Bogeman sebenarnya

2896 Words
"Kamu udah pernah kesana?" Zander menatap kearah kaca, melihat apakah gadis itu tertidur atau tidak. Karena selama perjalanan yang sudah menempuh waktu sepuluh menit ini, Ainun terus diam. Dan benar saja, Ainun tengah berusaha menahan kantuknya. Mendengar pertanyaannya tadi Ainun berusaha membuka matanya dengan susah payah, lalu menggeleng. "Belum, ini pertama kalinya makanya Nunuy exited banget. Kalau bukan karena penasaran, Nunuy ogah satu mobil sama Akang." Jawab Ainun pelan. Kepala Zander manggut-manggut, dengan bibir yang mengulum senyum. Biarlah gadis itu berucap demikian, Zander akan merubah pemikirannya, membuat Ainun akan sangat nyaman ketika jalan bersamanya. "Kamu kayanya udah terbiaya sama panggilan Nunuy, Akang jadi seneng." Ainun mengangguk dengan mata yang sudah terpejam. "He'eh, kan dapet pahala nyenengin orangtua." Zander kembali mengulum senyum, ia tidak tersinggung sama sekali. Kata Abah-nya, memang harus sabar jika mencintai keturusan Anam. Apalagi ini versi perempuannya, bukan hanya ceplas-ceplos dengan tingkah uniknya tapi juga akan jauh lebih cerewet. Karena lokasi tempat mereka akan makan bakso cukup jauh tepatnya dijalan srikandi, mereka harus melewati jalanan yang cukup macet. Melewati sebuah pasar yang selalu padat pengunjung padahal waktu menunjukan jam satu siang. Kantuk Ainun langsung hilang karena panas, sepertinya Zander lupa menyalakan AC. Ketika Ainun menatap keluar jendela, yang dilihatnya adalah kendaraan yang bertumpuk. Kepala Ainun manggut-manggut, pantas saja sangat panas ternyata sedang macet. Lalu Ainun melirik kearah Zander, lelaki itu juga ternyata tengah kepanasan. Jas yang dipakainya terlihat basah karena keringat, melihat itu Ainun menjadi tidak enak. "Maaf ya Kang, gara-gara mau anter Nunuy beli bakso Akang malah kepanasan. Kejebak macet pula." Ujarnya pelan. Mendengar hal itu Zander langsung melirik kearah kaca dan matanya langsung bertubrukan dengan mata milik Ainun. "It's okay Nuy, Akang bakal lakuin apapun untuk bisa ada disamping kamu terus." Jawaban Zander barusan membuat kening Ainun berkerut. "Kenapa Akang pengen disamping Nunuy terus?" Belum juga Zander menjawab, Ainun sudah buru-buru memotong. "Ya gak aneh sih, secara-kan Nunuy anaknya Abi Anam ini cantik, imut, dan menggemaskan. Jadi wajar aja bikin Akang kangen terus." Ainun berujar angkuh. Zander mengulum senyum, tidak membantah sama sekali karena itu semua memang benar. Terkhusus untuk dirinya yang mencintai Ainun membuat kadar kecantikan Ainun bertambah dimatanya. "Pede banget sih kamu, emang Nunuy ngerasa cantik banget ya?" Tayanya sengaja menggoda. "Yaiyalah! Kata Abi, Nunuy itu mirip sama sarmila. Bahkan cantikan Nunuy kemana-mana." Seloroh Ainun sewot, merasa tidak suka dengan perkataan Zander barusan. Alis Zander bertaut seiring mobil yang bergerak maju, mobil-mobil sudah mulai bergerak. "Siapa Sarmila? Sodara kamu?" Kepala Ainun menggeleng, dengan tangan yang mengipas-ngipas kearah wajah. "Masa Sarmila aja gak tau sih!" Sewot Ainun. "Ituloh yang nyanyi Havana oh nana." Jelas Ainun seraya menyanyikan sedikit lirik lagu tersebut. Helaan napas Zander terdengar, matanya memutar malas. Kalau penyanyi itu mah dirinya juga tau! Tapi bukankah namanya itu.. "loh, bukannya nama penyanyi Havana itu Camila ya? Camila cabelo?" Ainun berdecak kesal. "Ya emang itu!" Jawabnya dengan sewot. Setelah itu membanting tubuhnya pada senderan bangku dengan kesal. Loh? Kenapa jadi dia yang marah dan kesal? Padahalkan disini, Ainun yang salah menyebutkan nama. Zander benar-benar tidak paham. "Ya terus kenapa kamu nyebutnya nama Sarmila? Akangkan jadi bingung." "Ya suka-suka Nunuy dong mau nyebut nama apa aja, bibir dan seluruh atubuh Nunuy ini diproduksi dalam pengaturan Indonesia. Kalau nama asli dia sulit Nunuy inget, jadi nama Sarmila aja." Ainun mengeluarkan pembelaan diri. "Lagian Akang juga, jadi cowok gak peka! Pantes aja ngejomblo terus." Tuduh Ainun. Bukannya merasa kesal karena tuduhan sepihak itu, Zander malah tertawa pelan. Keturunan Anam ini memang mengagumkan, Zander jadi penasaran dengan watak dan sifat original dari calon mertuanya itu alias Anam. Zander melirik kearah kaca, alisnya bertaut melihat Ainun yang bergerak gelisah sambil mengipaskan wajah dengan tangan. Kenapa gadis itu? Apakah kepanasan? Tapikan AC sudah.. "astagfirullah!" Serunya kaget. Ainun melirik malas kearah depan, baru saja matanya ingin terpejam. Tapi lelaki itu malah bertindak yang membuat gejolak kekepoan Ainun kembali membuncah. Tapi Ainun acuh, ia memilih kembali terpejam toh perjalanannya masih cukup panjang jika disatukan dengan macet ini. Tak lama kemudian, udara sejuk mulai menerpa kulitnya. Cahaya matahari-pun mulai mengurang kala kaca hitam itu dinaikkan, matanya terbuka. "Gitu dong, Nunuy-kan jadinya gak kepanasan." Ujarnya pelan. "Nunuy kenapa gak bilang dari tadi kalau kepanasan? Akang bener-bener lupa nyalahin AC." "Nunuy udah bilang tadi, kata 'gak peka' itu sebagai kode. Kan Nunuy ngomongnya sambil kipas-kipas, tapi tetep aja Akang gak peka!" Ainun mengembungkan pipinya membuat Zander gemas sekaligus bingung. Kepalanya menggeleng takjub, pemikiran perempuan memang sangat sulit terlebih lagi Ainun. Setelah memberi kode sulit yang tidak tertebak, gadis itu malah menjelaskannya. Menurut Zander salah satu keistimewaan perempuan berada diisi kepalanya, Zander bertanya-tanya, mengapa perempuan itu cenderung berpikir sulit padahal yang mudah saja ada? Ainun-kan tinggal berkata bahwa dirinya kepanasan, tidak perlu memberi kode dengan gerakan tubuh yang Zander tidak mengerti sama sekali. *** Setelah menempuh perjalanan hampir empat puluh menit, akhirnya mereka-pun sampai. Kedai bakso cukup besar yang berada dijalan Srikandi ini sangat ramai, walau masih menyisakan beberapa meja kosong. Dan keduanya memilih meja khusus dua orang yang berada didekat jendela, karena hanya dibarisan sana saja yang tersisa. Bibir Ainun mengulum senyum bahagia, matanya melihat-lihat seisi kedai ini. Lalu membaca spanduk besar yang bertuliskan berbagai menu. "Wah, ternyata ada dimsum dan mango sticky rice juga!" Ainun bergumam dengan riang. Senyum itu menular pada Zander, lelaki yang duduk bersedekap d**a sambil menatap gadisnya itu ikut tersenyum. Sedikit merasa bangga, sebab berhasil membawa gadisnya kesini sebelum bangku-bangku terisi penuh. "Nunuy boleh pesen apa aja, Akang bakal trakrir." Perkataan Zander tadi sontak membuat Ainun bertepuk tangan riang saking bahagianya, bibirnya bahkan terus menerus tersenyum. Bikin kamu bahagia ternyata segampang ini, ditraktir makan aja sampe tepuk tangan  saking bahagianya. Zander bergumam dalam hati, masih dengan mata yang menatap keriangan Ainun. "Udah, panggil sana Mbak-mbaknya." Titah Zander. Dengan gerakan cepat Ainun mengangkat tangan, tak lama setelah itu pemuda dengan seragam khas kedai ini mendekat. Mata pemuda yang terus menatap Ainun dengan tatapan takjub membut Zander tidak nyaman. "Mas-mas! Ainun mau pesan bakso lava, bakso urat, dimsum kukus extra pedas, mango sticky rise, jus buah naga, sama..." Ainun menggantung ucapannya, matanya masih memincing membaca menu dispanduk. "Apalagi ya.." Ainun bergumam bingung. Pemuda itu malah tertawa pelan karena lucunya wajah Ainun ketika bingung, sontak saja Zander melotot. Lancang sekali, memangnya pemuda itu tidak melihat kehadirannya?! "Kenapa kamu senyum-senyum?" Zander bertanya agak sewot. Sontak pemuda itu mengatupkan bibirnya da langsung menunduk, lalu bergumam kata maaf. "Maaf Pak.." "Sama.. thaitea rasa milo. Udahlah, kayaknya Nunuy itu dulu deh." Putus Ainun, bingung dengan berbagai pilihan yang hampur semuanya menggiurkan. Ainun melirik Zander. "Kalo Akang mau makan apa?" Tanyanya. Dahinya sempat mengernyit kala melihat tatapan tidak suka Zander pada Mas-mas disampingnya. Tapi Ainun mengacuhkan itu, tidak peduli, yang terpenting sekarang ini hanyalah jajan sebanyak mungkin. Jangan menyia-nyiakan traktiran! "Akang mau pesen bakso urat sama es teh aja." Ainun mengangguk, selepas Mas-mas itu pergi dirinya hanya diam. Tidak tahu harus mengobrolkan apa dengan lelaki dihadapannya, mau ngobrol tapi Ainun kesal dengan lelaki ini, diam saja malu karena Zander-lah yang membayari jajannya kali ini. "Akang emang gak ada kerjaan lagi?" Zander langsung mengalihkan fokusnya. "Kerjaan apa?" Ujarnya seraya memasukkan ponselnya kedalam saku. Ainun mengedihkan bahu. "Ya Nunuy mana tau, tapikan mana mungkin anak bungsunya Uncle Zak cuma jadi guru. Perusahaan dia-kan banyak, masa iya cuma dikasih sama Mas Raka?" Benarkan? Zakaria tidak semiskin itu, Abinya bilang jika sahabatnya itu orang yang cukup kaya raya untuk membagikan harta kepada kedua anaknya. Andai saya gadis ini tahu, jika Zander melakukan ini semua untuknya. Termasuk mengorbankan waktu dua puluh empat jam hanya untuk bertemu Ainun. "Akang emang punya pekerjaan lain, tapi untuk kali ini lumayam senggang kok. Jadi gakpapa, lagian juga Akang ikut-ikutan ngiler sama bakso yang kamu bilang itu." Jawab Zander. Kepala Ainun mengangguk pelan, sekatang ini tidak mau terlalu kepo dengan pekerjaan lain dari Zander. Mungkin lain kali, ya walau hubungannya dengan Zander tidak terlalu baik tapi Ainun sangat penasaran. Mengapa lelaki ini tiba-tiba datang kekehidupannya, langsung sok akrab dan seolah menguntit pergerakannya. Mencurigakan! "Kok Akang jadi guru sih? Emangnya kerjaan Akang yang satunya gak cukup buat beli beras?" Pertanyaan polos itu sukses membuat Zander tertawa. "Akang gak ada urusan soal beli membeli bahan makanan, itu urusan Umi." Zander mengelap meja dengan tissue, lalu kembali melanjutkan. "Akang-kan udah bilang kalau mau ngebantu Pak Ramzi, kebetulan Pak Ramzi itu temannya Bang Raka waktu sekolah." Kembali, Ainun mengangguk. Dirasa sudah tidak ada topik pembicaraan, Ainun memilih untuk melihat sekeliling. Kedainya sangat mirip dengan gambar yang ada sosial media, sesuai caption tempat ini cukup romantis untuk ukuran makan bakso. Dapat Ainun lihat juga banyak pasangan muda-muda, ada juga yang masih berseragam seperti dirinya. "Kalo menurut Akang, tempatnya terlalu romantis untuk ukuran makan bakso." Mata Zander bergerak meniliti sesisi kedai. Ainun langsung menoleh, kepalanya mengangguk setuju. "Iyah, terlalu pacaran-able. Tapi mungkin itu emang sengaja dijadiin daya pikat, supaya banyak yang dateng apalagi muda-mudi. Selain tempatnya romantis disini juga instagrame-able, banyak