"Maaf ya Nun, Abang ada latihan untuk lomba. Jadi gak bisa anter kamu pulang, ms. Lala nyuruh buru-buru terus." Tukas Azka kesal mengingat guru yang menjadi pembimbingnya itu.
Bahu Ainun merosot sedih, matanya menatap Azka dengan sorot memelasnya membuat Azka yang melihat-pun merasa kasihan. "Yah, padahal-kan Ainun mau minta temenin makan bakso. Ainun pengen banget makan bakso larva!" Lirih Ainun dengan manja.
Memang dasarnya kembar absurd, mereka dengan tidak tahu malunya malah berpelukan didepan kantor menghiraukan berbagai pandangan orang yang berlalu lalang. "Lava Nun, bukan larva." Azka meralat sambil mengusap punggung sang adik.
Bibir Ainun berdecak, lalu menghentakan kakinya. "Atuh iya, pokoknya itu! Ainun pengen makan bakso yang isinya cabe semua itu Abang.." kini Ainun sudah merengek.
Azka melepas pelukannya, menatap seonggok daging yang dahulu berbagi tempat diperut sang Ibu dengan dirinya. "Kalau mau makan bakso lava telpon Abi aja, atau Bang Bian. Mereka pasti nganterin Inun kok." Tukasnya memberi pengertian.
Tetapi Ainun tetap menggeleng, "gak mau! Kan Ainun mau nge-baksonya sama Bang Azka. Bukan sama Abi atau bang Bian!" Rengek Ainun lagi.
Helaan napas Azka terdengar, dirinya menjadi serba salah sekarang. Pertahanannya untuk latihan menjadi goyah melihat wajah memelas adiknya. "Ya gimana Nun, Abangkan sebentar lagi mau lomba. Emang Inun gak mau Abang menang?"
Gelengan kembali menjadi jawaban Ainun. "Gak mau, kalau Abang mau menang berarti harus latihan terus dan kalau latihan terus nanti Ainun kesepian gak punya temen."
Jawaban Ainun itu sukses membuat Azka terdiam, ternyata alasan adiknya yang selalu menghalanginya latihan adalah karena kesepian. Walaupun ada Ami dirumah, Ainun itu tetap gen Anam alias tidak suka ketenangan, mengingat Nadia itu sangat anggun. Ainun itu lebih senang mempunyai partner heboh, dan yang pasti Ainun sudah sepaket dengan Azka.
Mendengar curahan sang adik membuat mata Azka berkaca-kaca, bukan karena tersentuh tapi karena Azka memang sudah kodratnya lebai. "Hue, sini peluk Abang." Dan mereka-pun kembali berpelukan, saling mengerung seperti menangis tapi nyatanya tidak ada satu air mata-pun yang menetes.
Zander yang berniat mengikuti Ainun-pun senang melihat gadis itu berada tidak jauh dari ruangannya, tapi dahinya mengernyit melihat Ainun tengah berpelukan dengan Azka. "Ngapain lagi sih mereka itu?" Tanyanya tak habis pikir. Karena penasaran akhirnya Zander melangkah mendekat.
Azka dengan dramatisnya mengusap bawah matanya, seolah air mata ada disana. "Abang janji, nanti setelah lomba selesai Abang akan selalu temenin Ainun makan bakso. Mau bakso lava, bakso lempeng selat sunda, atau bakso mamah muda. Abang bakal temenin pokoknya!"
Mendengar itu kepala Zander mengangguk kecil dengan bibirnya yang membentuk lingkaran, ternyata karena soal teman menemani berkuliner bakso. Zander tersenyum, satu fakta yang ia ketahui tentang gadisnya. Ainun itu suka makan bakso.
Tak lama kemudian, ms. Lala dengan terpogoh-pogoh datang lalu langsung berkacak pinggang melihat murid bimbingannya malah asik berpelukan. Dengan kesal, Lala-pun memisahkan pelukan itu secara paksa. "Bukannya latihan malah peluk-pelukan disini!" Omelnya.
Azka dengan tak rela-pun melepas pelukannya. "Ih ms. Lala! Ibu gak akan pernah bisa merasakan ikatan batin yang kuat antara saya dengan Ainun!" Jeng jeng jeng, Azka malah berseru heboh dengan dramatis didepan kantor.
Zander memutar bola matanya malas, sebelum terjadi adu mulut antara guru dan murid Zander buru-buru mencela. "Udah Ka, biar saya saja yang anter Nu- maksudnya Ainun ketukang bakso, sekalian antar dia pulang." Sahutnya.
