Seorang pria duduk tenang di ruang tamu dengan desain interior mewah dan elegan. Di hadapannya secangkir kopi dan sepiring camilan tersaji di atas meja kecil. Di samping pria itu, seorang pria paruh baya duduk dengan gaya khas seorang ayah yang memiliki saldo tak terbatas.
Pria itu tersenyum, berulang kali dia melihat ke arah pintu masuk—dia seolah tengah menanti seseorang datang. Gerak-geriknya yang begitu halus membuat pria paruh baya yang duduk di single sofa tak merasa curiga sedikit pun.
"Nak Dewa tumben ke sini, ada perlu apa?" Rangga membuka pembicaraan, pria paruh baya itu memandang heran anak sahabatnya.
"Enggak papa kok, Om. Waktu pesta pernikahan ayah dan bunda, aku ngeliat Om di sana. Mau nyapa, tapi aku keburu dipanggil sama salah satu tamu." Dewa tersenyum tipis, dia sengaja memberikan jeda pada ucapannya. "Om apa kabar?" lanjutnya basa-basi.
Rangga mengangguk mengerti, pria itu tersenyum manis. Dia memperbaiki posisi duduknya. Seingatnya, dia sudah lama tidak bertemu dengan Dewa mengingat pria berusia 28 tahun itu sibuk di Singapura untuk mengurus bisnis Reno.
"Om baik kok, kamu sendiri gimana? Lama banget Om nggak lihat kamu." Rangga terdiam sejenak, dia berpikir. "Sekitar tiga tahun kita nggak ketemu?"
Dewa mengangguk. Pria itu meraih cangkir berisi kopi miliknya, lalu menyeruputnya. Dengan tenang, Dewa meletakkan kembali cangkir tersebut.
"Bener, Om. Makanya aku ke sini," sahut Dewa berbohong.
Nyatanya kehadiran Dewa di kediaman Atmaja adalah untuk menemui Aruna seperti saran yang diberikan Rian siang tadi. Namun, hingga kini Dewa belum juga menemukan keberadaan Aruna.
Berdeham pelan, kepala Dewa bergerak ke sana dan ke mari mencari keberadaan Aruna. Lelah karena tak menemukan juga, Dewa memilih bertanya seolah basa-basi.
"Oh ya, Om, anak gadis Om mana? Gimana kabarnya? Dulu sering banget main sama aku, ya," celetuk Dewa.
"Belum pulang, Nak. Mungkin sebentar lagi, tadi Aruna ngabarin Om, katanya bakal pulang telat."
"Oh—"
Belum sempat Dewa menyelesaikan ucapannya, derap langkah kaki membuat ucapan pria itu terhenti. Baik dirinya maupun Rangga langsung melihat ke arah sumber suara.
"Nah, ini anaknya pulang," seloroh Rangga dengan senyuman lebar.
Langkah kaki Aruna terhenti, tubuhnya seketika kaku mendapati keberadaan pria yang telah membuat hidupnya hancur. Kaki Aruna melemas, sekuat tenaga dia berusaha untuk berdiri tegap. Aruna menahan napasnya, senyuman miring Dewa berhasil membuat bulu kuduk Aruna berdiri. Perlahan, tangan wanita itu terkepal—napas Aruna mulai terasa berat. Dia masih berdiri di tempatnya membuat Rangga memandang heran sang putri.
"Sayang kenapa berdiri doang di sana? Sini masuk!" titah Rangga dengan lembut.
Mengerjap cepat, kesadaran Aruna kembali. Wanita itu tersenyum kaku, dia melangkah pelan menghampiri dua orang berbeda usia itu. Dengan kaku, Aruna mendudukkan diri hadapan Dewa, tetapi sedikit pun pandangan wanita itu tak mengarah ke Dewa. Aruna benar-benar enggan menatap pria yang telah merenggut segalanya dari dirinya.
"Sayang, kenalin ini Dewa. Dia anaknya om Reno dan tante Sari. Dulu kalian sering banget main bareng, kamu dulu lengket banget sama Dewa," sosor Rangga.
Aruna sama sekali tak mendengar apa yang dikatakan sang ayah. Wanita itu sibuk menahan diri untuk tidak menampar dan memaki Dewa di hadapan Rangga. Tangan wanita itu bahkan meremas kuat tali tas yang dia kenakan, tatapan Aruna bahkan begitu tajam dan dingin, berbanding terbalik dengan tatapan lembut Dewa pada Aruna.
"Hahaha ... kayaknya Aruna lupa deh, Om. Itu udah lama banget dan Aruna masih kecil banget. Iya 'kan, Aruna?" sanggah Dewa dengan senyuman manis.
Aruna tersentak kecil, wanita itu terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk dengan begitu pelan. Tatapan lekat dan intens Dewa membuat Aruna bergerak tak nyaman di tempatnya duduk. Jari-jari wanita itu bertaut—saling meremas.
"Maaf ya, Nak Dewa. Aruna sekarang pendiem banget, beda sama dulu." Rangga tersenyum sendu. "Ya, semenjak mamanya meninggal, dia jadi lebih pendiem," lanjut Rangga.
"Nggak masalah, Om. Aku ngerti kok, pasti Aruna juga trauma."
Aruna mencibir mendengar ucapan bernada lembut penuh pengertian itu. Wanita itu melirik sinis Dewa, dia seakan tahu jika pria di hadapannya tengah melakukan pencitraan.
"Papa mau ke kamar dulu, kamu temenin Dewa dulu, ya, Sayang. Nanti Papa balik lagi." Rangga berdiri, lantas pergi sebelum Aruna memberikan tanggapan.
