#27

1051 Words
"Aku akan kesana sekarang!" kata Daniel. "Okay..." jawab Monic. Suara Monic terdengar lemah dari telepon seberang. Gadis itu memang sudah letih dan lemah karena muntah-muntah terus sejak pagi. Daniel yang saat itu sedang duduk di meja makan bersama dengan keluarga tiba-tiba beranjak dari duduknya. Hal itu tertangkap mata oleh Icha yang sedang menyajikan makanan bersama dengan Dinandra. "Loh! Eh... mau kemana kamu Dan?" tegur Icha saat itu juga. Daniel menoleh. "Mendadak ada urusan penting, Ma... Pa... Daniel pergi dulu..." "Eh terus kamu enggak makan siang dulu kek gitu... astaga..." bingung Icha. "Enggak... nanti aku beli makan diluar aja, udah nggak sempet ini..." jawab Daniel. Dinandra hanya geleng-geleng kepala dibuatnya. "Ya sudah, hati-hati di jalan..." "Iya, Ma..." Setelah berpamitan Daniel pun pergi ke rumah Monic. Tidak lupa ia mampir membeli bubur ayam dan juga cemilan-cemilan untuknya dan juga Monic. Sementara itu di rumah Icha, Pram, Icha, dan Dinandra sudah siap untuk makan siang. Pram memimpin doa sebelum makan diikuti oleh Dinandra dan Icha. Setelah doa selesai mereka pun mulai menyendok nasi berserta kawan-kawannya yang begitu menggugah selera. Kangkung saus tiram buatan Dinandra langsung cocok dengan lidah Icha. Kangkung adalah salah satu lauk favorit Icha. "Ikan bakarnya enak loh, Pa... Pak Narto emang ter-best kalo soal bakar ikan..." puji Icha. Pak Narto yang saat itu muncul dari arah dapur pun tersenyum-senyum. "Tuan... Nya... ini ikan bakarnya ada lagi..." "Pak Narto udah cukup kok ikannya, sekarang Pak Narto makan dulu sama Bik Yati..." ujar Pram. "Oh iya, Tuan... gampang itu mah... saya ke belakang dulu, mau makan..." jawab Pak Narto kemudian berlalu. *** Daniel di rumah monic. Daniel menekan bel penthouse milik Monic, dua menit kemudian pintu itu terbuka dan Daniel dapat melihat sosok Monic yang muncul dari balik pintu. Gadis itu tampak kacau, wajahnya pucat dengan rambut yang acak-acakan. "Hey, kamu baik-baik aja?" tanya Daniel dengan nada khawatir. "Maaf lama... aku habis dari toilet dulu..." kata Monic, gadis itu tidak menjawab pertanyaan Daniel. Daniel mengekori Monic hingga sampai ke meja makan, dan meletakkan tas kresek di atas meja. Monic menatap tas kresek yang dibawa Daniel. Bau harum yang menggugah selera menguar dari dalam tas kresek itu. "Kamu bawa apaan?" tanya Monic. "Aku bawain kamu bubur ayam, masih hangat, aku nggak tau kamu sukanya apa... jadi aku asal beli aja di tempat biasa aku beli juga... oh aku beli kentang goreng juga." jawab Daniel sembari mengeluarkan kotak makanan dari dalam tas kresek itu. Monic melirik kotak makanan itu, dan Daniel pun dengan sigap menyodorkan salah satu kotak yang sudah ia keluarkan. Bubur ayam hangat, dengan tambahan kuah kaldu yang gurih, toping ayam suwir, kacang goreng, dan juga bawang goreng berhasil membuat Monic menelan ludah. "Dimakan Mon..." Daniel mempersilahkan. "Ah beneran nggak apa-apa nih?" tanya Monic lagi, yang dijawab Daniel dengan anggukan meyakinkan. Dengan segera Monic melahap bubur ayam itu, baru tiga sendok dan gadis itu pun mengacungkan jempolnya pada Daniel, mengundang senyum penuh ketulusan dari pria muda itu. Daniel mengambil selembar tissue lalu membersihkan sudut bibir Monic, gadis itu terlihat salah tingkah ketika Daniel melakukannya. "Terima kasih... eh kamu enggak makan?" tanya Monic kemudian. "Makan kok, ini punya aku... cuma lagi mastiin aja kalau kamu bisa memakan makanan itu," jawab Daniel lalu melahap sesendok bubur ayam. "Yang bener aja, masa enggak bisa... kan aku manusia, udah pasti bisa lah..." tukas Monic lalu melanjutkan makannya. Daniel memperhatikan sosok Monic saat ini, ia sungguh berbeda dengan Monic yang ia temui pada hari kemarin. Monic yang mengajaknya untuk bersekutu melawan Icha yang kini berubah status menjadi adik tirinya. Daniel jadi berpikir dan menimbang. 'Sehebat itukah pesona Victory Liandra... dia berhasil membuat gadis sepatuh Monic menjadi gadis yang begitu terobsesi kepada dirinya,' gumam Daniel dalam hati. Ingin rasanya Daniel mengorek informasi lebih lanjut tentang Victory dari gadis ini, namun ia mengurungkan niatnya itu. Daniel menghabiskan sekotak bubur ayam itu dengan waktu yang lumayan singkat, kemudian ia kembali memperhatikan Monic yang sedang menghabiskan makanannya. "Pelan-pelan aja makannya, nanti tersedak," Daniel mengingatkan. Setelah selesai makan, kedua darah muda itu pun pergi menuju ke sofa, tempat ternyaman untuk mengobrol secara leluasa. "Jadi bagaimana? Apa kamu sudah melakukan tes kehamilan?" tanya Daniel setelah mereka duduk berhadapan di atas sofa ruang tengah. "Uhuk...uhuk...." Pertanyaan Daniel sontak membuat Monic terbatuk tanpa sebab. Daniel bergegas ke dapur dan mengambilkan air untuk Monic. Melihat kesigapan Daniel hati Monic melunak. Pria sebaik itu yang sudah ia jahati dengan berita skandal yang merupakan karangannya semata. Monic merasa sudah menjadi gadis paling kejam. Bahkan pria muda itu kini berstatus sebagai calon ayah dari anak yang ada di dalam perutnya. Satu menit kemudian Daniel datang dengan membawa air putih. Monic menerimanya lalu meneguknya begitu saja. Daniel menepuk-nepuk punggung Monic lalu kembali duduk di atas sofa. Monic menghembuskan napas beratnya, ia menunjukkan alat tes kehamilan yang berjumlah lima buah, semuanya memiliki hasil yang sama. "Kamu bahkan ngetes sampai lima kali...." ujar Daniel. Monic menjawabnya dengan anggukan kecil. Tatapannya kosong ke arah lautan hiruk pikuk ibu kota yang dapat dilihat dari ruangan santainya ini. "Aku akan mengugurkan kandungan ini...." ucap gadis itu. Daniel terperanjat. "Kenapa? Karena Victory?" amarah mulai memancar dari mata Daniel. Monic tidak menjawabnya, gadis itu bungkam. "Jika diam berarti dugaanku sudah benar, apa kamu setega itu? Membunuh anakmu demi mengejar cowok itu? Dia tidak mencintaimu!" ujar Daniel. Monic masih tetap bungkam. Ia masih kekeuh dan tidak menjawab semua pertanyaan Daniel. "Melihat sikapmu yang seperti ini sudah membuat aku jadi ragu... awalnya aku berpikir kamu menjadi nekat karena obsesimu pada Vic, aku masih meyakini kamu adalah gadis baik dan terhormat, namun sepertinya aku salah..." Daniel mengusap dahinya. "Pagi itu aku melihat noda darah di ranjang, aku pikir kau masih seorang perawan. Namun... kata-katamu hari ini sudah membuatku meragukanmu... jelas ini bukan sikap seorang perawan. Dan... apakah itu anakku? Atau anak pria lainnya? Aku sudah tak peduli lagi... jangan meneleponku lagi hanya untuk memberitahu kau akan melakukan aborsi." lanjut Daniel Segera setelah Daniel mengeluarkan uneg-unegnya itu ia pun langsung beranjak meninggalkan Monic. Di depan pintu Daniel berhenti dan kembali menoleh. Monic masih dengan tatapan kosongnya disana. "Aku datang untuk bertanggung jawab, tapi sepertinya itu tidak mungkin lagi. Lakukan sesukamu," ucap pria muda itu lalu menutup pintu dari luar. Daniel meninggalkan Monic yang mematung disana. Sepanjang perjalanan pulang hati Daniel begitu kacau. Ia juga bingung, ia sama sekali tidak punya perasaan pada Monic tapi kenapa ia bisa merasa sangat sakit hati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD