Bab 5. Dewa's Obsession

1316 Words
Fajar belum sempurna menyapa, tetapi gelombang mual dari dalam berhasil membangunkan Aruna dari tidur nyenyaknya. Wanita itu langsung berlari ke kamar mandi, suara air mengiringi helaan napas lelah Aruna. Wanita itu menatap bayangannya di cermin, wajahnya pucat dan tatapan wanita itu begitu sayu. Aruna memejamkan mata, wanita itu mengatur napasnya. Perutnya masih bergejolak, tetapi yang keluar adalah cairan bening. Tangan Aruna bertumpu pada wastafel, dia menundukkan kepala, lalu mengembuskan napas perlahan. "Relax, Runa. Tenang, relax. Ini cuman masuk angin aja, tenang," ucap wanita itu dengan bibir bergetar. Tubuh Aruna luruh ke lantai, kepala wanita itu menunduk—menatap perut ratanya dengan tatapan kosong. Roh Aruna seakan melayang saat dirinya tiba-tiba saja mengalami mual tepat di jam 05.30 wib, hal yang bahkan tak pernah Aruna alami. "Enggak mungkin, 'kan?" batin wanita itu gamang. Aruna mengatur napasnya. Perlahan, dia berdiri sembari berpegangan pada wastafel. Wanita itu kembali menatap dirinya di cermin, wajahnya begitu pucat, kerutan di kening Aruna menjelaskan seramai apa pikirannya pagi ini padahal hari belum dimulai seratus persen, tetapi rasanya dirinya seperti dikejar oleh ribuan zombie. Jantung Aruna berdetak cepat, kepala wanita itu berdenyut nyeri. Tangan Aruna turun ke perut, dia memegang perutnya. Wanita itu tak memberikan reaksi apa pun, selain melamun. Dia tetap berdiri dengan tatapan kosong yang tersirat kekhawatiran yang begitu dalam. "Semua akan baik-baik aja, Aruna," bisik Aruna pada dirinya sendiri. Aruna berjalan keluar kamar mandi dengan tertatih, tubuh wanita itu rasanya lemah. Dia berjalan ke arah meja rias, membuka laci, lantas mengambil minyak kayu putih. Aruna mengoleskan minyak tersebut di d**a dan tengkuknya. Dia berharap mualnya segera reda. Saat menaruh minyak kayu putih, pandangan Aruna tanpa sengaja melihat kalender yang ada di nakas. Wanita itu terdiam sejenak, wajahnya semakin pucat, kakinya melemas bagaikan jeli. Aruna menahan napas, dia membekap mulutnya. Wanita itu baru sadar bahwa dirinya telah telat dua minggu. "Harusnya aku udah haid ... kenapa belum?" Kepala Aruna menggeleng cepat, wanita itu menyangkal pemikiran buruknya. "Mungkin karena belakangan ini aku stress," lanjut wanita itu skeptis. Menghela napas, Aruna berusaha menenangkan dirinya. Wanita itu berjalan ke tempat tidur, lantas mendudukkan dirinya di kasur. Segala kemungkinan menghantui pikiran Aruna. Rasa takut, cemas, dan kekhawatiran menjadi satu mampu membuat Aruna bergerak gelisah dan tidak nyaman. "Gimana ... gimana, kalau aku beneran hamil?" ucap Aruna gugup, pandangan wanita itu begitu kosong, keringat dingin membasahi dahinya—rasanya, Aruna terjebak dalam ruang sempit tanpa udara, menyesakkan. Pukul 07.00 wib, Aruna menuruni tangga dengan perlahan. Penampilan Aruna begitu santai dan sederhana, hanya menggunakan jumpsuit berwarna cokelat dengan ikat pinggang kecil bernada cokelat tua, lantas angkle boots berwarna putih tidak lupa dengan shoulder bag yang dia kenakan. Di meja makan, Rangga duduk tenang dengan sebuah koran di tangannya. Aroma kopi favorit pria itu menyapa indera pendengaran. Pria itu terlalu fokus pada korannya sampai Rangga tak sadar jika sekarang putrinya berada di belakangnya. Sebelum duduk, Aruna mengatur napasnya. Dia berusaha bersikap normal setelah apa yang terjadi pagi ini. "Pagi, Pa," sapa Aruna seraya menarik kursi dan duduk di samping Rangga. Pria itu menurunkan korannya sedikit, dia tersenyum manis. "Pagi juga, Sayang. Kamu langsung sarapan, ya. Bibi masak nasi goreng favorit kamu," balas pria itu hangat. Aruna mengangguk. Wanita itu langsung membalikkan piring dan menuangkan nasi goreng ke piringnya. Tanpa dia sadari, Rangga memperhatikan dirinya dengan begitu lekat. "Kamu habis nangis, Nak?" tanya Rangga setelah dia meletakkan dan melipat korannya. Aruna tersentak kecil, wanita itu seketika linglung. Dia gelagapan, bingung harus menjawab seperti apa. "Ah ... itu, kemarin nonton drama korea, Pa. Biasa." Aruna tertawa sumbang. "Bukan karena kamu ada masalah, 'kan?" *** Ruang kelas Psikologi pagi ini begitu tenang. Suara derap langkah kaki dari koridor membuat sebagian mahasiswa mengeluarkan alat belajarnya. Aruna yang duduk di barisan ketiga, langsung membuka bindernya dan mengambil bolpoin. Selang lima menit, seorang dosen paruh baya itu tersenyum manis menyapa mahasiswanya. Dia berjalan ke arah meja dosen dan meletakkan laptopnya di atas meja sebelum akhirnya memandang seluruh mahasiswa dan mahasiswi di kelasnya. "Selamat pagi, anak-anak. Gimana kabar kalian pagi ini?" "Baik, Bu," jawab mereka serempak. Bu Nita tersenyum puas. Dia membuka laptopnya dan mencari berkas materi, layar proyektor sudah menyala. Bu Nita meraih spidol, lantas memukul papan sebanyak tiga kali. "Hari ini, kita akan membahas tahapan perkembangan Erikson secara mendalam. Sesuai yang saya perintahkan Minggu lalu, saya meminta kalian membaca dan mempelajari sendiri pendahuluannya." Sebagian mahasiswa mengangguk, sedangkan sebagian lagi nampak mengangguk. Aruna memposisikan dirinya dengan nyaman. Wanita itu fokus menatap ke depan. Bu Nita mulai menjelaskan dengan bantuan slide, dosen paruh baya itu menjelaskan dengan detail pun dengan bahasa yang mudah dipahami. Diagram delapan tahan perkembangan Erikson terpampang jelas, dari trust vs mistrust hingga integrity vs despair. "Nah, sebagai remaja menuju dewasa awal, kalian sedang berada di tahap identity vs role confusion. Artinya, kalian sedang mencari tahu siapa diri kalian sebenarnya. Coba kalian pikirkan! Apa peran kalian saat ini? Apa kalian nyaman menjalaninya?" Suasana hening beberapa saat. Bu Anita berjalan ke tengah kelas, dia menatap Karey dengan senyuman manis. "Karey, mungkin bisa menjawab?" Gadis itu mengangguk cepat. "Jujur sih, ya, Bu. Saya ngerasa cocok sebagai akademisi, tapi kadang saya juga ngerasa tertarik ke dunia sosial. Semacam kerja lapangan atau advokasi?" jawabnya jujur. "Bagus, jarang anak umur dua puluhan bisa paham tentang dirinya dan kamu keren udah bisa paham tentang diri kamu dan itu bagian dari proses identifikasi peran. Terus belajar dan eksplorasi, jangan takut gagal dan salah." Bu Nita kembali berjalan ke depan kelas. "Ada dari kalian yang merasa sedang mengalami role confusion?" Abi mengangkat tangan. "Saya, Bu! Kadang saya bingung kenapa bisa ikut-ikutan temen ambil jurusan ini. Eh lama-lama jadi suka, ya walau lama-lama juga makin bingung," akunya malu-malu. "Itu hal yang manusiawi, kok." Bu Nita tersenyum. "Kebingungan itu kayak awal dari jalan ke pemahaman dan kesadaran itu awal dari pembentukan identitas yang otentik." Diskusi terus berlanjut. Mereka membahas bagaimana krisis di masa anak-anak mempengaruhi masa dewasa, tentang individu yang terjebak dalam inferiority complex, hingga bagaimana konflik batin mempengaruhi pengambilan keputusan. "Baik, kelas hari ini sudah berakhir. Saya ada satu tugas untuk kalian," ucap Bu Nita yang disambut desahan lelah para mahasiswa. “Tuliskan esai pendek, maksimal dua halaman. Ceritakan tahap perkembangan Erikson yang menurut kalian paling relevan dengan kondisi kalian saat ini. Gunakan bahasa reflektif, bukan hanya definisi teoritis. Deadline minggu depan, jam kuliah pertama. Kalian bisa kirim lewat sistem e-learning.” *** "Lu gila, Dewa!" Rian mengacak rambutnya frustrasi, tak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya. Sementara itu, Dewa hanya tersenyum. Benar, dia gila—dia tergila-gila dengan Aruna sejak wanita itu kecil. Dewa menahan nafsu dan hasratnya selama bertahun-tahun, sekarang adalah waktunya. Dewa tak akan membiarkan Aruna lepas ataupun jatuh ke tangan orang lain. Dewa akan pastikan Aruna hanya miliknya, apa pun jalannya. "Aruna bukannya cinta malah benci sama lu!" umpat Rian seraya mendudukkan diri di sofa. Dewa mendongak, pria itu menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa harus benci? Gue cuman ngejaga apa yang jadi punya gue dan nggak seharusnya Runa benci gue, 'kan?" balasnya. Rian memijat pangkal hidungnya. Dia sama sekali tak menduga Dewa akan melakukan hal senekat ini. Menaruh kamera tersembunyi di kamar Aruna, entah bagaimana caranya Dewa melakukan itu. Namun, yang pasti Rian tak habis pikir dengan cara kerja sahabatnya itu. "Lu ngelanggar privasi Aruna, Wa. Kenapa lu naruh kamera tersembunyi di kamar dia?" "Privasi?" ulang Dewa dengan nada arogan. "Gue bahkan udah ngelihat semuanya, dari ujung rambut sampai kaki. Dia indah, Yan. Kalau ada kalimat lain yang mendeskripsikan kesempurnaan Aruna, itu akan gue pake buat menggambarkan Aruna." Rian berdecak, pria itu menghela napas. Rasanya percuma menasehati Dewa, pria itu bahkan tak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Tindakan impulsif Dewa bahkan lebih parah dari tindakan remaja puber, Rian sampai sakit kepala melihat tingkah seorang Dewangga Mahardika. "Stress! Gue heran, kenapa Aruna bisa ketemu manusia stres kayak lu, sial banget hidupnya," tangkas Rian. "Nggak, Aruna justru beruntung ketemu gue karena gue nggak akan biarin Baby Girl gue dalam penderitaan." "Masalahnya, lu yang bikin dia menderita!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD