Rangga pulang dari kantor tepat pukul 19.00 wib. Pria itu pulang satu jam lebih lama dari biasanya. Menghela napas panjang, pria itu melonggarkan dasi yang dia kenakan. Dengan gerakan santai Rangga membuka pintu mobil, dia keluar dengan wajah lelahnya. Tak lupa menutup pintu mobil, pria itu melangkah dengan wajah gusar.
Hari ini, ada kejadian yang menguras emosinya. Salah satu staff keuangan melakukan korupsi besar-besaran beruntung Rangga mengetahuinya lebih awal, setidaknya itu mampu mencegah kebangkrutan yang mungkin terjadi di masa depan.
Mengusap wajah kasar, Rangga membuka pintu rumah. Keningnya berkerut saat mendapati rumah dalam keadaan sepi, biasanya Aruna akan duduk di ruang bersantai sembari menonton televisi.
"Tuan sudah pulang?" Ani yang baru saja kembali dari kamar tamu melangkah mendekati majikannya.
"Runa ke mana, Mbak?" Rangga celingak-celinguk mencari keberadaan sang putri.
"Oh itu, Tuan, sejak pulang dari kampus, Nona Muda nggak ada keluar dari kamar."
Kening Rangga berkerut. Dia lantas mengangguk meskipun ada berbagai pertanyaan yang memenuhi kepala pria itu.
"Ya udah, biar nanti saya yang samperin Runa. Makasih, ya, Mbak. Tolong buatin makanan favorit dia, ya. Takutnya suasana hati dia lagi nggak baik."
Ani mengangguk patuh. "Baik, Tuan."
Di tempat berbeda, di dalam sebuah kamar berwarna biru. Seorang wanita berdiri di depan meja rias. Bajunya diangkat sebatas d**a. Aruna—wanita itu memandang ke arah cermin dengan tatapan yang sulit diartikan, dia terdiam beberapa saat di depan cermin. Perutnya sudah sedikit membuncit dan padat tanda bahwa dirinya benar-benar tengah mengandung benih Dewa.
Menarik napas, Aruna menundukkan kepala. Tangan kirinya mengelus perutnya dengan gerakan pelan. Ada perasaan tak menyangka dalam dirinya, di usianya yang masih sangat muda, dia justru akan menjadi calon ibu beberapa bulan ke depan.
"Apa aku gugurin aja?" Pertanyaan itu terbesit tiba-tiba.
Aruna kembali menatap cermin, tatapan sendunya mengarah ke perutnya. Memejamkan mata, Aruna menghela napas panjang kembali.
"Gue jahat banget, kalau sampe ngebunuh calon anak gue sendiri, 'kan? Dia nggak salah apa pun, ini murni kesalahan si b******n itu dan ... gue." Mata Aruna berkaca-kaca, dia menggigit bibir bawahnya cukup kuat.
"Tapi gue belum siap, gue belum siap papa tau ini dan gue belum siap jadi ibu. Gue nggak mau anak gue kena imbasnya sekali pun dia nggak gue inginin."
Aruna menutupi perutnya, tubuh wanita itu merosot ke lantai. Kepala Aruna tertunduk, menatap kosong lantai di bawahnya. Bahu Aruna bergetar, air mata wanita itu lolos setelah dia tahan sekuat tenaga. Suara isakan tangis Aruna terdengar menyayat hati.
"Ma, aku harus gimana? Aku bingung, Ma ...," lirih Aruna.
Napas Aruna memberat, dia memundurkan tubuhnya sampai punggungnya membentur meja rias. Aruna menelungkupkan wajahnya di antara lutut. Wanita itu menangis dalam dia berharap apa yang menimpa dirinya tak lebih dari sebuah mimpi.
Jendela kamar yang terbuka, menghantarkan udara malam yang menusuk kulit Aruna. Wanita itu masih diam tak berkutik, sementara napas Aruna tercekat di tenggorokan.
"Andai ... andai malam itu aku nggak ikut, semuanya pasti nggak kayak gini. Mau nyalahin papa juga percuma, 'kan? Ini murni kesalahan gue yang nggak bisa jaga diri."
Aruna mendongak, dia menghapus air matanya. Wanita itu lantas kembali menunduk, dia mengusap perutnya.
"Maaf, Mama lupa di sini ada kamu. Enggak seharusnya Mama terlalu stres karena bisa berdampak ke kamu."
***
Rangga duduk di pinggiran ranjang, di tangan pria itu terdapat foto mendiang istrinya yang tengah tersenyum manis ke arah kamera. Foto yang saat itu Rangga ambil saat mereka liburan ke Swiss untuk merayakan kehamilan Santi—mendiang istrinya.
Rangga menghela napas panjang, dia mengusap foto tersebut dengan lembut. Tatapan Rangga menerawang jauh, ada banyak hal yang pria itu simpan sendiri. Terkadang Rangga akan berbagi dengan bingkai foto mendiang sang istri. Rangga tahu dia tidak akan mendapatkan sebuah balasan, tetapi Rangga sangat yakin jika sang istri selalu ada di sampingnya dan di hatinya.
"Kamu tau? Aku ngerasa ada yang beda sama anak kita, Sayang. Sebulan belakangan ini, Aruna kayak nyimpen beban berat tak kasat mata di pundaknya. Dia lebih banyak diem dan ngelamun. Aku takut, Sayang, aku takut gagal jadi ayah yang baik untuk dia," lontar Rangga dengan suara serak, pria itu tengah berusaha menahan tangisnya.
Menghela napas, Rangga memaksakan sebuah senyuman. "Udah bertahun-tahun aku besarin anak kita sendirian, selama itu juga aku berusaha jadi ayah yang baik. Aruna tumbuh dengan baik, dia—dia persis kayak kamu. Caranya bicara, caranya berjalan, caranya berpikir, dan apa yang jadi kesukaan dia persis kamu. Aku kayak ngelihat kamu di anak kita, Sayang."
Menghapus air matanya, Rangga meletakkan bingkai foto sang istri di nakas. Dia mengatur napasnya, pria itu menutup wajah dengan kedua tangan. Beberapa hari ini, dia dibuat keheranan dengan kebiasaan Aruna—mulai dari Aruna yang tiba-tiba lebih pendiam, banyak melamun, suka dengan ikan, hingga Aruna yang tiba-tiba saja menyukai makanan manis. Rangga tahu betul sejak kecil Aruna tak pernah suka makanan manis, dia akan mual atau bahkan muntah.
"Dia persis ... persis kayak Santi waktu hamil, tapi nggak mungkin Aruna hamil, 'kan? Aku yakin Aruna bisa jaga diri dengan baik, Aruna ... Aruna bukan anak seperti itu," katanya gelisah.
***
Aruna melototkan mata marah, sedangkan di hadapannya Dewa tersenyum miring. Pria gila itu memanjat tembok untuk sampai ke balkon kamarnya dan menyusup masuk ke dalam kamar. Tanpa rasa bersalah sedikit pun, kini Dewa berdiri tepat di hadapan Aruna—di dalam kamar wanita itu yang nampak temaram karena lampu utama sengaja Aruna matikan.
Dewa masih berdiri tegap dengan senyuman miringnya, sedangkan Aruna—mata wanita itu menyipit, kedua tangan Aruna terkepal di si tubuhnya. Wanita itu berusaha menahan lonjakan emosi yang siap meledak karena ulah seseorang yang konon katanya mencintai Aruna sejak kecil.
"Lu!" Aruna menunjuk Dewa, napasnya tersengal karena tangki emosinya nyaris meluap dan tumpah. "Lu gila, b******n! Lu nyusup ke kamar gue dan lu pikir itu keren?" sambung Aruna mendesis.
Dewa mengangguk tanpa ragu, pria itu melangkah perlahan mendekati Aruna. Sementara Aruna mundur satu langkah setiap kali Dewa mendekat.
"Yes, aku tergila-gila sama kamu, Baby." Dewa menyeringai, tersenyum mengejek yang terlihat menyebalkan di mata Aruna.
"Apa salahnya aku masuk ke kamarmu, Baby? Sebentar lagi, ini akan jadi kamarku juga." Dewa mengedikkan bahunya acuh tak acuh.
Aruna mengembuskan napas keras. Wanita berbadan dua itu maju mendekati Dewa, dia memotong jarak pembatas di antara mereka. Kepala Aruna mendongak—menatap Dewa yang jauh lebih tinggi darinya. Tatapan tajam wanita itu begitu menusuk, tetapi Dewa tetap tenang meskipun deru napas Aruna terasa panas di lehernya.
"Gue salah apa sama lu, Kak? Lu buat hidup gue hancur dan lu seakan nggak ngerasa bersalah?" Aruna tertawa sumbang. "Hidup gue yang tadinya indah lu buat jadi nggak berwarna, lu rebut semua warna di hidup gue, lu kacauin semua mimpi gue. Lu masih belum puas?"
"Dan sekarang apa? Lu nyelinap masuk kamar gue, lu gila tau nggak, sih?!" teriak Aruna, d**a wanita itu naik turun, napas Aruna menggebu.
Bukannya merasa bersalah, Dewa justru tersenyum manis dan tenang. Tangan pria itu terangkat membelai wajah Aruna. Tatapan tajam dan penuh kebencian itu seakan sedikit pun tak membuat Dewa gentar.
"Baby berhenti marah-marah, aku nggak mau nanti ana aku denger ibunya marah-marah. Kamu pasti tau 'kan marah-marah nggak baik untuk janin," sela Dewa dengan tenang.
Aruna menepis kasar tangan Dewa dari wajahnya. Dia menunjuk Dewa dengan tatapan berkobar, amarahnya semakin dipantik dengan sikap Dewa yang membuat Aruna muak, tetapi pria itu justru bersikap.
"Baj—"
Belum sempat Aruna menyelesaikan ucapannya, Dewa lebih dulu mendorong tubuh mungil Aruna hingga terjatuh ke ranjang. Pria itu langsung mengukung Aruna sebelum dia sempat melarikan diri. Tatapan hangat Dewa berubah menjadi tatapan dingin, wajah pria berubah datar. Kedua tangan Dewa berada di sisi kepala Aruna, terkepal dengan kuat.
"Berhenti mengumpat, Baby Girl. Aku sangat tidak suka mendengarnya dan aku tidak mau anak kita mendengarnya. Kamu paham, Baby?" bisik Dewa dengan suara serak.
"Lepas, Sialan! b******n! Minggir ...!" teriak Aruna berusaha mendorong badan Dewa.
"Sepertinya aku perlu menghukum dirimu, Baby. Bagaimana jika malam panjang kedua?"
Wajah Aruna berubah panik, wanita itu menggeleng cepat. Sementara Dewa menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Aruna, menghirup dalam-dalam aroma tubuh yang membuat dirinya candu.
"Jangan lagi ... gue mohon ...."
Tanpa mereka sadari, gagang pintu diputar dari luar. Suara decitan pintu berhasil menarik kembali kesadaran Aruna, belum sempat wanita itu mendorong tubuh Dewa—pintu kamar telah lebih dulu terbuka. Di ambang pintu Rangga berdiri dengan wajah tegang dan mata melotot tajam.
"Sialan!"