Scandal
“Tubuhmu sangat indah, Nyonya Harper.”
“Tidak … ah! Jangan—!”
“Jangan? Tenang saja, aku tidak akan berhenti.”
Suara itu menyelinap di antara kesadaran Hera Harper yang memudar, berat dan serak, disertai napas panas yang menggelitik kulit lehernya.
Rasa pusing mendera kepalanya. Aroma alkohol bercampur parfum murahan yang menusuk hidung terasa seperti racun yang merambat di balik kulitnya. Pria itu menindihnya, bobotnya terasa asing dan menyesakkan.
Hera berusaha mendorong, tapi tangannya tak punya tenaga. Dunia berputar, cahaya lampu di langit-langit menari kabur.
Tawa puas pria itu terdengar, rendah sekaligus mengejek, “Malam ini, aku akan memuaskanmu, Sayang.”
Tubuh Hera ditarik, tangannya di cekal ke atas. Sekeras apapun ia memberontak, meronta, atau berteriak, semua tak berguna. Perlawanannya hanya menghabiskan energi terakhirnya untuk tetap sadar.
Dan akhirnya … TIT.
Hera tenggelam sepenuhnya dalam kabut yang kejam.
Entah berapa lama waktu berlalu.
Kilatan cahaya putih yang mematikan menghujam kelopak matanya. Kepala Hera langsung berdenyut, ia tersentak membuka mata. Tapi pandangannya tertutup oleh tangan seorang pria yang berusaha melindungi identitasnya, sambil menggumamkan sumpah serapah.
Pada detik yang sama, telinga Hera menangkap detail yang lebih menghancurkan. Suara kamera berderak histeris, disusul seruan-seruan gaduh.
“Cepat! Jepret! Jepret!”
“Ini akan jadi skandal yang luar biasa!”
“Tuan, tolong jawab, apa hubungan kalian?”
Teriakan reporter dan bisikan-bisikan tajam menyayat udara.
Hera panik.
Rasa kagetnya bahkan mengalahkan pusing yang mendera. Dengan sisa tenaga yang ada, ia mendorong pria di sebelahnya, lalu menarik selimut tebal itu hingga menutupi pundaknya.
Matanya menyapu ruangan. Mencoba memahami apa yang sudah terjadi dan sekacau apa situasi disana. Dan, di antara kerumunan serta kilatan blitz yang kejam, pandangannya berhenti pada pintu.
Hera bisa melihatnya dengan sangat jelas. Sosok tinggi, rapi, dengan bahu bidang yang selalu terasa menenangkan, tapi kini seakan menjadi bayangan penghakiman yang dingin.
Damien Harper. Suaminya. Hakim kondang yang teguh pada keadilan.
Wajah pria itu datar, tidak ada emosi, tidak terlihat sedih. Ia hanya berdiri tegak, menatap semua itu dengan kosong, dingin sekaligus hampa.
Saat Hera mencoba memanggil namanya, suara keras dari pria yang tadi bersamanya terdengar jelas di tengah keramaian.
“Ya, benar! Saya sudah lama menjadi simpanan Nyonya Harper!”
Mata Hera membulat, napasnya memburu.
“Kami sering bertemu diam-diam setiap kali Tuan Hakim sibuk dengan kasusnya!”
“Omong ko—” Hera berusaha bersuara, tapi pria itu memotong dengan cepat. Suara bariton menggelegar di kamar hotel.
“Kami saling mencintai dan melengkapi! Kami berbagi waktu di antara kekosongan. Memang, apa salahnya mencintai seorang wanita yang kesepian?”
Suasana kembali heboh, pernyataan sepihak dari pria tak dikenal membuat segalanya semakin rumit. Blitz kamera berkilat seperti hujan petir, para pemburu berita kembali mencecar pertanyaan lain.
Namun Hera tak menggubris semuanya, matanya terpaku pada ekspresi Damien, mencari sedikit saja keraguan di mata pria itu.
Sayangnya, tidak ada.
Wajah Damien masih tetap tenang, nyaris tanpa ekspresi. Tidak ada pertanyaan, tidak ada amarah atau makian untuk dirinya. Tapi, justru disitulah titik kejamnya. Seakan vonis bersalah sudah dijatuhkan.
Hera merasakan dadanya perih. Napasnya tercekat. Bukan karena fitnah itu, melainkan karena cara Damien menatapnya seperti menatap seseorang yang sudah mati.
***
Skandal perselingkuhan Hera langsung meledak hanya dalam hitungan jam, menyebar di seluruh sudut Italia, bahkan Eropa.
Nama Hera Rhodes Harper, putri dari konglomerat tua yang memiliki garis sejarah panjang sebagai bangsawan Italia — seketika tergerus, hancur lebur.
Hanya dalam semalam, hanya dengan satu skandal, julukan femme fatale dan w************n melekat dalam namanya. Reputasinya sebagai istri hakim kondang pun lenyap tanpa bekas.
Sentimen publik sudah memutus rantai pembelaan. Keluarga Rhodes bahkan tak mampu menutup keran gosip yang membanjir. Sementara sang suami, juga tidak berniat menutupi skandal istrinya.
“Aku bersumpah, dengarkan aku dulu, Dami!” Hera menjerit di ruang tamu kediaman Harper.
Tubuhnya terjatuh, lututnya membeku di lantai marmer, kedua tangannya meremas ujung jas suaminya, erat. Namun pria itu bahkan enggan menatap istrinya.
“Sekali saja, ku mohon. Demi Elliah!” lirihnya memohon.
Mendengar nama putrinya disebut, Damien akhirnya menoleh, menatap mata Hera yang sudah basah oleh air mata. Sorot matanya tajam dan menghakimi.
“Setelah semua ini, kau masih ingat dengan putrimu?” sindirnya.
Damien menunduk cepat. Cengkramannya yang keras langsung mengunci rahang Hera, memaksa wanita itu mendongak menatap matanya.
“Tanda tangani surat perceraian dengan damai dan menghilanglah. Menghilang sejauh yang kau bisa!”
Dunia Hera seakan berhenti. Kenangan sepuluh tahun bersama Damien berputar gila dalam memori, lalu seketika hancur berkeping-keping dengan satu kalimat ‘cerai’.
Tatapan Hera kosong. Ia membeku di lantai marmer, seolah waktu yang menahan dirinya. Hatinya seketika mati, mulutnya terkunci tanpa sanggup mengatakan apapun, keheningan batin yang lebih dalam daripada air mata.
“Hak asuh Elliah … akan ku ambil alih!”
Keputusan kedua jatuh sepihak lagi. Namun kali ini Hera langsung tersentak, matanya membulat panik.
“Tidak bisa! Hanya dia yang aku punya, bagaimana bisa kau mengambilnya?” Suaranya kembali menggema, terdengar pilu.
Tapi Damien bahkan tak tersentuh dengan itu, berniat mendengar penjelasan sang istri pun, tidak. Yang ada justru suaranya yang menggelegar. “Jika kau sadar akan putrimu, harusnya kau tidak berselingkuh!”
“Ratusan kali aku bersumpah, aku tidak pernah berselingkuh. Aku tidak mengenal pria itu!” teriak Hera, pecah di ujung kalimat.
Namun sedetik kemudian, suaranya merendah putus asa. “Sungguh, kenapa kau juga tidak percaya ….”
“Sungguh?” Damien menyeringai dingin, menatap Hera dengan sorot jijik.
“Sebelum kembali kesini, apa kau tidak bercermin? Jejak kissmark di lehermu … membuatku muak!”
“Pergilah dari pandanganku! Sebelum aku membunuhmu, Hera!”
Sepuluh tahun. Selama itu Hera Rhodes mencintai Damien Harper. Setelah lima tahun menjalin asmara, mereka menikah dan baru dikaruniai putri setahun lalu. Cinta yang amat tulus, terjalin dengan sederhana tanpa ada unsur bisnis atau keuntungan.
Tapi kenapa?
Bahkan sedikit kesempatan menjelaskan pun tidak bisa diberikan.
Apa Damien sungguh mencintai dirinya?