Ainun menoleh, kaget mendengar suara lelaki yang sangat sensitif bagi dirinya. "Loh, Kang Omeh ngapain disitu?" Ujar Ainun, agak sinis. Karena belakangan ini ia menyadari jika lelaki matang itu agak mengikutinya.
"No! Saya gak mau, biarin aja Ainun pulang naik mobil. Biar saya telfon orang untuk jemput dia." Tolak Azka mentah, enak saja! Bukan karena lelaki itu guru dirinya bisa diperdaya begitu saja.
Lala dengan kesal menjitak kepala Azka. "Heh ikan mujaer! Bukannya alhamdulillah ada yang mau nganter adik kamu, dia itu guru loh! Kenapa kamu tolak begitu!" Serunya marah.
Azka meringis sambil mengusap kepalanya. "Sst, haduh Miss ngejitak pake genjutsu ya? Sakit bener!" Keluhnya. "Bukannya saya menolak Miss, tapi-kan Mr. Zander ini guru baru. Saya belum tahu t***k ketek bengeknya gimana, kalau adik tercinta saya diapa-apain gimana?"
Lala kembali berkacak pinggang. "Nurut gak kamu! Kalau tetep bilang enggak, Ibu sunat pake pedang samurai nih!" Ancamnya.
Kepala Ainun pening, padahal dirinya hanya ingin makan bakso tapi mengapa harus membuat berbagai pihak beradu mulut. "Udah-lah Bang, gakpapa aku nunggu supir aja. Biar bapak supir aja yang anter aku makan basko."
"Emang gakpapa? Nanti-kan kamu keliatan kayak jomblo, terus gak ada yang jagain kamu. Bapak supir-kan kerjaannya molor mulu." Ujar Azka.
Ainun mendengus. "Ya emang Inun jomblo, gak jauh beda sama Abang!" Sewotnya yang dijawab ringisan Azka. "Gakpapa-lah Bang, kalau Inun digangguin-kan tinggal telfon Abi sama Bang Bian." Ujar Ainun mencoba meyakinkan.
Zander diam-diam menghela napas, sepertinya Ainun masih enggan untuk berdekatan dengannya. Mengingat memang dirinya masih orang baru, apalagi ditambah kesan buruk yang diberikannya kemarin, Zander benar-benar kesal dengan dirinya sendiri. Tapi, Zander tidak akan menyerah. Walaupun Ainun mengacuhkannya, ia akan berusaha membuat benih-benih cinta tumbuh dihati polos gadis kesayangannya itu.
Helaan napas terdengar dari bibir Azka. "Yaudah deh." Putusnya. "Tapi inget ya! Jangan terlalu banyak makan pedes-pedesnya, nanti Inun beraknya mencret! Terus jangan kebanyakan minum es asem-asem." Potongnya cepat, memperingati adik kesayangannya yang nakal itu.
Ainun mengangguk patuh, hanya mengangguk saja. Belum tentu menjalankan perintah sang kakak. "Yaudah, Ainun mau nunggu di Halte aja ya." Ainun menyalimi tangan Azka, dan juga Lala. Tapi tidak dengan Zander, gadis itu langsung beranjak setelah mengucapkan salam.
"Kok dia gak salaman sama mr. Zan sih?" Gerutu Lala kesal.
"Kan bukan muhrim Miss." Azka melenggang masuk, meninggalkan gurunya yang sudah menampilkan wajah garangnya. Kok malah dirinya yang ditinggal sih? Ck!
Dilain sisi, Zander langsung berlari. Diam-diam mengikuti langkah riang gadis kesayangannya itu, Ainun itu terlihat sangat imut ketika memakai seragam serba putih apalagi ketika memakai hoodie warna biru pastel.
Zander terkejut ketika sebuah tangan menariknya untuk berhenti. "Ck, apaan sih Bang! Ngagetin orang aja sih!" Tukas Zander kesal, apalagi mengetahui jika itu ulah sang kakak.
Raka mengernyit bingung. "Kenapa kamu? Baru ketemu udah marah-marah?" Tanyanya, tapi tidak ada jawaban. Zander sibuk memperhatikan kearah Ainun, gadis itu sudah semakin menjauh. Apalagi digerbang sana pasti sangat ramai, tubuh mungil gadisnya pasti akan terhimpit.
Raka tambah kebingungan, matanya mengikuti arah pandangan sang adik. Tapi, yang dilihatnya adalah segerombolan murid yang akan pulang. "Kamu liat apa sih Zan?"
Zander menoleh seraya berdecak. "Abang ada perlu apa sih sama aku?" Bukannya menjawab, Zander malah balik bertanya ditambah dengan wajah kesal dan nada yang ketus.
"Heh, biasa aja dong tuh muka!" Seloroh Raka sambil menonyor kepala sang adik. "Abang cuma mau mau nanya doang, kamu mau kemana? Ada acara gak nanti malem? Soalnya-kan nanti malem itu pertemuan keluarga kita sama keluarga Arum."
Zander mengusap kepalanya dengan frustasi. "Kan nanya pas dirumah bisa? Kenapa harus disini sih! Aku masih banyak urusan, Assalamualaikum!" Zander buru-buru berlari, meninggalkan Raka yang menatapnya penuh kebingungan.
Zander terus berlari, matanya bergerak mencari objek yang ditujunya. Gerbang mulai longgar, tidak ada tanda-tanda gadis berhoodie biru pastel disana.
Mengingat suatu tempat, Zander buru-buru berlari kesana. Kosong, di Halte-pun tidak ada tanda-tanda keberadaan Ainun. Bahkan Halte kosong karena sebagian besar murid membawa kendaraan.
Zander berdecak, mengusap wajahnya furstasi. Sepertinya dirinya gagal untuk mengikuti Ainun, pasti gadisnya itu sudah dijemput. Zander juga tidak mungkin mendatangi seluruh kedai bakso. Ketika akan berbalik, matanya menatap gadis yang berjalan menuju kearahnya. Dengan plastik berisi jajanan.
"Um.. ternyata kayak begini toh bentuknya." Ainun duduk dibangku halte, menatap jajanan ditangannya. Jajanan yanh tidak mungkin didapatkan jika Ainun tidak seorang diri.
Baru saja bibirnya terbuka, jajanan tersebut sudah direbut secara paksa. Ainun pastinya terkejut, ia kira orang yang merebutnya adalah Abi atau kedua kakaknya tapi ternyata om-om jelek. "Ih Akang Omeh! Balikin jajanannya!" Seru Ainun.
Zander menggeleng tegas, ditatapannya jajanan yang berada didalam plastik tersebut. Ada bercak hitamnya, penuh dengan minyak, serta berbau gosong yang tidak sedap. "Nunuy jajan sembarangan ya?" Tanyanya seraya duduk disamping Ainun.
Pipi Ainun mengembung. "Ih, apaan sih Akang nih. Nunuy gak jajan sembarangan, cuma jajan dipinggir jalan doang! Balikin gak!" Tukasnya kesal, mencoba menggapainya tapi Zander malah menjauhkannya.
"No, no, no." Zander menggeleng tegas. "Nunuy tau-kan kalau jajan sembarangan itu gak baik? Kita gak tau bahan yang dipakai itu sehat atau enggak. Lihat deh, ini pasti pakai minyak yang udah lama."
Mata Ainun memutar dengan ketus, Abi dan kedua kakaknya tidak ada. Eh, Om-om jelek ini malah muncul dan menhhancurkan segalanya. "Yaudahlah seterah, jauh-jauh sana!" Usir Ainun, lalu bergerak untuk duduk menjauh.
Bungkus plastik berisi jajanan tersebut Zander lempar kearah tong sampah. "Nunuy emang laper?" Zander bertanya, tapi tidak ada jawaban. "Kalau laper, ayok Akang anter. Dikantin-kan masih banyak makanan, ada nasgor dan ketoprak. Kalau jajanan kaya begitu-kan kurang sehat, dan gak ngenyangin pula." Dengan nada selembut mungkin Zander menjelaskan.
Tapi, Ainun masih saja diam. Gadis itu duduk dengan mata yang menatap kearah lain. "Pak supir lama amat sih!" Gumamnya menggerutu.
Mendengar hal itu Zander langsung menatap arloji ditangan kanannya. "Kamu masa lupa? Jarak rumah kamu sama sekolah itu jauh, butuh waktu lima belas sampai tiga puluh menit."
Mata Ainun bergerak, tanda sedang berpikir. Kalau diingat-ingat betul juga, Pak Supir tidak mungkin datang dengan cepat waktu. Tapi bagaimana dengan baksonya? Kedai bakso yang akan ia datangi-kan selalu ramai, pasti jika kesorean sedikit saja bakso yang diincarnya akan habis.
Melihat rengutan wajah Ainun membuat Zander tersenyum. Sepertinya ada kesempatan. "Kalau Akang denger, sekarang itu lagi booming-boomingnya bakso lava ya? Biasanya kalau lagi booming begini bakal cepet abis, kamu kok gak buru-buru?" Ujar Zander mempengaruhi.
Kening Ainun kembali mengerut, membenarkan apa yang diucapkan barusan. "Ya gimana! Wong Bapak supirnya belum dateng, gimana sih!" Jawabnya sewot.
Zander mengangguk-anggukan kepalanya pelan. "Iyah juga ya, tapi-kan sekarang jam satu siang. Pasti lagi macet-macetnya, ini kan jam istirahat kantor." Zander kembali mengompori.
"Biarin, sabar aja! Buah dari kesabaran itu pasti indah!" Ainun membalasnya kembali dengan sewot.
Zander terdiam, kali ini jawaban Ainun tidak bisa dibalas karena memang harus dibetulkan. Otaknya kembali berputar, memikirkan cara apa lagi yang bisa dirinya pakai. "Daripada kelamaan mending sama Akang aja, gimana?" Ujar Zander pelan.
Mata Ainun melotot karna terkejut, lalu setelahnya ia menoleh ditatapnya Zander dengan mata yang memincing curiga. "Akang Omeh pasti sengaja-kan ngompor-ngomporin Nunuy? Ngaku deh! Lagian juga Bapak supir-kan bisa lewat jalan tol, mana mungkin macet!"
Cara kedua-pun gagal, Ainun kembali memberikan jawaban yang tidak bisa ia balas kembali. Lagi, Zander harus memikirkan cara paling ampuh untuk mempengaruhi otak cerdik gadisnya.
Bibir Zander menyinggungkan senyum manis. "Ya bisa dibilang begitu sih, niat Akang-kan baik mau anter Nunuy. Atau.. Akang bilangin sama tante Nadia kalau Nunuy jajan sembarangan tadi. Gimana?" Zander menaik turunkan alisnya dengan jahil.
Mata Ainun menatap Zander dengan tajam, alisnya bertaut. "Apaan sih Akang! Gak lucu tau main ancem-anceman, kaya b***k leutik!"
"Eits, jangan marajmh dulu." Potong Zander cepat melihat Ainun melengos dengan wajah marah. "Ancaman Akang itu menguntungkan Nunuy loh, kalau Nunuy mau ikut Akang gak akan ngadu keTante Nadia plus Akang bakal traktir Nunuy sepuasnya!"
Mata Ainun melirik sekilas, tawaran akhir itu terdengar sangat menggiurkan. Sebagai informasi, Ainun adalah gadis yang sangat suka ditratir. Lah emang siapa yang gak suka ditraktir? Ainun sangat menyayangi uangnya, setiap uang jajan akan ditabung dibank. Walaupun diberi uang jajan, tapi ketika ingin membeli sesuatu Ainun akan meminta uang lagi.
Harap-harap cemas, itu yang dirasakan Zander. Yang ia ketahui, Ainun sangat menyayangi uangnya dan suka sekali ditraktir. Selain bisa pendekatan dengan Ainun, dirinya juga bisa bersama Ainun.
"Mau gak nih? Untuk tawaran yang ini waktu untuk memutuskannya cuma sedikit. Akang bakal kasih waktu selama sepu-"
"Yaudah iya, Nunuy mau!"
Gotcha! Zander bersorak dalam hati, dengan senyum merekah ia-pun bangkit. "Yaudah, Nunuy tunggu disini dulu ya? Akang mau ambil mobil. Gak lama kok, sebentar doang." Zander langsung berlari, dengan hati yang bergemuruh bahagia.
Ainun hanya menatapnya dengan jengah, ia memilih untuk menghubungi Ami-nya jika hari ini ia akan pulang terlambat karena akan jajan gratis, uhuy! "Yah, pake lobet segala." Ainun menatap lesu ponselnya. "Udah-lah gakpapa, kan udah bilang sama Bang Azka."
Ainun memasukkan kembali ponselnya, tak lama kemudian mobil lamborgini berwarna hitam terpampang dihadapanya, seorang pria tampan keluar dengan setelah jasnya. "Hadeh, sok kegantengan amat." Ledeknya seraya bangkit, melewati Zander yang menyengir. Tak apalah, yang penting bisa jalan-jalan bersama Ainun.
Zander menutup kap mobil Ainun, lalu berlari memutari mobil. "Dimana kedai baksonya?" Tanya Zander sambil menyalakan mobil.
"Dijalan srikandi, pas diperbatasan. Nanti juga kelihatan, kedainya paling heboh." Jawab Ainun sembari memakai sabuk pengaman.
Zander tersenyum lalu mengangguk. "LET'S GO!"