, kalau memang Mbak ila berniat untuk mengasuh kedua anak Mbak ila, nggak harus di rumah kami...!" bantah ku saat itu.
"Kamu dengar sendiri kan Gani? istrimu yang tak tahu diri ini menolak kehadiran kedua anakku, hidup hanya atas belas kasihan kamu saja berani bertingkah, mending kalau bisa memberikan keturunan, ini apa...? sudah mandul kerjanya hanya ongkang-ongkang kaki di rumah dan menghabiskan uang gajimu, eh sekarang malah sok ngatur...! dasar benalu tak tahu diri...!" kata Mbak ila.
Saat aku hendak membantah apa yang dikatakan oleh Mbak ila, tanganku dicekal oleh suamiku, seperti biasa dia memintaku untuk mengalah agar tidak terjadi pertengkaran atau perselisihan antara kami.
Padahal kalau dipikir-pikir yang jadi benalu di sini bukanlah aku, tapi dia...
"Jangan keterlaluan ya Bang, apa perlu aku bongkar semuanya bahwa rumah yang mereka tempati ini adalah rumahku...?" kataku kepada bang Gani.
Dengan muka pucatnya suamiku menjawab.
"Janganlah dek, tolong jaga marwahku sebagai suamimu, jangan biarkan mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi...! dan biarkan saja mereka tetap menganggap bahwa rumah ini adalah hasil dari kerja kerasku selama ini...!" katanya.
Entah mengapa aku pun menuruti semua yang diinginkan oleh suamiku itu, seharusnya aku memiliki taring karena rumah yang mereka tempati adalah rumahku, Namun nyatanya mereka semakin tak menghargai aku karena ketidaktahuan mereka tentang status rumah ini.
"Kia...!" panggil ibu mertuaku dengan sangat lantang, aku sudah bisa menduga apa yang akan terjadi selanjutnya, beliau mungkin mendapat aduan dari Putri sulungnya tentang perdebatanku dengannya tadi.
"Ibu memanggil dek, tolong bersikap sopan ya, tak perlu banyak membantah ataupun menjawab perkataan ibu, inget dek, ibu itu sudah sepuh, dan memiliki penyakit hipertensi...! Abang takut kalau ibu akan koleps jika berdebat denganmu, tolong mengalah ya...!" begitu lembutnya suamiku berkata demikian denganku.
Bukan sekali dua kali hal ini terjadi, namun dengan bodohnya Aku selalu mengikuti apa yang mereka katakan. seolah aku ini memang pembantu tak bergaji di rumah ini, semua semua aku yang mengerjakan dan mereka seperti bos besar yang selalu memberikan perintah seenak jidat mereka.
"Malah bengong...! jangan gitu ah, nanti kesambet loh...!" kata suamiku menyadarkanku dari lamunan.
Dengan langkah malas Aku berjalan menuju di mana ibu mertuaku berada, dan benar saja di sana sudah ku dapati Mbak ila yang duduk menatapku dengan pandangan meremehkan. dia bersedekap d**a dan seolah mengejekku.
"Apa maksudmu tidak mengizinkan kedua cucuku untuk tinggal di sini...? punya hak apa kamu...? rumah ini milik anakku, anak lelakiku, kamu tahu itu artinya apa...? kamu sama sekali tidak memiliki hak untuk melarang apapun di sini...!"