PANGGIL AKU SHIVA 1
Hari ini di kerajaanku masih seperti sebelumnya. Siulan burung dari alam manusia masih kami dengar.
Gemericik air, siuran angin dan cahaya matahari masih menyinari. Juga masih terlihat bibir-bibir dower dan tanduk dari bunian-bunian jenis laki-laki.
Di sini masih terlihat sama jeleknya. Ada yang lubang hidung nya besar, ada telinga nya besar, ada yang matanya besar, ada dagu nya besar, ada perutnya besar, ada juga yang anunya besar, maksud ku kepalanya. Macam-macam lah bentuk nya. Kadang ada yang hampir sama dengan film yang kalian tonton.
Aku heran sih, kenapa Sibunian laki-laki itu jelek-jelek semua. Ini contoh nya yang selisih jalan dengan ku ini, jika di adakan pertandingan bibir dower sedunia. Dia pasti menang. Bibir nya aja sampai menutupi separuh dagunya. kelihatan tuh giginya gak di rawat. kuning semua. Di alam kami juga berlaku perawatan diri.
Cuma yang perlu kalian tau, bahwa kami para wanita disini, di bangsaku cantik-cantik. Jauh melebihi kaum manusia pada umumnya. Apalagi aku, Bunian wanita tercantik pastinya. Aku bukan kepedean, tapi fakta loh.
Namaku Shivana Adriani, aku di panggil Vana oleh orang tuaku. Tapi aku lebih suka di panggil Shiva.
Umurku masih muda, sekitar seratus lima puluh tahun. Umur segitu masih remaja bagi kaum kami. Jauh beda dengan kaum manusia. Manusia itu sangat rentan, setidaknya begitu menurutku.
Aku adalah Bunian tercantik di kerajaan ini.
Kalian gak percaya, bayangkan aja. Rambutku panjang sepinggul, warna hitam kekuningan, gak di cat seperti manusia ya,sory deh jika main cat, ini rambut asli loh. Jidat ku gak lebar juga gak kecil, pas dengan wajah ku yang semi oval. Alis mata ku rapi bak semut beriring. Mataku bersinar bening seperti telaga yang jernih, ada juga yang bilang bak bintang,(apa mataku bersinar kali ya). Hidungku mancung, bibirku bagai seulas jeruk, basah dan merah delima. Pipiku seperti memerah tanpa hiasan pemerah. Body ku jangan di tanya, bohay dan nyegerin mata lelaki lah.
Aku suka sekali memakai pakaian putih. Di alam kami jangan di kira gak pakai pakaian. Ada baju,celana,sarung, mirip alam manusia juga. Beda nya, benang nya benang ghaib. Kalau pakai benang dari kapas kami kelihatan dong.
Tahu kenapa aku suka di panggil Shiva. Karena itu sangat gaul menurutku. Wajar dong, aku Sibunian yang di idolakan oleh Sibunian laki-laki di kerajaanku, ya meskipun aku gak suka sama mereka,wajar dong. Wajah mereka aneh-aneh semua. Entah kenapa selera ku tinggi banget.
Padahal memang sudah begitu takdirnya, yang perempuan cantik, yang laki-laki jelek. Tapi perempuan yang nekad nikah, terlihat bahagia kok. Aku aja yang belum merasa cocok kali ya.
Pagi ini aku jalan-jalan di sekeliling kota raja. Oh ya, nama kerajaanku Kobundokok. Aku cerita sedikit ne tentang kerajaanku.
Kerajaanku kawasan nya cukup luas. di bukit Ntionai ini, kerajaan kami lah yang berkuasa.
Kota raja ini jika dilihat dari alam tiga dimensi atau alam manusia. hanya terlihat seperti lembah biasa. Bagi warga kampung siri(kampung manusia). Lembah ini adalah lembah keramat. Jarang manusia yang berani datang ke lembah ini.
Mereka menyebut Lembah Hantu. Karena ke isengan dari masyarakat di Kota raja lah yang membuat nama lembah ini dikenal jadi Lembah Hantu.
Bayangin aja, asal manusia datang kesini, pasti deh di kerjain. Biasanya yang iseng itu sibunian laki-laki, yang melihatkan bentuk nya di depan manusia yang nyasar kesini.
Mereka tiba-tiba nongol di depan manusia dengan wajah aneh mereka. Jangan kan manusia, aku yang setiap hari lihat aja masih sering kaget lihat wajah mereka.
Hal ini juga ada untung nya. Setidak nya Hutan di Kota raja tempat istana bediri aman dari rakus nya manusia. Bukan hanya hutan nya saja yang aman, binatang pun banyak terlindungi. Karena manusia takut kelembah ini.
Palingan yang berani datang hanyalah orang yang ingin mencari ilmu. Biasanya mereka semedi. Sampai di temui oleh penduduk kami. Kemudian mereka di beri imbalan ilmu karena ketabahan mereka.
Ada juga yang datang niat nya mencari kekayaan. Kalau yang niat mencari kekayaan gak bakalan dapat. Sebab kami sibunian yang baik. Kami tidak mau memberi kekayaan seperti itu.
Bagiku hari-hari disini membosankan. Kegiatan masih itu-itu saja. Ada mereka yang cerita sambil cekikikan dengan suara khas, karena geli, sebab mereka mengganggu manusia tadi malam.
Dan manusia itu lari sambil terkencing-kencing. Memang ke isengan mereka benar-benar parah banget. Aku mendengarnya ikut senyum-senyum.
"Haii...pa..pa..pagi..." Aduh aku kaget mendengar suara dari belakang ku.
Spontan aku melihat ke belakang.
Waduh masalah ne yang datang.
Dua sibunian yang menjadi pengawalku datang sambil cengar cengir.
Perawakan mereka tinggi besar. gigi besar,hidung besar,mata besar, semuanya besar. Gak tau itu nya, maksudku semangatnya apakah juga besar, bibir mereka juga besar. Melihat bibir mereka, aku geli membayangakan bagamana tersiksa pacar mereka berciuman.
Mereka ini berdua mirip dari perawakan dan wajah.
Yang membedakan satu botak dengan sepasang tanduk yang berwarna merah di ujung tanduk nya. Memakai baju merah dan celana merah dengan ikat pinggang kuning.
Satu lagi berambut panjang gak ter urus, dengan sepasang tanduk yang berwarna ungu. Memakai baju kuning celana kuning ikat pinggang merah.
Mereka ini Bunian sakti, yang mendapat tugas dari ayahku untuk menjadi pengawalku.
Maklum lah aku ini kan Putri Raja disini. Nah, mereka ini sebenarnya kembar, yang botak namanya Domo yang berambut namanya Dumu.
Aku pagi ini memang keluar diam-diam dari istina. Habis kalau minta izin sama ayah, pasti pertanyaan nya banyak.
Nanti jangan-jangan di tanyakan juga, yang menggantungkan Bulan di langit siapa?, tali nya pakai apa?. Kan repot jawab nya.
Ohya, yang menyapa tadi adalah si Domo. Meski pun sakti, tapi gagap.
Berbeda dengan Dumu, gagap sih gak, tuli iya. Ini lah masalahnya. Mulut mereka gak bisa diam.
Bayangkan tersiksanya bicara dengan mereka.
"Ada apa, Domo?" Tanyaku..
"Oii... Domo, dengar tu tuan putri minta kelapa, tapi buat apa ya, kita kan gak perlu kelapa.." Sela Dumu.
"Bu...bu.." Domo terlihat susah bicara sampai matanya terpejam.
"Bu Mimin?.."Tanyaku.
Gak sabar menunggu kelanjutan ucapanya
"Bu..bukan kelapa tuli..tapi ada apa" Domo menjelaskan.
"Tu..tuan Raja su..suruh kami kawal nona.." Domo berusaha menjelaskan.
"Bukan bawal tapi kawal, si putri tak perlu ikan bawal" ternyata Dumu salah dengar. kawal di dengar bawal.
"Diam b***k, nyelah aja" Domo tiba-tiba lancar bicaranya.
Aku lihat ada jambu di tangan nya.
Jika Domo menghirup aroma jambu biji, entah kenapa bicaranya jadi lancar.
Berbeda dengan Dumu, b***k gak ada obat.
"Kenapa di kawal segala emang karnaval".
"Bukan Tuan Putri, tapi ini perintah" Jawab Domo.
Aku sebenarnya kesal. Ini memang bentuk kasih sayang ayah. kemana pun harus di kawal.
Dari depan sana aku lihat penyakit lagi ne yang datang.
Badan ok lah tegap. Tapi gigi tongos, mana giginya besar-besar lagi. Sebesar ibu jari kaki manusia.
Dia adalah salah satu bunian yang menjadi Prajurit andalan kerajaan yang di tugaskan menjaga aku.
Pasti dia menyapa aku ne.
"Fagi Tuan futri."
Nah kan benar apa yang aku katakan.
Yang satu ini namanya Boneng. Dia sangat akrab dengan Domo dan Dumu.
Bentuk badan nya hampir sama. Sama-sama tegap. Rambut nya sebahu hitam lebat, alis mata tebal, tapi jidat nya lebar. Tambah dua tanduk bertengger di kepalanya.
Tapi gak sepanjang tanduk Domo dan Dumu. Si Boneng ini gemar memakai pakaian warna hitam.
Boneng ini tak bisa nyebut huruf "P". sebab sulit baginya untuk menyatukan bibir. Itulah kenapa putri di sebut nya futri. Kayaknya hari ku hancur deh.
Tapi kupikir boleh juga lah membawa mereka-mereka sesekali.
"Ke..ke..ke..". Terdengar suara Domo.
"Keledai..." jawab Boneng.
"Bukan , ke..kenapa kau kesini?" Domo menjelaskan maksudnya.
Aku lihat jambu biji sudah tidak ada lagi di tangan Domo. Pantasan gagap nya datang.
"Aku mau ikut Tuan Futri" Jawab Boneng
"Siapa yang di kebiri" tanya Dumu. ternyata dia salah dengar lagi.
"Fafak mu, Tuan Futri b***k bukan kebiri" Boneng menjelaskan
"Ja...ja...ja..."Si Domo terlihat susah bicara.
"Jangkrik "ucap boneng.
"Bukan, jangan ba..bawa-bawa ba..bapaknya. ba...bapak nya bapakku ju.j..uga .. tahu" Ucap Domo.
Seperti nya mereka sudah saling mengerti bahasa masing-masing. Padahal Boneng menyebut fafak bukan bapak.
"Ho..ho...ho..." terdengar suara tertawa
Saat mereka sedang enak-enaknya berdebat.
Tiba-tiba muncul sesosok kakek-kakek yang janggut,kumis serta rambutnya putih semua.
Rambut nya yang putih di potong pendek. Alis nya tebal, janggut panjang melewati leher nya.
Tangan si kakek mengelus janggut nya seperti bangga sekali dengan janggutnya, sambil tertawa hohoho.
Tinggi sama dengan ku. Setinggi manusia umumnya.
Kakek ini wajahnya persis manusia.
Karena sebenarnya kakek ini adalah manusia sakti yang bisa keluar masuk alam kami seenaknya saja.
Konon katanya, si kakek pernah tersesat ke alam paralel saat menuntut ilmu.
Dia adalah penasehat sekaligus guru bagi ayah. Dia jarang muncul dan kalau tidak ada yang hal penting.
Bahkan beliau sangat dihormati ayah.
Sekali pun beliau belum pernah menegur ke isengan masyarakat kami yang iseng.
Tiga sibunian bersama ku menunduk hormat. Begitu juga dengan aku. Beliau di panggil ki Hurib
"Silahkan berdiri Tuan Tu..." Ini pula kebiasaan nya. Selalu menggantung kan kata-kata. Seperti guru ngajarin murid nya.
"Putri " jawab ku
"Bagus, Tuan Putri mau kemana?. Sebaiknya tuan putri pulang sa.." Ucapnya
"Sabit" jawabku dongkol.
Belum di jawab kemana mau pergi, sudah di suruh pulang.
"Bukan, saja" dia membenarkan kata-kataku.
"Jika Putri terus pergi, Putri akan mengalami perjalanan yang pan.."
"Pantas" jawabku.
"Bukan, panjang." Ucapnya.
"Padahal perjalanan yang panjang itu mele.."
"Melebihi" Jawabku
"Melelahkan" Ucapnya membenarkan.
"Padahal lebih baik di rumah sambil tidur dan makan ru.."
"Makan rumah" jawabku kesal.
"Bukan, makan rujak, masak rumah di makan" Jawab nya cengar cengir.
"Ya sudah, jika Tuan Putri tetap ingin pergi. Dan kalian yang mengawalnya jangan ganggu manusia saat kalian jumpa dengan mereka, karena ini siang ha..." Ucapnya.
Sambil melihat wajah Sibunian yang mengawalku satu-satu tanpa takut, sekarang yang ketakutan malah Sibuniannya.
"Ha..ha..ha.."
Domo gagapnya semakin menjadi karena takut mungkin.
"Hati "awabku
"Bukan hati tapi hari" ucak si kakek.
Kami bicara sambil jalan. Tanpa terasa kami sudah sampai didekat sungai.
Sebuah sungai yang dalam sebetis manusia dewasa. Air nya sangat jernih. Saking jernih nya, ikan nya nampak jelas di dalam air. Ikan nya berbagai macam jenis dan cukup besar.
Itu karena kami menjaga sungai ini. Sehingga manusia tak berani menangkap ikan di sungai ini.
Jika ada manusia yang nekad coba-coba menangkap ikan di sungai ini. Di pastikan prajurit penjaga yang sedang bertugas akan marah, dan akan memberikan pelajaran.
Di tepi sungai inilah gerbang istana kami. Di dekat pintu gerbang dibangun pondok yang tidak terlalu besar.
Dipondok itu bertugas dua Sibunian bertubuh tegap, berkumis tebal, berwajah jelek sekali. Hidung tanpa ada batang nya, hanya terlihat lobang nya saja. Setiap saat asap hitam keluar dari lubang hidung nya.
Saat kami melewati tempat penjagaan. Dua penjaga berdiri dari duduk santai nya dan menunduk hormat .
Aku melihat kebelakang, si kakek yang hobi menggantungkan kata-kata sudah tidak terlihat lagi. Hanya tiga sibunian pengawalku yang terlihat.
"Aku hari ini mau ke pasar manusia. Jika kalian ingin ikut. Ingat pesan Ki Hurib, kalian tidak boleh iseng atau menyakiti manusia jika ingin mengawal aku. Jika kalian melakukan itu, aku akan mengadu pada ayah, kalian akan di hukum. apa kalian paham.?" Aku mengingatkan sambil tangan di pinggang.
"Baik..." Jawab mereka mengangguk.
Jarak dari lembah hantu ke pasar manusia sekitar lima belas menit jika berjalan kaki biasa. Itu yang jalan adalah manusia biasa. Kalau pakai kuda aku sendiri tidak tahu. Sebab di sini tidak ada kuda. Karena kami para lelembut, tidak perlu kuda.
Hanya dengan merapatkan tangan kedada, sambil membaca mantra dengan memusatkan pikiran ke tujuan kami, kami akan segera sampai di tujuan.
Secara bersamaan kami merapatkan tangan didada. Seperti orang bersemedi. Kaki rapat seperti upacara saat manusia di sekolah dasar. Mulut kami membaca mantra.
Dengan lewat gerbang ghaib, kami sampai di tujuan.
Di pasar manusi, banyak dari manusia yang lalu lalang. Ada berteriak cabe, ada yang berteriak kain, ada juga yang teriak maling. Ternyata dia kehilangan kalung murah.
Pokoknya sibuk dan ribut.
Di alam kami, alam ghaib juga sibuk. Ada yang muka nya datar lagi menghirup aroma ikan di tempat yang jual ikan. Ada yang gak punya mata ikut makan dengan manusia lagi makan.
Ada yang iseng meniup kuduk manusia, sehingga mereka merinding. Pokok sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Di tengah kesibukan manusia dan lelembut. Terdengar suara tetabuhan dari jauh.
Yang bisa mendengar hanyalah para lelembut. Serentak para lelembut menghentikan kegiatanya.
Ada yang lagi jalan berhenti mendadak, sehingga di tabrak kawan nya.
Yang kena tabrak ngomel panjang pendek.
Aku juga merasa heran kenapa mereka berhenti mendengar tetabuhan itu. aku melirik ke arah Domo.
"I..i.i..." Kebiasan nya muncul.
"Ikan" jawabku
"Fukan, itu fangeran dari kerajaan Siluman gunung Tuan Futri" jawab boneng.
"Ke..ke..ke." domo bicara
"Kefun"jawab boneng.
"Ke..ke..nafa kamu yang jelaskan" Jawab Domo.
"Kenafa kamu memakai kata-kata aku..?" Tanya boneng merasa kesal seperti di ejek.
Sementara Dumu terlihat santai saja karena tidak mendengar.
Aku hanya heran saja kenapa pangeran itu, untuk kepasar ini saja harus bawa prajurit. Apa dia takut atau kah karena manja.
Aku kalau mau begitu juga bisa. Tapi kan gak bebas. Aku aja kalau bisa jalan sendiri.
Karena ayah memaksa pakai pengawal, mau bagaimana lagi.
Hanya saja pengawal ku gak pakai baju seragam kerajaan. Tapi pakai baju kesukaan mereka.
Dari kejauhan dari tempat ku berdiri, terlihat iring-iringan yang lumayan besar.
Kasak-kusuk makhluk ghaib juga terdengar membicarakan iringan itu.
"Siang-siang pakai genderang seperti mau perang saja.." Sebuah suara terdengar di sebelah kanan ku.
Aku melihat ke kanan, disana ada tiga makhluk berbadan kecil. Sebesar anak usia tiga tahun.
Berkepala botak tanpa baju. Hanya memakai cawat saja, untuk menutupi area terlarang. Seperti nya mereka rombongan tuyul.
"Perang sih perang, uang ku jangan di ambil, nanti setoran ku kurang.." Kata teman satu nya lagi .
Rupanya tuyul itu sempat juga mencuri uang teman nya.
Mengambil kesempatan dalam kebisingan.
"Husst... Anak kecil gak boleh ribut." Jawab kawan nya satu lagi.
"Emang nya kamu udah besar?" Kata yang nyuri uang tadi.
"Mana uangku.." Kata yang kehilangan uang.
"Ini, uang segini aja ribut." Kata yang mencuri mengembalikan uang kepada kawan nya.
"Kiiik...kikkkk..kikmm."
Di atas atap los pasar, sesosok kuntilanak tertawa cekikikan. Sambil duduk nyantai mengayunkan kakinya.
"Grrrrmmm..."
Di los sebelah lagi gendoruwo mengeram seperti marah. Entah benar-benar marah, atau kesal melihat kuntilanak.
Andai manusia tahu hebohnya alam ghaib di pasar nya saat ini. Mungkin semua pada kabur.
Sementara di pasar manusia.
"Hoiii... jalan lihat-lihat, main injak kaki orang saja.." Teriak laki-laki berbadan besar.
Sambil mengangkat kerah baju bocah kecil yang tidak sengaja menginjak kakinya.
Bocah itu ketakutakan.
"Maaf paman gak sengaja" Ucap bocah kecil tersebut minta maaf.
Pokoknya pasar manusia masih normal.
Iring-iringan semakin dekat, terlihat serombongan pasukan berbaju merah.
Ikat kepala merah,tali pinggang merah,celana merah. muka mereka pun di bedaki dengan bedak warna merah. Mungkin yang gak merah cuma anu nya saja, telapak kakinya.
Mereka pasti Rombongan pangeran dari kerajaan Siluman gunung.
Informasi yang pernah aku dengar, Raja hanya mempunyai seorang putra. Dan putra nya sangat manja, segala yang di inginkan mesti dapat.
Dulu kerajaan itu normal seperti kerajaan kami. Karena Putra Raja menyukai warna merah.
Itulah alasan nya semua bernuansa merah. Semenjak itu, kerajaan itu di kenal sebagai Kerajaan Merah.
Nama asli kerajaan nya adalah Ngaitampang
Semakin lama semakin dekat saja mereka.
Aku melihat prajuritnya, aku jadi ngeri bercampur geli. Gigi taring bawah mencuat ke atas, di kasih warnah merah. Rambut juga di cat merah. Seperti badut, tapi ngeri juga lihat tampangnya.
Jumlah rombongan mereka berkisar sekitar tiga puluh orang.
Di tengah-tengah rombongan, empat orang berbadan tegap memikul tandu warnah merah. Mulai dari atap sampai dinding berwarnah merah. semuanya nya warnah merah.
"Minggir pangeran Hawi mau lewat" Teriak salah satu prajurit sebelah kiri bagian depan.
Rupanya nama pangeran nya adalah Hawi. Dulu ayahku memang pernah bercerita, tapi gak pernah bilang kalau nama pangeran nya Hawi.
Yang di hardik prajurit tadi adalah hantu Lumpuh. Hantu Lumpuh itu seperti perempuan berambut panjang, tapi jalan nya ngesot. Si prajurit bukan nya membantu hantu lumpuh itu, malah membentak nya.
Susah payah Hantu Lumpuh ke pinggir jalan. Aku agak kesal juga melihat prajurit itu.
Kuntilanak yang nyantai di atas atap los melayang ke arah gendoruwo sambil cekikikan, satu tangan di dekap di mulutnya. Gendoruwo mendelikan matanya pada kuntilanak.
"Kik..kik..kik.. namanya lucu pangeran kok namanya Hawi kenapa gak jawi (sapi) aja" Bisik tuyul kepada teman nya.
"Hust.. kamu diam aja, nanti kepala kamu di pancung. Kamu mau hidup tanpa kepala." Kata temanya.
"Gak lah, mana enak tanpa kepala. Gak bisa mimik lagi sama ibuk juragan. iiiih..." ucap nya sambil bergidik. Mungkin tuyul itu membayangkan hidup tanpa kepala.
Aku sih gak peduli dengan tuyul-tuyul itu.
Hanya saja, aku sedikit kasih tahu kalian ya.
Saat tuyul mimik sama istri juragan nya. Yang di hisap adalah sari kehidupan dari istri juragan itu.
Itulah kenapa tuyul-tuyul itu terlihat masih seperti anak-anak. Padahal umurnya sudah sekian ratus tahun.
Jika tuyul tak dapat sari kehidupan. Dia cepat tua dan mati. Untuk dapat sari kehidupan itulah tuyul mencuri uang. Agar bisa mimik sama istri juragan nya.
Akhirnya rombongan itu sampai di hadapan ku. Aku lihat tirainya tersingkap.
Aku terpana melihat tampang pangeran itu. Bukan karena ganteng nya, tapi karena jelek nya. Kok bisa ya ada pangeran sejelek itu. Gak cocok jadi pangeran. Jidat lebar, mata besar, hidung besar, taring besar, muka besar, pakai bedak merah lagi.
Si pangeran juga terpana melihat aku.
"Kukuk kesini..." Terdengar suara dalam tandu memanggil prajurit.
"Pasukan berhenti" teriak prajurit yang di panggil Kukuk tadi.
Sepertinya dia adalah komandan dari gerombolan prajurit merah ini. Itu terbukti, saat mendengar teriakan nya. semuanya berhenti.
Sikukuk kemudian melangkah mendekati tenda merah itu. Kepalanya di julurkan kedalam.
Tidak lama kemudian si kukuk mengeluarkan kepalanya dari tenda, dan menatap aku dengan tajam.
Aku merasa risih di tatap seperti itu.
Seperti nya di dalam tenda si kukuk dapat perintah.
