bc

Menikah dengan Lelaki Sombong

book_age16+
4.2K
FOLLOW
40.2K
READ
HE
kickass heroine
heir/heiress
bxg
kicking
secrets
affair
like
intro-logo
Blurb

Spin off Jodoh Pilihan Kakek

Sejak awal pertemuan, Rafka yang terlihat ramah dan penuh sopan santun begitu mudah memikat hati Liona hingga membuat gadis 19 tahun itu terobsesi untuk memilikinya. Segala cara dilakukan Liona sampai akhirnya, lelaki yang diidam-idamkannya menikahi dirinya, meski harus dengan mengorbankan hati wanita lain. Ah, tapi persetan, lah! Liona merasa tidak perlu memikirkan akan hal itu. Yang terpenting baginya adalah, Rafka Devandra Pramuditya kini telah menjadi miliknya sekarang. Eh, tapi tunggu, kenapa sosok yang dulu terkenal ramah dan penuh sopan santun mendadak berubah dingin setelah resmi bergelar menjadi suami? Apa ada yang salah dengannya?

chap-preview
Free preview
Menikah dengan Lelaki Sombong
"Kamu tidak perlu repot-repot berdandan untuk menarik perhatianku." Aku mematung memandang cermin yang memantulkan bayang wajahku. "Gadis sepertimu tidak akan pernah mendapat tempat di hatiku, bahkan sampai bulan terbelah dua sekalipun." Dia berlalu menuju kamar mandi setelah mengucap kata-kata sarkas itu entah untuk yang keberapa setelah kami resmi menikah lebih dari dua bulan ini. Aku menarik napas dalam. Tak tahu lagi harus memberi julukan apa terhadap laki-laki sombong yang katanya menikahiku karena terpaksa itu. Huh! Sebegitu burukkah aku di matanya? Kenapa dia seperti ingin selalu mengibarkan bendera perang setiap kali bertatap muka denganku? Apa yang salah? Aku, atau dia yang bermasalah? Di depan cermin, kupandang sekali lagi wajahku yang telah ter-makeover setelah mengikuti video tutorial makeup belum lama ini. Cantik. Setidaknya begitu juga yang dikatakan teman-temanku. Dan rasanya … pendapat mereka memang tidaklah keliru. Ya, bahkan, ahli bedah plastik kenalan tanteku pun mengatakan kalau bentuk mukaku memiliki golden ratio dengan perhitungan yang bagus. Lantas, kenapa dia begitu jual mahal? Rafka Devandra Pramuditya, apa kedua matamu memiliki permasalahan yang serius, sampai tak bisa melihat kecantikanku? Rasa dongkol yang sudah sering singgah, datang lagi tanpa permisi. Membuatku meneguk ludah berat saat memandang bayang wajahku sendiri. "Argh! Sialan!" Kuas di tangan kulempar dengan kasar saat menyadari jika semua yang ada di hadapanku memanglah tak berguna sama sekali. Sama sekali tak berguna! Bukankah suamiku sendiri sudah mengatakan kalau dirinya tidak akan pernah tertarik padaku meski aku berdandan bagaimanapun caranya? Eyeliner, bedak, foundation, toner, dan hampir semua peralatan make-up telah berserakan di lantai saat kedua tanganku bekerja sama memegang kapas dan micellar water dengan gerakan kaku sebelum membersihkan make-up tak berguna yang menempel di wajahku. Selanjutnya, kuusap wajah dengan kasar saat rasa sesal karena terlalu percaya diri dia bakal menyukai, pupus sudah. Bukankah, aku selalu terlihat seperti antagonis yang kebetulan diperistri olehnya? Air mata tak tahu diri yang tak seharusnya turun, begitu mudahnya menetes dan menegaskan kalau aku adalah pecundang sejati yang tetap berharap walau sudah jelas dia tak pernah menunjukkan ketertarikan tentang apa pun yang aku lakukan. Ya, aku selalu salah di matanya. "Nangis teros!" Aku buru-buru memalingkan muka saat menyadari dia telah keluar dari kamar mandi bahkan belum sampai sepuluh menit setelah dirinya masuk ke sana. Apa dia buru-buru keluar setelah mendengar aku berteriak? "Cengeng," umpatnya terdengar tajam. "Siapa yang cengeng? Aku cuma kelilipan bedak," kilahku cepat. Tak mau terlihat lemah di hadapannya. Laki-laki 27 tahun yang sebegitu mudahnya menghina dan memberikan penghakiman atas diriku. Tak menanggapi ucapanku, dia yang selama ini menganggapku sebagai bocah ingusan barbar, memilih memfokuskan pandangan ke arah lantai tempat di mana peralatan makeup yang menjadi pelampiasan kemarahanku, berserak di sana. "Manusia setengah waras," umpatnya lagi. Hanya tiga kata. Namun, terdengar begitu pedas dan membuatku hampir kena mental mendengarnya. Selanjutnya, dia yang mungkin saja geram dengan ulahku, berjalan menuju pintu. Membuatku bertanya-tanya akan pergi ke mana dia selanjutnya. Bukankah dia baru pulang? Kenapa buru-buru ingin pergi lagi? "Mas, hei!" Aku cepat-cepat bangkit dan mengejar langkahnya. Mendengarku memanggilnya, dia yang hampir memutar knop pintu terlihat menahan gerakan meski tanpa menoleh. "Kamu … kamu mau ke mana?" tanyaku sambil mendekati lelaki angkuh yang berdiri dengan jarak sekitar 30 sentimeter dari pintu berbahan baku mahoni perhutani ini. "Pergi," jawabnya singkat dan masih tak tertarik menoleh padaku meski aku bertanya dengan nada yang terdengar pelan. Sombong sekali bukan? "Ke mana?" tanyaku penasaran. Ah, tidak, lebih tepatnya … takut dia mendatangi mantan kekasihnya yang gagal menikah belum lama ini. Sialan! Bisa-bisanya Mas Rafka belum menyentuhku sampai gadis menyebalkan itu gagal menikah? Bukankah ini konyol? "Pergi ke mana?" ulangku saat merasa tak puas hati karena dia cenderung acuh tak acuh dengan pertanyaanku. Tampak dia menarik napas dalam. "Kamu pikir aku betah, tidur di kamar yang lebih mirip kapal pecah?" balasnya lantas menolehkan kepalanya dan memandang ke arah di mana alat make-up milikku berserakan. "Kamu pikir aku betah tidur sekamar dengan gadis 19 tahun yang suka tantrum melebihi anak balita? Kamu pikir aku betah, Liona Kaisara?" desisnya masih dengan tatapan matanya yang tajam menusuk. "Tidak sama sekali," ucapnya penuh penekanan. Dia lantas berlalu. Meninggalkan aku yang masih berdiri kaku di sini. Mencerna satu persatu ucapannya yang tidak pernah enak didengar sejak aku dan dirinya terikat dalam satu ikatan suci. Pernikahan. Huft! Apa itu artinya … aku yang harus membersihkan peralatan make-up yang berantakan ini sendiri? *** Aku bisa bernapas dengan lega saat kamar yang katanya lebih mirip kapal pecah, kini sudah bersih dan tertata rapi. Adalah kerja sama kedua tanganku yang membuat kamar ini lebih enak dilihat dibandingkan sebelumnya. Ternyata … aku bisa bersih-bersih juga. Kuambil gambar dengan penuh semangat saat merasa membuat kamar menjadi serapi ini adalah satu prestasi membanggakan yang patut diapresiasi. "Udah nggak mirip kapal pecah. Udah aku bersihin semua. Kamu mau lihat video pas aku bersih-bersih?" Send. Tak lama kemudian, pesan w******p yang kukirimkan, terlihat sudah terbaca. Namun, tak ditanggapi apa pun olehnya. Jangankan memberi pujian, sekedar memberikan stiker atau emoticon jempolnya saja dia perhitungan. Dasar suami jaim! *** "Hei! Bengong aja. Mikirin apaan?" Sheila tiba-tiba menegurku. Membuatku yang sedang mengaduk-aduk siomay sambal kacang di piring, mendongak menatapnya. Kantin kampus selalu menjadi tempat untukku dan Sheila bertukar pikiran dan membahas tentang hal apa pun yang sekiranya pantas untuk dijadikan bahan pembicaraan. Membahas tentang yang sedang viral misalnya. "Mikirin apaan?" tanya sahabatku, terlihat sangat kepo dan menjengkelkan. "Mikirin suami lo yang suka jual mahal itu?" tebak Sheila dengan begitu yakin. Aku mengangguk pelan. "Masih dianggurin sampai sekarang?" tanya Sheila sambil terkekeh kecil. Terdengar santai, tapi jelas dia sedang mengejek saat ini. "Kasian! Padahal udah penasaran sama bentuk dan rasanya, ya?" "Ish! Apaan, sih." "Eh, Na, gue punya ide." Aku merasa curiga ketika Sheila tiba-tiba bersuara pelan. Seperti ingin membisikkan sesuatu. "Ide apaan?" "Sini, deh." Dia menggerakkan tangannya, memintaku mendekatkan telinga. Sahabatku yang kadang-kadang …. Ah tidak! Lebih sering menjengkelkan ini, kemudian membisikkan sesuatu di telingaku. "Hei! Apa? Jangan bercanda," ucapku dengan mata melotot. "Daripada dia balikan sama mantan, lebih baik kamu ikat dia lebih jauh." "Begitu? Emang lo yakin dia bakal berubah setelah gituin gue?" Sheila mengangguk tanpa ragu. Oke, baiklah, mungkin tidak ada salahnya jika aku mendengarkan saran dari Sheila dan menerapkannya dalam kehidupan rumah tanggaku. Apa pun akan aku lakukan agar kau tetap menjadi milikku, Rafka Pramuditya. *** Di dapur rumah mertua, dadaku berdebar hebat memandang obat perangsang di tangan. Obat dalam bentuk cair yang seyogyanya digunakan untuk menambah keharmonisan rumah tangga, aku pesan di marketplace dengan menjaga kerahasiaan tentang apa isinya. Dua tetes ramuan herbal yang konon mampu memberikan efek 'luar biasa' terhadap orang yang meminumnya, kuteteskan pada secangkir teh yang dipesan oleh suamiku pada asisten rumah tangga di rumah mamanya ini. Aku memang sengaja meminta pada suamiku agar mau menginap di rumah sang mama untuk melancarkan rencana yang telah kususun sejak tiga hari belakangan. Dan … malam inilah saatnya. Ah, Rafka Pramuditya, masih bisakah kau menyombongkan diri setelah malam ini? Aku menatap langit-langit dapur saat membayangkan bakal seperti apa saat obat itu sudah bereaksi pada lelaki sombong itu. Kita lihat saja. "Bik, ini tolong tehnya kasih ke Mas Rafka, ya," ucapku pada Bik Marliyah. Wanita yang sempat kuusir secara halus dari dapur saat hendak melancarkan aksi, tampak menatapku dengan pandangan curiga saat aku mengulurkan nampan berisi teh hangat yang telah terkontaminasi obat perangsang itu. "Aku nggak mencampurkan racun, kok, Bik, tenang saja," ucapku buru-buru. Berusaha membuat wanita itu yakin jika aku memang tak memiliki niat untuk meracuni tuan mudanya. Aku bisa bernapas dengan lega saat akhirnya, meski dengan keterpaksaan, wanita paruh baya yang sudah beberapa tahun menjadi asisten rumah tangga di rumah mertua, membawakan teh hangat itu ke depan suamiku yang tengah bercengkrama bersama sang mama di ruang keluarga. Semuanya berjalan sesuai rencana. Dari kejauhan, dapat kulihat Mas Rafka menyesap teh yang disajikan Bik Marliyah tanpa rasa curiga. Aku ketar-ketir saat melihatnya seperti tak menunjukkan perubahan ekspresi setelah meminum teh yang telah tercampur ramuan itu. Sampai akhirnya …. "Ka, kamu baik-baik saja?" tanya mama mertua saat mungkin menyadari sang anak menunjukkan gelagat aneh. Beberapa kali, suamiku terlihat duduk dengan tidak tenang pada posisinya. "Ma, Liona ke mana, ya, kok dari tadi nggak kelihatan?" tanya suamiku. Suaranya terdengar berat ketika bertanya. Aku yang sedari tadi sibuk bersembunyi, nekat menampakkan diri saat mendengarnya menanyakan tentang diriku. "Eh, itu anaknya," ucap mama mertua sambil menunjuk padaku yang baru keluar dari arah kamar mandi dekat dapur. Aku memegangi perut sambil meringis. "Nana habis dari kamar mandi, sakit perut tadi," ucapku beralasan. Mama mertua tersenyum tipis mendengar bualanku. Aku baru hendak mengambil posisi duduk di samping mertua saat tangan kekar Mas Rafka tiba-tiba mencekal pergelangan tanganku. "Ayo, kita ke kamar sekarang," ucap suamiku dengan suaranya yang masih terdengar berat. Aku mendadak panas dingin membayangkan apa yang akan terjadi antara aku dan dirinya malam ini. "Ayo, Liona. Tolong, jangan menguji kesabaran suamimu," ucapnya terkesan tidak sabaran. Selanjutnya, dia menarik paksa tanganku menuju kamar, seperti tak peduli dengan bagaimana penilaian sang mama. Ya Tuhan! Benarkah obat itu benar-benar ampuh membuat 'sesuatu' milik Mas Rafka meronta-ronta di dalam sana? Kenapa aku jadi ngeri sendiri, ya?

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
12.5K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.4K
bc

My Secret Little Wife

read
95.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
204.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook