Aruna menghela napas panjang, dia harus berangkat ke kampus meskipun rasanya tak ada tenaga untuk melakukan apa pun. Setelah kebenaran itu terungkap, energi Aruna rasanya habis diserap. Sekarang yang tersisa hanyalah perasaan takut dan khawatir, takut Rangga marah dan khawatir dengan respons sang ayah.
Menatap bayangannya sendiri di cermin, Aruna mengusap matanya. Mata indah wanita itu sembab karena menangis setelah pulang dari rumah sakit, jika saja hari ini tak ada ujian, sudah dipastikan Aruna akan memilih untuk berdiam diri di rumah daripada harus hadir di kampus.
Meraih tasnya, Aruna mundur beberapa langkah. Pandangan wanita itu tertuju pada perutnya yang masih rata, dia meletakkan tangan kanannya di atas perut. Sorot mata sendu Aruna seakan menjelaskan segala kekalutan dan ketakutan yang dia rasakan.
"Maaf kamu harus hadir karena sebuah kesalahan," ucap wanita itu dengan suara yang sangat pelan, nyaris tak terdengar.
Menghapus air matanya, Aruna melangkah keluar kamar. Wanita itu menurunin tangga dengan perlahan. Keadaan rumah megah itu begitu sepi karena Rangga yang masih berada di kantor, setidaknya itu menyelamatkan Aruna saat ini. Rangga tak akan melihat wajah sembabnya dan tentunya tidak akan ada pertanyaan berbondong-bondong dari sang ayah.
Setibanya di kampus, Aruna langsung melangkah menuju kelasnya. Suasana keras yang ramai dan berisik menyambut wanita itu, sedangkan Aruna hanya menatap mereka sekilas—lantas duduk di tempatnya.
"Pagi, Runa. Eh, lu habis nangis?" Salsa menarik bangkunya mendekat, menatap Aruna dengan tatapan menyelidik.
Mengangguk pelan. "Iya, habis nonton Drakor sebelum ke kampus," sahut wanita itu tanpa menatap Salsa, dia lebih memilih mengeluarkan bukunya dari dalam tas.
"Gila! Kepala gue rasanya meledak belajar buat ujian nanti, rasanya berasap kepala gue!" Karey datang dari arah pintu dengan wajah kusutnya, Aruna dan Salsa langsung mengalihkan pandangannya.
Terkekeh pelan, Aruna menggelengkan kepala. "Lu 'kan pinter, Rey. Santai aja kali, lupa kali ya pas jaman sekolah lu selalu menang olimpiade," celetuknya.
"Ye! Itu mah beda lagi, Runa." Karey meletakkan tasnya di atas meja, lantas duduk di samping Aruna. "Itu 'kan olimpiade fisika, nah ini ujian Psikologi. Jauh beda tau nggak sih?!"
Aruna dan Salsa tertawa, sedangkan Karey mendengus.
"Yang ngide kita satu jurusan 'kan elu, Rey. Pake segala ngikutin Aruna masuk Psikologi, udah tau nih anak jagonya." Salsa menggelengkan kepala pelan, sebenarnya dia juga merasakan hal serupa dengan Karey.
"Ya sekalian berobat jalan maksud gue mah," ujar Karey seraya tertawa pelan.
"Udahlah sana belajar! Bentar lagi ujian dimulai." Aruna melirik jam yang melingkar di tangannya.
Lobi di depan ruang ujian begitu hening, dinginnya udara membuat beberapa mahasiswa meniup tangannya berulang kali berharap itu akan membuat mereka lebih hangat. Deretan kursi berjejer rapi di depan ruangan, ketegangan menggantung jelas di udara. Sebagian dari mereka sibuk membaca catatan terakhir, sementara sebagian lagi sibuk menatap lantai dengan tatapan gusar.
Di tempatnya, Aruna tampak begitu tenang. Wanita itu fokus membaca catatan yang telah dia buat. Sampai pintu ruangan ujian terbuka, wanita itu mengalihkan perhatiannya—seorang dosen berusia sekitar 45 tahunan berdiri di ambang pintu. Tatapan dosen itu menelisik sekitar dengan teliti sampai matanya berhenti pada sosok Aruna yang tengah mengembuskan napas berulang kali.
"Aruna, silakan masuk!" titahnya, lalu membalikkan tubuh dan berjalan masuk ke dalam ruangan.
"Fighting, Run!" seru Karey dan Salsa bersamaan.
Aruna masuk ke dalam ruangan ujian dengan tenang, dia duduk tegak di hadapan tiga dosen. Tangan Aruna berada di atas lututnya. Berulang kali wanita itu mengatur napasnya, jantungnya berdebar kencang.
"Silakan, Aruna. Topik yang kamu pilih menarik, kita mulai," ucap Bu Dian.
Aruna mengangguk, wanita itu tersenyum. "Baik, terima kasih. Selamat pagi, Bapak dan Ibu Dosen penguji. Hari ini, saya ingin membahas mengenai pola asuh dan dampaknya terhadap perkembangan anak."
Menarik napas panjang, Aruna lantas melanjutkan perkataannya. "Pola asuh merupakan cara orang tua dalam memperlakukan anak, baik secara komunikasi, pemberian batasan, dan ekspresi kasih sayang."
Aruna memberikan jeda sejenak, wanita itu menatap dosen pengujinya. Menelan air liurnya, Aruna kembali melanjutkan perkataannya.
"Menurut teori yang dikemukakan oleh Diana Baumrind, terdapat empat gaya pola asuh utama, yaitu otoritatif, otoriter, permisif, dan pengabaian," lanjut Aruna.
"Pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang cenderung seimbang. Orang tua memberikan batasan yang jelas, tetapi tetap terbuka terhadap diskusi dan mampu menunjukkan kehangatan. Anak yang dididik dengan pola asuh otoritatif cenderung tumbuh menjadi anak yang mandiri, percaya diri, dan mampu mengontrol emosinya dengan baik."
Aruna menjilat bibirnya yang kering. Wanita itu menarik napas panjang. Aruna memejamkan matanya, dia menggigit bibir bawahnya—wanita itu melupakan sedikit materi yang telah dia pelajari.
"Aruna? Silakan dilanjut!"
Mengangguk kaku, Aruna mengembuskan napas. Dia mencoba mengembalikan kembali kepercayaan dirinya yang sempat hilang.
"Berbanding terbalik dengan pola asuh otoriter yang cenderung tegas, tetapi sayangnya pola asuh ini kurang melibatkan komunikasi dua arah. Anak sering kali dituntut untuk patuh tanpa diberikan ruang untuk menyampaikan pendapat. Hal ini tentu bisa menyebabkan anak menjadi lebih tertutup atau justru agresif."
Aruna melirik sekilas salah satu dosennya. "Saya pernah mengamati dalam studi kasus yang diberikan di kelas. Seorang anak yang diasuh dengan pola otoriter menunjukkan kecemasan sosial yang tinggi dan sulit menjalin pertemanan. Hal ini sangat berbeda dengan anak yang dididik dengan pola asuh otoritatif, mereka cenderung lebih ekspresif, empatik, dan stabil secara emosi."
Pak Bayu—salah satu dosen penguji mencondongkan badannya. Dia tersenyum tipis sebelum akhirnya mengajukan sebuah pertanyaan.
"Lalu bagaimana dengan pola permisif, menurut kamu, Aruna? Kebanyakan orang tua jaman sekarang takut anaknya terluka secara mental, mereka cenderung membebaskan sang anak tanpa adanya batasan yang jelas," tanya Pak Bayu.
Aruna mengangguk. "Betul, Pak. Orang tua dengan pola asuh permisif sering kali membebaskan sang anak tanpa memberikan batasan yang cukup jelas. Namun sayangnya, anak jadi kesulitan memahami batasan sosial. Mereka cenderung tumbuh menjadi pribadi yang impulsif dan tidak disiplin. Tidak adanya aturan dan batasan yang jelas membuat mereka bingung dalam menghadapi konsekuensi dari tindakan yang mereka perbuat," jelas Aruna begitu yakin dan percaya diri.
Bu Dian tersenyum puas, wanita itu menepuk tangan—lalu mencatat di sebuah buku.
"Apa pandangan kamu mengenai peran Psikolog dalam membimbing keluarga dengan pola asuh yang tepat?" tanya Bu Dian.
"Menurut saya, peran Psikolog sendiri sangat krusial. Tidak semua orang tua memiliki kesadaran terhadap dampak pola asuh mereka pada anak. Melalui psikoedukasi, konseling keluarga, dan pendekatan yang empatik, Psikolog dapat membentuk pola interaksi yang lebih sehat antara orang tua dan anak," sahut Aruna.
Bu Dian saling pandang dengan dosen penguji yang lain, ketiganya mengangguk dengan senyuman puas.
"Cukup, Aruna. Kamu keren hari ini. Silakan keluar."
Aruna mengangguk, wanita itu berdiri. "Terima kasih, Bapak dan Ibu."
Pintu ruangan ujian terbuka, Salsa dan Karey langsung berdiri dan menghampiri sang sahabat—mereka menyambut Aruna dengan senyuman senang. Keduanya lantas memeluk Aruna dengan erat.
"Gila, Run. Lu yang ujian, tapi gue sama Karey yang jantungnya mau copot," adu Salsa dramatis.
Aruna tertawa, dia melepaskan pelukannya sahabat. Ketiganya kembali duduk di tempat semula. Aruna mengambil botol minumnya, lalu meminum airnya sampai tersisa setengah. Menghela napas lega, Aruna menggosok tangannya.
"Baru kali ini gue alergi dingin." Aruna masih mengusap tangannya, kali ini dia bisa bernapas lega. "Pake segala lupa materi."
Karey yang mendengar itu mendesah, raut wajahnya semakin panik. Jantung gadis itu berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya.
"Lu yang pinter aja lupa materi, apa lagi gue, Run?!" seru Karey dengan raut wajah panik.
Aruna mengusap punggung sahabatnya. "Tenang, Rey. Lu pasti bisa."
Karey menurut, wanita itu mengembuskan napas berulang kali. Sementara itu, Salsa justru dengan tenang memakan cokelat yang dia bawa. Karey yang melihat tingkah Salsa langsung mendengus, apa pun situasi dan kondisinya—makan tetap yang nomor satu bagi gadis dengan rambut sepinggang dan kacamata yang bertengger di hidungnya.
"Sal, minimal lu cemas gitu bukan malah makan cokelat," protes Karey.
Salsa langsung menatap Karey, dia tersenyum manis. "Karey cantik, ini dark chocolate dan dark chocolate ngebantu mengurangi kecemasan. Kandungan kakao di dark chocolate itu banyak dan mengandung flavonoid untuk mengurangi kecemasan. Jadi, gue makan cokelat untuk mengurangi kecemasan yang lagi gue rasain."
Aruna tertawa, wanita itu mengangguk. "Salsa bener. Mending minta cokelat dia deh biar cemas lu berkurang," sela wanita itu.
Karey mengulurkan tangannya, dia menyengir dengan wajah polosnya yang membuat Salsa mendengus. Namun, tetap memberikan cokelat yang ada di tasnya pada Karey.
"Perasaan kita ujian, kenapa kayak lagi lamaran rasanya," celetuk Karey asal.