Selepas kepergian Rangga, Dewa tersenyum miring. Pria itu berpindah duduk di samping Aruna, sedangkan wanita itu melirik sinis Dewa seraya menjauhi pria itu. Tingkah Aruna berhasil membuat senyuman miring Dewa semakin lebar, rasanya baru kali ini dia dijauhi oleh seorang wanita.
"Hello, Baby Girl," bisik Dewa dengan nada rendah.
Aruna menoleh, matanya menyorot tajam—penuh amarah dan kebencian. "Can you stop call me Baby girl? I'm not your Baby Girl!" ucap Aruna penuh penekanan.
Dewa terkekeh, dia menarik pinggang Aruna untuk lebih dekat. Sontak hal tersebut membuat Aruna melotot, wanita itu dengan cepat berdiri, dia menatap Dewa dengan begitu tajam.
"Kurang ajar! Lu bener-bener kurang ajar! Sialan!" maki Aruna.
Dewa terkekeh, pria itu meraih tangan Aruna. Namun, Aruna lebih dulu menghempaskan tangan Dewa.
"Baby, kenapa kamu selalu marah setiap ketemu aku, hm? Padahal aku cariin kamu keliling kampus kamu karena aku kangen."
Ucapan bernada lembut dan tatapan hangat itu tak sedikit pun mampu meluluhkan hati Aruna. Berdecih, Aruna memandang penuh benci kehadapan Dewa. Sungguh, Aruna membenci Dewa sampai ke tulang-tulang! Pria gila yang benar-benar menghancurkan hidupnya dan Aruna tidak akan memaafkan Dewa semudah itu.
"Gue gila, kalau gue tetep bersikap baik sama lu setelah apa yang lu lakuin ke gue!" hardik Aruna.
Dewa dengan cepat berdiri. Kini keduanya berhadapan dengan jarak yang cukup dekat. Jika Dewa memandang Aruna dengan hangat, penuh cinta, dan kekaguman, maka Aruna memandang Dewa sebaliknya.
"Baby, aku hanya mengambil yang menjadi milikku saja. Apa salahnya?" ucap Dewa dengan begitu enteng.
Aruna menyisir rambutnya, wanita itu menggelengkan kepala cepat. Dewa benar-benar tak mengerti maksudnya, pria itu benar-benar tak menangkap maksud Aruna sejak tadi.
"Stop! Gue bukan milik lu dan badan gue juga bukan punya lu. Gue bukan cewek murahan yang mungkin sering lu tidurin itu, gue bukan mereka!" tegas Aruna, intonasi wanita itu penuh penekanan.
Dewa mencoba mendekat, tetapi Aruna telah lebih dulu berjalan mundur. Mengangkat tangan, Aruna memberikan kode pada Dewa untuk berhenti mendekat dan untuk kali ini, Dewa benar-benar menurut.
"Kamu milik aku, Baby. Kamu ditakdirkan untuk aku! Ayolah, c'mon! Aku udah nunggu kamu cukup lama," mohon Dewa, raut wajah pria itu memelas berharap Aruna merasa iba.
"Persetan sama alasan lu, sedikit pun gue nggak peduli!" tangkas Aruna.
"Kalian berantem?"
Keduanya sontak menoleh bersamaan. Dewa langsung memasang wajah ramah dan hangatnya, sedangkan Aruna memutar malas bola matanya.
"Hah? Enggak, Om. Ini Aruna nanyain kenangan masa kecil kita, dia nggak percaya," sahut Dewa diiringi tawa palsu.
Rangga mengangguk saja, dia benar-benar percaya dengan apa yang dikatakan oleh Dewa.
"Nak Dewa makan malam di sini aja, gimana? Bentar lagi jam makan malam, supaya sekalian," ajak Rangga yang membuat Aruna membulatkan mata.
"Papa nggak salah?!" seloroh Aruna tak terima.
Rangga menaikkan sebelah alisnya, dengan polosnya pria paruh baya itu menggeleng. Menurutnya tak ada yang salah dari ucapannya.
"Kan cuman makan malam bareng, Sayang. Apa yang salah? Kecuali Papa jodohin kamu sama Dewa, mungkin itu bisa dibilang salah."
Aruna mendesah pasrah, dia memilih mengalah daripada nantinya Rangga curiga. Menatap sang ayah dengan tatapan lelah, Aruna langsung berjalan meninggalkan keduanya.
"Aku mau ke kamar, ada tugas. Nanti suruh aja bibi anterin makan malam ke kamar aku," ucapnya tanpa menoleh.
Rangga tersenyum, dia memandang tak enak ke arah Dewa yang memperhatikan punggung Aruna dengan cukup lekat. Melangkah mendekati Dewa, Rangga menepuk bahu anak sahabatnya itu.
"Maafin Aruna, ya, Nak Dewa. Dia emang gitu, kalau udah berurusan sama tugas," kata Rangga meminta pengertian.
Tanpa protes Dewa mengangguk dengan senang hati, walaupun pria itu tahu Aruna sengaja menghindari dirinya. Namun, Dewa akan membiarkan wanitanya itu untuk menghindar sementara waktu. Nanti, nanti akan ada masanya Aruna tidak akan bisa menghindar apalagi pergi dari hidupnya. Membayangkannya saja sudah mampu membuat Dewa menerbitkan senyuman manis dengan perasaan berbunga-bunga.
"Santai aja, Om. Namanya juga anak kuliahan, kalau udah urusan tugas emang kayak gitu. Itu masih untung Aruna inget makan," tutur Dewa dengan manisnya.
Rangga mengangguk setuju. "Pengertian banget kamu, rasanya pengen Om jadiin menantu," candanya.