Dengan langkah tegap si kukuk berjalan ke arah aku berdiri.
Para pengawalku beranjak berdiri di depan ku. Seperti ingin melindungiku jika terjadi apa-apa.
Sekitar jarak dua langkah di depan pengawalku, Si Kukuk berhenti.
"Siapa nama gadis itu" Si k
Kukuk melihat aku.
"Kenapa ta...ta...ta
.." jawab d
Domo tersinggung.
"Tahu" ucap kukuk.
"Bukan tanya-ta..tanya" ucap Domo.
"Pangeran Hawi menanyakan nya" Jawab Kukuk.
"Dia Futri dari kerajaan Kofundokok" Sela Boneng.
"Kerajan yang mana namanya Kofundokok.?" Si Kukuk salah arti. Dia belum mengerti maksud boneng.
"Kobundokok" Jawab ku.
Aku tidak mau berlama-lama, jika di biarkan bisa lama urusan nya.
"Namanya siapa?" tanya kukuk.
"Namaku Shiva" jawabku.
"Salam hormat kepada baginda, kelak suatu hari nanti pangeran Hawi akan datang bertandang ke Kerajaan Kobundokok" ucap Kukuk.
"Siapa yang di kandang?" tanya Dumu.
Seperti nya Dumu salah dengar. bertandang di dengar nya kandang.
"Bukan kandang tapi tandang" Jawab Kukuk.
Dumu anggukan kepala, seperti mengerti. Entah dengar atau tidak, yang jelas dia angguk-angguk.
Kemudian si kukuk menuju tenda lagi. Kepalanya di masukan lagi dalam tanda. Kemudian kembali ke posisi dia semula.
"Pasukan... jalan..." Teriak kukuk.
Penabuh gendang dan peniup alat musik mulai memainkan musiknya.
Lebih dari delapan orang pemain musik di belakang tandu. Aku tak habis pikir, apa gak pekak telinga Pangeran Merah dengarkan musik berisik begitu.
Sepertinya rombongan itu memilih jalur ghaib. Karena tiba-tiba hilang begitu saja dari hadapan kami.
Sempat juga sih aku melihat. Setelah memberikan komando, si Kukuk merapatkan tangan di dadanya. Dan beberapa orang merangkul pemain musik.
Aku masih kesal dengan gaya Pangeran Merah yang menurutku berlebihan itu.
Terlebih lagi wajah pangeran tidak setampan yang aku bayangkan. Aku jadi hilang mood untuk jalan-jalan. Karena nya aku memilih pulang saja.
Tapi kali ini aku memilih pulang jalan kaki saja. Bukan pakai jalur ghaib.
Aku mulai melangkah dengan kesal. Namun, dalam benakku menerka-nerka. Apa tujuan pangeran Merah ingin bertandang ke kerajaan ku?.
Apakah dia ingin melamar aku. kalau dia ingin melamar aku, terus kami menikah, seperti apa anakku kelak wajahnya.
Kalau ikut wajah aku, ok lah. Kalau ikut wajah pangeran gimana. Ini bukan memperbaiki keturunan. Tapi merusak keturunan namanya.
Bermacam pertanyaan datang di benakku.
Saat aku lagi bermain dalam pikiran sendiri, tiba-tiba aku di tabrak oleh manusia.
Aku tidak merasakan apa-apa sebenarnya. Hanya saja aku dalam keadaan kesal. Ingin aku lampiaskan pada manusia yang menabrakku.
Aku berpaling ke arah manusia yang menabrak aku. Dia mungkin tidak merasakan apapun sama seperti aku.
Saat aku melihat ke arah nya. Dia seorang pemuda berbadan tegap.
Aku mengejar pemuda itu dengan melayang dan berhenti di depan nya. Ingin aku gampar saja wajah pemuda ini. Biar dia tau rasa.
Aduhai...
Bagaimana bisa aku menamparnya. Ternyata dia sangat Tampan. Rambutnya hitam lebat, kening nya sedang, alis mata tebal, matanya indah penuh semangat, bibir seksi, badan tegap.
Pria seperti ini lah yang aku impikan selama ini. Sepeti dia yang aku mau.
Aku hanya terdiam di depan pemuda itu. Kemudian aku di tabrak lagi.
Kali ini aku bukannya kesal, malah aku merasa senang. Aku melayang lagi di depan nya dan di tabrak lagi. Terus aku lakukan berulangkali.
"Tuan Futri..." Aku mendengar boneng memanggilku.
Baru aku tersadar. Rasa kesal terhadap pangeran sok tadi hilang. yang timbul sekarang adalah rasa senang.
"Domo kamu ikuti pemuda itu. jangan iseng atau apapun yang membuat dia curiga. Cari tahu siapa dia. laporkan padaku nanti" Perintahku.
"Ke..ke..ke.." Domo bicara.
"Kefun." ucap Boneng.
"Bukan kebun tapi ke..kenapa." Ucap Domo susah payah.
"Ikuti saja perintahku." Teriaku tegas.
"Ba..baik putri." Jawab domo
Tadinya aku yang niat jalan kaki pulang ke istana. Jadi berubah, aku pulang lewat jalur ghaib saja.
Tidak memerlukan waktu lama , hanya sekejap saja aku sudah sampai di istana lagi. Kali ini aku lansung menuju istana. Bukan lewat pintu gerbang.
Hanya orang-orang dalam istana saja yang bisa melakukan ini. Karena ada mantra khusus yang hanya kami kekuarga raja saja yang tahu.
Dumu dan Boneng tentu saja melalui pintu gerbang.
Sesampai di istana, kecerian hatiku sedikit terganggu dengan kehadiran tamu berbaju merah,rambut merah semuanya merah.
Siapalagi kalau bukan dari kerajaan Ngaitampang. Sekilas prajurit itu memandangku. Kemudian mohon diri dari hadapan ayahku.
Aku menatap ayahku, ayah tampak gagah dan berwibawa dengan pakaian kebesarannya.
Ayah adalah Raja yang bijaksana. Bisa memakmurkan masyarakat. Mana ada Warga kami yang kelaparan.
Dengan umur yang hampir sembilan ratus tahun, ayah masih terlihat kokoh. Memang alis mata ayah sudah putih, kumis sudah putih, dan rambut putih nya di tutupi mahkota kerajaan.
Ayahku terlihat hampir sama dengan manusia. Itu terjadi karena ayah meminum dan mencuci mukanya dengan air yang di berikan Ki Hurib.
Air yang di dapat dari sebuah negeri yang sangat misteri. Konon di negeri itu apa yang ada di dunia manusia dan ghaib, semuanya juga ada disana.
Hanya taring kecil yang masih tersisa sama ayahku. Itu pun terlihat saat ayahku tertawa .
Di bandingkan dengan laki-laki di alam ku. Ayahku lah yang paling normal bentuknya. Wajah ayahku semi oval.
Mungkin sejauh ini ibuku lah yang paling beruntung. Punya suami Raja ganteng dan bijaksana.
Ibuku juga terlihat anggun duduk di sebelah ayah, dengan pakaian permaisuri bertakhta tiara dikepalanya. Wajah ibuku sangat cantik.
"kamu dari mana, nak?" tanya Ibuku.
"Dari jalan-jalan bu" Jawabku sambil berlalu.
Ibuku jarang sekali memanggil namaku. Ibu selalu memanggil aku dengan sebutan nak. Kecuali jika sedang marah. Dia lansung manggil ku Vana.
Aku adalah anak mereka satu-satunya. Kalau bukan di depan umum, aku tidak melakukan adat formal jumpa Raja dan Ratu dengan ayah dan ibuku.
Aku bersikap biasa saja. Seperti biasa anak remaja dengan orang tuanya.
Aku malas menanyakan kenapa prajurit merah itu kesini. Itu mungkin urusan pemerintahan.
Aku lansung melangkah menuju kamarku. Sambil menghayalkan ketampanan pemuda tadi. Perlahan aku membuka pintu kamarku, menuju pembaringan dan tidur.