spot foto bagus." Mata Ainun berhenti pada tembok putih dengan berbagai bunga dengan warna pastel, sangat cantik. Zander mengikuti arah pandangan Ainun. "Nunuy mau foto disana?" Tanyanya. Ainun langsung menunduk, lalu menggeleng kecil. Untuk apa dirinya berfoto disitu? Toh ia tidak punya sebuah sosial media untuk memamerkan foto, bukannya tidak bisa tapi tidak boleh dengan keluarganya. Kata mereka, sosial media itu situs yang kurang cocok untuk kepribadian Ainun. Awalnya Ainun membantah dan tetap keras kepala ingin mempunyai, dan saat itu kakaknya yaitu Bian membiarkan Ainun membuat i********:. Baru beberapa hari pemakaian, Ainun langsung merengek agar instagramnya dihapus. Jadilah ia hanya mempunyai w******p, sms, dan telepon saja. Dahi Zander berkerut, "kenapa? Karena takut dikira jomblo ya? Gakpapa, nanti biar Akang yang ada disamping Nunuy. Ayok!" Ajaknya lagi. Mata Ainun langsung mendelik. "Dih apaan deh, Nunuy mah gak pernah takut dikira jomblo. Ainun-mah cuma takut dikira gak punya orangtua, masa belum muhrim foto berdua dempet-dempetan!" Ketus Ainun. Benar juga, Zander langsung meringis. Sepertinya ia harus memperbaiki ilmu agamanya lagi agar bisa lebih dekat dengan Allah swt. Dan juga agar Allah swt. memudahkan jalannya agar segera menghalalkan gadis yang sedang asik mengupil didepannya ini. "Nunuy emang gak malu ngupil didepan Akang?" Tanyanya dengan senyum geli. Gadis itu tetap fokus mengorek hidungnya, membuat Zander mengangkat alisnya antara geli, bingung, dan tak percaya. Setelah Ainun mendapatkan apa yang dicari, gadis itu menempelkannya pada meja. "Enggak tuh, kalau Akang jijik bisa pindah kelain meja." Jawabnya acuh. Zander tersenyum, sempat terdiam sebentar. "Ainun mau dengar sebuah hadist tentang kebersihan gak?" Tanyanya lembut, mencoba berhati-hati agar perempuan dihadapannya ini tidak tersinggung. Perempuankan baperan. Ainun terdiam sebentar, tak lama mengangguk. Sebenarnya Ainun sangat suka mendengarkan tausiyah, terlebih tausiyah dari ust. Hanan attaki suaranya yang lembut, serta tuturnya yang menyenangkan itu membuat siapa saja betah berlama-lama mendengar ceramahnya. "Boleh." Sebelum membacakan hadist, Zander lebih dulu tersenyum. Pengalihan karena dirinya itu agak sedikit lupa, ketika merasa sudah mengingat semuanya, Zander langsung berucap: Janganlah seseorang dari kalian kencing di air yang menggenang; yang tidak mengalir, lalu dia mandi menggunakan air tersebut. (HR. Bukhori) Ainun mengerjap pelan, sedikit terpesona dengan suara Zander barusan. Walaupun pengucapan hadistnya secara sederhana, tapi entah mengapa hatinya tentram. Menurutnya, sesederhana apapun nadanya jika mendengar seseorang melantunkan ayat suci al-quran ataupun hadist akan tetap menentramkan hati. "Itu maksudnya apa Kang?" Tanya dengan senyum manis, moodnya tiba-tiba naik. Astagfirullah, Nuy. Kenapa harus senyum sih? Semua yang ada diotak Akang tiba-tiba ilang, ngeblank. Zander tersenyum, menyembunyikan gugupnya. Setelah beristigfar beberapa kali, semuanya terkendali. "Larangan ini tuh mencakup air mengenang yang sedikit maupun banyak. Karena tindakan itu dapat menimbulkan rasa jijik dan ketidak nyamanan dari orang." Ainun dengan khidmat mendengarkan, suara Zander memang tidak selembut ust. Hanan attaki, tapi Ainun menyukainya! "Terus terus?" Tanyanya antusias. "Jadi, kita tidak boleh membuang kotoran sembarangan apalagi ditempat umum. Karena itu bisa membuat oranglain  tidak nyaman. Berdasarkan hal tersebut, disimpulkan bahwa membuang kotoran itu hukumnya makruh. Bila ditinggalkan akan mendapat paham, bila dikerjakan tidak mendapat dosa. Nunuy tau kan? Kalau agama islam itu, agama yang sangat menghargai dan menjaga perasaan oranglain." Jelas Zander, dalam hati bersyukur. Tidak ada yang dilupakan dari hadist tersebut. Dahi Ainun mengerut, kotoran? Membuang kotoran sembarangan? Kepala Ainun menunduk, memandanh kotoran yang sengaja ia tempel dimeja. "Berarti ini.." Ainun menujuk kotorannya. "Salah ya Kang?" Zander mengulum senyum. "Menurut Nunuy gimana?" Ujarnya berbalik bertanya. Mata Ainun mengerjap pelan, berpikir. "Salah.." jawabnya pelan. Lalu dengan cepat, mengambil tissue dengan mengelapnya setelah itu mrmbuangnya ketong sampah yang berada tidak jauh dari tempat mereka duduk. Melihat Ainun yang langsung patuh, membuat Zander tertawa geli. Otaknya kembali mengkhayal mengenai hiruk-pikuk rumah tangganya nanti. Dalam khayalan itu terselip sebuah harapan, agar khayalan itu menjadi kenyataan. Tak lama kemudian, pesenan mereka datang. Wajah Ainun yang menurut Zander sangat cantik itu langsung sumringah, sangat bahagia seolah baru mendapatkan sebuah harta karun. "Yeay! Ayok kita makan!" Serunya. Lalu dengan tiba-tiba menutup mulutnya. "Kenapa?" Tanya Zander. Ainun agak mendekatkan kepalanya. "Takut teriakan Nunuy menganggu oranglain, kan kita orang islam jadi harus menghargai dan menjaga perasaan oranglain." Bisiknya pelan, lantas setelah itu langsung menyambar bakso-baksonya. Selepas itu mereka makan dengan khidmat, bersamaan dengan itu Zander dibuat bergidik ngeri oleh Ainun yang sepertinya sangat menyukai pedas. Isi bakso lava itu sudah sambal, tapi Ainun masih menambahkan sambal lagi. "Udah Nuy, jangan pedes-pedes. Nanti kamu sakit perut." Titah Zander. Entah kenapa Ainun langsung menurut, lalu kini beralih menyambali mangkuk baso urat miliknya. Setelah itu Ainun kembali melahap baksonya, "hah! Huh! Hah! Huh!" Bibir Ainun bergetar ketika panasnya bakso menerma lidahnya, untuk mengunyah saj Ainun tidak bisa. Mata Zander membelak. "Hati-hati atuh Nuy, masih panas juga. Orang-mah biarin dulu." Zander bangkit melihat-lihat meja lain, mencari tissue karena dimeja mereka tissue sudah habis. Ainun yang tidak kuat-pun langsung menyemburkan bakso kecil tersebut, matanya langsung membelak kaget ketika baksonya malah mendarat dies teh milik Zander. "Astagfirullah, naha iyeu." Gumamnya panik. Zander datang membawa satu kotak tissue, lalu duduk. "Loh, baru aja Akang mau masih tissue." Ujarnya seraya meminum es teh, dahinya mengernyit ketika ada bakso yang nangkring disana. "Loh, emang es teh ada varian baksonya ya?" "Akang... itu teh baksonya Nunuy." Lirih Ainun pelan, dengan mata yang berkaca-kaca. Ainun takut jika Zander akan marah dan batal mentarktirnya, kan Ainun sudah memesan banyak. "Buset, kok bisa nyemplung kesini?" Tanya Zander, "loh kok Nunuy nangis?" serunya kaget ketika Ainun malah meneteskan air mata. Ainun mulai sesenggukan, tangannya mengusap pipinya pelan. "Maafin Nunuy ya Akang, Nunuy gak sengaja. Jangan marah dan batalin traktirannya, Nunuy udah pesen banyak. Kalau bayar sendiri kasihan sama kantong Nunuy." Sontak saja Zander tertawa, kepalanya menggeleng melihat tingkah aneh gadis dihadapannya. "Ya ampun Nuy, gak bakal kok." Jawaban tersebut menerbitkan senyum manis Ainun. "Beneran?!" Tanyanya antusias, yang diangguki pelan oleh Zander. Setelah bergumam hamdalah, Ainun kembali memakan makanan yang sudah dipesannya. Bakso urat Zander bentar lagi habis, tapi Ainun masih harus menghabiskan tiga makanan lagi. Leutik-leutik badogna gede. *** Pukul 05:00 Pm "Alhamdulillah." Zander mengucapkan hamdalah setelah sampai didepan rumah Ainun, sang pemilik rumah malah tertidur disana, mungkin kekenyangan. Karena tidak ingin menganggu tidur Ainun, Zander keluar untuk memanggil seseorang yang bisa menggendong Ainun. Dahinya mengkerut kala melihat kedua orangtua Ainun, dan kedua kakak Ainun tengah berdiri didepan pintu utama. Nadia—Ami Ainun, tengah menangis dalam pelukan suaminya. Disana juga ada kedua orangtuanya. Zander melangkah mendekat. Lalu mengucapkan salam. "Assalamualaikum.." setelahnya Zander bersaliman dengan semuanya. Terkecuali Nadia yang masih sibuk dengan tangisnya. Zander semakin penasaran, sebenernya ada apa ini? Apakah ada musibah? Wajah mereka terlihat sangat panik dan juga khawatir. Zander mendekat kearah Zakaria. "Kok Abah ada disini? Terus kenapa tante Nadia nangis?" Tanyanya agak berbisik. "Ainun hilang..." mata Zander membelak mendengar jawaban sang Ayah. Jadi semua ini karena ketidak adaan Ainun? Mengapa mereka mengira Ainun hilang. "Kita semua udah nyari selama berjam-jam, tapi gak ada. Gak bisa lapor polisi juga karena belum dua puluh empat jam." Melia melanjutkan. Zander tiba-tiba saja gemetar, sepertinya akan ada orang-orang yang mengamuk. "Om Anam.." panggilnya dengan suara gugup. Anam langsung menoleh, walaupun tengah menenangkan sang isteri. Kentara sekali jika wajah itu menyiratkan khawatir yang begitu besar. "Disini ada yang bisa gendong.. Ainun?" Dalam seperkian detik, semua mata langsung tertuju kepadanya. Termasuk Nadia. "Ainun.. ada dimobil saya. Dia lagi tidur. Dia tidur dibangku belakang." Nadia langsung menghapus air matanya. "Ainun ada sama kamu Zan?" Tanya Nadia, dengan suara serak sehabis menangis. Belum Zander menjawab, Nadia dengan cepat berlari kearah mobil Zander bersama dengan Azka yang sangat panik bukan kepalang. "Kenapa dia bisa sama kamu?" Zakaria bertanya dengan kernyitan dahi. "Tadi Ainun pengen makan bakso, terus Zander an-" Zander terkejut ketika Anam menarik kerah bajunya. Ekspresi wajahnya masih santai. "Zak, Mel, gue minjem anak kalian dulu ya." Setelah itu Zander ditarik kehalaman yang cukup luas. Belum juga mengutarakan pertanyaan, sebuah pukulan sudah menyambutnya. Kali ini, bukan tusukan dibokongnya tapi benar-benar bogeman keras yang sangat luar bisa. Ini adalah kali pertamanya ia mendapat pukulan ini, Anam membabi buta. Emosinya membuncah, bahkan Zander merasa darah keluar dari bibir dan juga hidungnya. Anam yang kini tengah memukulnya seperti oranglain, bukan Anam yang jenaka dan bobrok. Setelah puas, Anam berhenti dengan napas tersengal. Meninggalkan Zander yang terkapar lemas begitu saja. Anam dengan cepat berlari, melihat keadaan sang puteri. Melia mendekat, merasa kasihan dengan sang putera tapi juga kesal. Dirinya juga termasuk pihak yang panik kalah Ainun dinyatakan hilang. "Ada-ada aja kamu-mah, hobby banget sih ngundang emosinya si Anam." Zander hanya bisa meringis, mencoba bangkit dengan bantuan Zakaria. "Maaf Umi.." lirihnya. Matanya menatap kearah Bian yang mendekat. "Masuk dulu ya Om, kita obatin didalam." Setelah mengucapkan itu Bian meninggalkan ketiganya. Zakaria menarik telinga puteranya seraya memapahnya untuk masuk, dibantu Melia. "Kalau Abang kamu tau, abis kamu diketawain."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD