Inun! Bukan Nunuy!

2605 Words
Suara tepuk tangan bergemuruh di Aula besar ini, hari ini adalah hari dimana peresmian Raka sebagai pemegang seluruh Yayasan milik Zakaria. Dihadiri berbagai kolage bisnis, petinggi negara dan juga seluruh murid Yayasan ini. Kalau saja bukan karena ingin bertemu dengan gadis kesayangannya, sudah pasti Zander menolak duduk disini disamping kedua orangtuanya, dan diapit orang-orang penting negeri. Zander pasti akan memilih duduk ditempat terpisah, agar dianggap sebagai tamu saja. Setelah Raka memberikan pidato singkat, atau bahkan sangat singkat dia turun. Dan yang pasti setelah itu Raka langsung memeluk dan mencium tangan kedua orangtuanya, baru setelah itu Zander. Zander terlihat menyodorkan bunga sebagai tanda selamat. "Congratulation ya Bang, semoga Yayasan gak ancur gara-gara Abang yang pegang." Kelakarnya. Mendengar ledekan itu Raka mendengus sembali mendelik sebal. "Enak aja ya kamu! Gini-gini juga Abang itu bertanggung jawab, eh iya! Tumben banget kamu ngasih Abang bunga? Udah sadar ya kalau selama ini jadi adik durhaka?" Raka menaik-turunkan alisnya, menggoda sang adik. Zander memutar bola matanya malas, lalu berdecih. "Ck! Itu-tuh Bunga yang beliin Umi, katanya biar keliatan sebagai adik-kakak yang romantis. Kalau bukan disuruh Umi, Gema juga ogah. Ngebuang-buang duit buat hal yang gak berguna." Balas Zander ketus. Mata Raka melotot, lalu dengan gemas merangkul Zander dengan kencang. Mencekik leher sang adik dengan lipatan ketiaknya. "Kurang asem ya kamu.." gumamnya gemas. Melia maupun Zakaria hanya bisa geleng-geleng kepala saja. Kedua puteranya itu memang bertolak belakang, jadinya setiap hari pasti ada saja yang diributkan seperti sekarang ini. Ya walaupun, beberapa menit kemudian akan akur kembali. Zakaria menepuk pundak sisulung. "Jadilah lebih baik Raka, kamu sudah memegang tanggung jawab yang semakin besar. Kalau bingung ataupun kesulitan, jangan pernah sungkan untuk bertanya pada Abah. Sedewasa apapun kamu sebagai seorang kakak untuk Zander, kamu tetap putera kecil untuk Abah." Sikapnya yang dingin, wajahnya yang selalu flat kecuali kepada isterinya. First impresion orang yang melihatnya pasti sangat buruk, padahal kenyataannya Zakaria adalah tubuh terhangat serta wajah terbaik untuk putera-puteranya. Raka tersenyum haru, lalu lagi-lagi memeluk sang Ayah. "Makasih Bah, Raka janji gak akan nakal lagi. Raka bakal berubah untuk Abah dan Umi, Raka gak akan jalan sempoyongan lagi." Lirih Raka sembari memeluk tubuh Ayahnya, tak terasa air mata mengalir begitu saja. Mendengar perkataan sang putera membuat sudut bibir Zakaria tertarik keatas. Tangan besar mengusap pundak sisulung, puteranya yang terlihat brutal dan nakal padahal dia adalah Kakak terbaik untuk adiknya. "Kamu itu kakak terbaik untuk Zander, dan juga sisulung terhebat untuk Abah. Jangan kecewakan kami, hiduplah dengan baik. Umur kamu sebentar lagi menginjak tiga puluh tahun, jadilah pria dewasa yang baik." Setelah beberapa saat mereka-pun melepas pelukannya, Raka mengangguk dengan tangan yang mengusap matanya lalu tak lama terkekeh. "Raka gak nangis ya! Ini gara-gara parfum Abah yang menyengat, mata Raka jadi panas dan ngeluarin air." Ucap Raka cepat, masih dengan kepala yang menunduk. Ya begitulah Raka, prinsipnya itu dia harus jadi orang paling hebat dimata adiknya, yaitu Zander. Melia mengusap kepala Raka dengan lembut. "Umi harap, kamu lebih memahami soal kedudukan serta perasaan perempuan ya. Umi pengen kamu sekarang stop php-in mereka, umur kamu sudah pas untuk menikah." Tukas Melia pelan, bukan tanpa alasan ia mengatakan itu. Putera sulungnya memang suka memodusi banyak perempuan. Mendengar hal itu Raka tersenyum, diciumnya kedua tangan malaikatnya. "Umi tenang aja, Raka gak bakal php-in cewek lagi. Lagian, mereka aja yang baper padahal Raka gak pernah ngapain-ngapain, wajar aja sih Raka-kan ganteng." Jawab Raka dengan kelakarnya. Suara Zander yang berlagak muntah langsung menyahut. "Ueeg! Astagfirullah, bau busuk dari mana ini ya Allah!" Serunya sengaja. Disambut tawa kecil Zakaria dan Melia, serta delikan kesal Raka. Raka kembali menatap sang malaikat. "Umi, Raka sudah memutuskan. Kalau beberapa hari kedepan, Raka akan melamar Arumi, calon menantu idaman Umi." Ucapan Raka itu langsung membuat kedua orangtua serta sang adik menatapnya. Kemudian, Raka melanjutkan. "Raka mungkin belum mencintai Arumi, tapi Raka yakin kalau Arumi itu perempuan yang mudah dicintai. Doakan Raka ya Umi." Raka mencium kembali kedua punggung tangan malaikatnya. Mata Melia mengerjap pelan. "Ka-kamu serius Nak? Jangan gegabah, Umi gak memaksa kamu untuk cepat-cepat menikah, apalagi menikah dengan Arumi. Umi membebaskan kamu untuk mencari gadis-mu sendiri." Tangan Melia membelai wajah Raka. "Enggak Umi, Raka yakin kalau pilihan Umi itu jauh lebih baik. Insyaallah Raka akan menjadi imam yang baik untuk Arumi." Setelah mengatakan itu, keduanya berpelukan. Dimana Melia sudah menumpahkan air mata saking senangnya, sisulung sudah benar-benar dewasa. Zakaria diam-diam tersenyum, pernyataan yang dirinya terima belakangan ini seolah pertanda jika umurnya sudah menua. Putera-puteranya bahkan sudah menemukan pendamping hidupnya, harapan Zakaria semoga kedua putera kebanggannya itu bisa menjadi pemimpin keluarga yang baik seolah menjadi panglima perang, dan juga menjadi lelaki yang lembut untuk istrinya seolah istrinya adalah kaca yang cepat rapuh. "Yah.. gak seru ah, tadinya Zan mau ngelangkahin Abang. Kok malah Abang yang mau akad duluan sih?" Zander berceletuk dengan wajah kesal, tapi setelah itu terkekeh seraya memeluk sang Kakak mengucapkan selamat serta rasa bangganya. Raka memukul pelan kepala sang adik. "Yaiyalah! Dimana-mana itu kakak harus duluan, makanya kalau suka sama cewek itu ya deketin, jangan cuma diperhatiin diem-diem doang. Kalau cuma ditatap doang mah, gimana mau nyampe akad." Cerocos Raka. Zander mendengus kesal. "Eleh, jangan sok iya ya! Emang Abang ngedeketin Arumi? Enggak-kan?" Selorohnya kesal. "Wih, jangan salah! Beberapa hari sebelum peresmian, kita saling mendekatkan diri. Ternyata, Arumi itu baik dan sholehah." Jawab Raka, terselip rasa bangga dan juga sedikit kekaguman dinada kalimatnya. "Kalau kamu mau ngedeketin cewek itu, harus jaga jarak aman ya? Masih belum muhrim." Melia mengusap pundak Zander pelan, memperingati sibungsu mengenai batasan. "Apa sebaiknya kita kerumah orangtuanya saja? Meminta izin supaya kamu bisa pendekatan dengan puterinya." Zakaria mengeluarkan usulnya. Kepala Zander mengangguk semangat. "Boleh Bah boleh, kalau bisa sih langsung lamar saja. Zan udah gak sabar untuk menikah sama sikesayangan Gema." Celetuk Gema. Raka menonyor kepala sang adik. "Astagfirullah halazim! Kenapa setelah jatuh cinta Kamu jadi alay begini sih, Zan?" Tukas Raka berlebihan. Zander mendengus, lalu melengos. Ketika menoleh, matanya tanpa sengaja menemukan sesosok malaikat kecil. Gadis yang disebut Zander sebagai sikesayangan terlihat berdiri diantara murid perempuan, pipinya tampak memerah karena kepanasan dengan mata bulat yang seperti sedang mencari-cari. Diam-diam Zander tersenyum, melihat peluang yang sudah ada didepan mata seolah kode keras dari sang maha kuasa jika hari ini adalah hari pertamanya, hari pertama Zander untuk memperjuangkan si mempelai perempuan agar Akadnya segara terlaksana. Bissmillah! **** Mata Ainun bergerak kekanan dan kekiri, bibirnya tak henti-henti berdecak dan menghela napas kesal. Suasana di Aula ini cukup ramai, ah tidak! Disini sangat ramai, hari ini adalah hari peresmian pemegang Yayasan baru. Yang Ainun dengar sih pemegang saham yang baru itu masih single dan juga tampan, tapi Ainun tak peduli itu. Omong-omong mengenai acara peresmian Yayasan, kedua orangtua Ainun dan juga Abangnya yang sulung datang. Ainun ingin bertemu mereka untuk pulang bersama, katanya hari ini tidak ada kbm karena peresmian ini.  Kedua temannya, Olla dan Rani tengah dengan khidmat melihat hiburan yang sengaja disediakan. Tapi Ainun masih mencoba melihat-lihat kebawah, tempat orang-orang yang diundang untuk datang. Saking penuhnya bahkan Ainun sampai kepanasan, ia susah bernapas dan juga bisa dipastikan jika pipi dan hidungnya memerah itulah kebiasaan aneh Ainun ketika kepanasan. "Gimana Nun? Abi, Ami, Bang Bian sama si Azka udah ketemu belum?" Olla bertanya dengan merinci anggota keluarga Ainun seraya ikut celingukan.  Kepala Ainun menggeleng kecil, ekspresinya sudah sangat kesal. Bisa dirasakan jika ketiaknya sudah basah oleh keringat, menyerah dengan misi mencari keluarganya Ainun memilih duduk kembali. "Ck! Inun cuma cari Abi, Ami sama Bang Bian, kalau Bang Azka ada latihan murotal, tapi mereka gak ketemu-ketemu, ish! Gak tau ah, Inun kesel banget!" Tukas Ainun seraya menggembungkan pipinya.  Rani yang tadinya sedang fokus kepada hiburan dipanggung kini menoleh. "Abi Ami sama Bang Bian gak bilang apa mereka pake baju model apa gitu, kalau gak duduk dibarisan mana pojok apa tengah dan yang lainnya?" Tanyanya.  Ainun menggeleng. "Ini itu dadakan Rani! Inun tadinya gak ada rencana pulang bareng, kan Inun baru denger kalau hari ini ternyata gak ada kbm." "Lo gak coba telfon aja?" Olla kembali bersuara. "Udah La, tapi gak diangkat." Ainun menjawab dengan nada kesal, rasanya ia ingin menangis. Sudah mah panas, kalau saja tadi ia tidak mencari orangtuanya Ainun tidak akan kepanasan dan teringgal hiburan tadi. Dirinya memang bodoh, lagipula nasi sudah menjadi bubur.  "Turun aja Nun, bilang sama penjaganya kalau Abi sama Ami lo ada disitu. Kalau perlu teriak pake microfon." Ujar Rani lalu melahap dimsum sebagai camilan yang diberikan Yayasan.  "Gak usah izin juga gakpapa kali, lagian emang kenapa kalau kita kebawah? Masa murid Yayasan ini dicurigain sih." Olla menyahut.  Mendengar usul dari kedua sahabatnya Ainun terdiam sebentar, apakah ia harus turun? Tetapi dibawah sana hampir seluruh undangan memakai baju hitam, atau jas yang berwarna hitam. Pasti sangat aneh jika ia turun, masalahnya hari ini seluruh murid memakai seragam serba putih dari ujung kepala sampai ujung kaki pasti Ainun akan terlihat mencolok dari bawah sana. (*Aulinya berbentuk seperti gor volly, jadi melingkar). Tapi masalahnya jika Ainun tidak turun, Ainun akan menyianyiakan ongkos sebanyak lima puluh ribu untuk pulang dan Ainun sangat menyayangkan itu. Apalagi ditambah dengan rencananya yang akan mengajak Abi, Ami serta Kakaknya pergi ke Mall, membeli peralatan sekolah sambil jalan-jalan.  "Yaudah deh gue turun, doain ya semoga ketemunya cepet." Setelah mengatakan itu dan diamini oleh kedua sahabatnya, Ainun turun dan menyempatkan membaca bismillah.  Kini dirinya sudah tepat dibawah, diantara bangku-bangku undangan khusus. Matanya bergerak mencari-cari ibunya, dengan jantung yang berdegup kencang karena Ainun sadar jika sebagian besar murid pasti sedang memperhatikan gerak-geriknya. Tapi Ainun mencoba menghiraukan itu, demi jalan-jalan ke Mall!  Ainun berjalan sambil menggigiti kukunya, sumpah demi hidungnya yang sering memerah Ainun sangat gugup! Tiba-tiba saja ia sangat menyesal karena memilih untuk turun kesini, tapi jika ia naik akan terlihat lebih aneh. Pikir mereka pasti, dirinya hanya turun untuk mundar-mandir saja?  "Cari siapa?" Ainun terkejut mendengar suara yang berada dekat dengan telinganya, ketika Ainun menoleh objek pertama yang ditangkap oleh indra penglihatannya ialah pangeran. Ah tidak-tidak! Maksudnya seorang laki-laki, menyadari tentang kesalahannya Alya langsung beristigfar.  Ainun menunduk karena gugup, sudah dipastikan jika hidung dan pipinya memerah. Lalu mendongak dengan ekspresi sedikit ..ketakutan, bukan tanpa alasan lelaki dihadapannya ini sangat besar dan tinggi ya walaupun wajahnya tampan, tapi tidak! Lelaki dihadapannya ini sudah om-om. Demi apapun, Zander sangat gemas dengan wajah gadis kesayangannya ini. Sangat menggemaskan karena hidungnya yang ikut memerah. "Kamu cari siapa?" Tanyanya lagi. Mencoba mencari topik.  "Inun cari Abi, Ami sama Bang Bian." Cicit Ainun pelan, masih dengan tatapan memelas yang bagi Zander sangat lucu itu.  Alis Zander terangkat. "Abi, Ami? Oh.. emang mereka duduk dibarisan mana? Mau aku anter?" Tawar Zander, jantungnya entah kenapa berdegup kencang dengan tiba-tiba. "Ih Om gimana sih! Kalau Ainun tau ya Ainun  gak bakal kebingungan!" Jawab Ainun agak berseru, kesalnya bertambah berkali-kali lipat.  Mata Zander membelak mendengar kata yang ditujukan kepadanya. "Kamu panggil aku apa? Om?" Tanyanya tidak percaya, bahkan sampai menunjuk wajahnya dengan jari telunjuk. "Ck, udah-deh Om gak usah sok shock gitu. Sekarang mending cariin Abi, Ami sama sama Bang Biannya Inun kalau Abi Ami sama Bang Bian gak ketemu Inun bakal mengorbankan duit gocap buat ongkos pulang. Dan Inun gak mau itu terjadi!" Cerocosnya.  Zander tertawa pelan, lalu wajahnya sengaja sedikit dipajukan dengan alis terangkat Zander berujar. "Pulang sama aku aja gimana? Ongkosnya gratis kalau buat Nunuy tercinta mah."  Mendengar nada yang menggelikan serta wajah anehnya membuat Ainun bergidik. "Apaan sih, dasar om-om genit! Dan satu lagi ya, nama aku itu Ainun atau Inun! Bukan Nunuy!" Ketusnya kesal lalu melipat kedua tangannya didepan d**a.  Bibir Zander menyinggungkan senyum tipis, tapi lama-lama tertarik keatas menjadi senyum lebar. Gadis kesayangannya benar-benar menggemaskan. "Aku itu gak genit sayang, ini beneran loh. Dan juga Nunuy itu panggilan kesayangan yang kepanjangannya...." ucap Zander menggantung.  "...Gak ada sih." Lanjutnya kemudian. Ainun melotot dengan ekspresi diseram-seramkan, tapi jatuhnya malah lucu. "Heh, gak genit dari mana coba?! Manggil orang yang gak dikenal pake panggilan sayang! Dasar om-om!" Emosi Ainun benar-benar sedang mode on, apalagi ditambah kedua orangtuanya serta kakaknya yang tidak juga terlihat.  Zander semakin gencar. "Aku enggak Om-om Nunuy. Masih muda, kekar, tampan dan perkasa begini kok." Zander membenarkan jasnya dengan gerakan angkuh.  Ainun memutar bola matanya malas, tampan sih tapi lelaki didepannya ini sangat menyebalkan! "Bodo amat deh, suka-suka Om. Inun iyahin aja biar seneng, kalau gak seneng-kan nanti makin tua." Ketusnya, yang disambut tawa renyah Zander.  "Jangan panggil aku Om dong Nuy, panggil saja Zander. Nama aku Ahmad Lucas Zander Matatula, kamu bisa sebut aku Zander, Mas Zander, ataupun Ayah dari anak-anak kita." Ujar Zander berkelakar.  Baru saja ingin membalas ucapan Zander, ponsel Alya bergetar menampilkan nama Bunda disana. "Walaikumsalam, Ami dimana sih? Inun mau ketemu ih!"  "Barisan pertama? Jauh amat! Bang Bian suruh jemput Inun sih." Serunya kaget, lalu mendongak kearah depan disana terlihat seorang wanita yang sedang memegang ponsel dan mengangkat tangan kearahnya.  "Gak ada? Yaudah deh Oke-oke."  Setelah menutup ponselnya, Ainun menatap lelaki bernama Zander ini dengan kesal. Lalu dengan tiba-tiba melengos dan berlalu begitu saja, sungguh itu gerakan paling lucu dimata Zander. Melihat gadisnya yang semakin jauh, Zander buru-buru mengikuti. Dirinya sudah memutuskan untuk berjuang, jadi ia akan mrmbuktikan keputusan itu.  Dahi Zander mengerut ketika melihat gadisnya berjalan kearah bangku dekat kedua orangtuanya duduk, dan ternyata Ainun benar-benar berhenti disana.. jadi Ainun itu?  "Ami mah!  udah teleponin berjuta-juta kali juga, kesel tau!" Gerutu Ainun begitu datang, lalu langsung memeluk tangan sang Ainun dengan manja.  Nadin terkekeh, lalu mengelus kepala anak semata wayangnya dengan sayang. "Maafin Ami deh, kan gak kedengaran." Ujarnya yang diangguki kecil oleh puteri kesayangannya.  "Sayang.. salim dulu sama Uncle Zakaria dan Aunty Melia." Titah Anam—Ayah Ainun.  Mendengar hal itu Ainun langsung melakukannya, dan disambut dengan heboh oleh Melia. "Masyaallah, anak kamu kok bisa imut begini sih Nad? Gak ada mirip-miripnya sama Abi Aminya." Melia menangkup pipi Alya gemas, lalu menciumnya. "Ini beneran udah SMA? Kok masih imut begini sih? Perasaan si Azka yang kembarannya aja dewasa begitu." Puji Melia lagi, lalu menarik pelan Ainun agar duduk disampingnya. Wajar saja, dulu ia sangat ingin mempunyai anak perempuan tetapi setelah Zander lahir ternyata ia tidak hamil lagi sampai sekarang. Tapi Melia tetap bersyukur, Raka dan Zander sudah lebih dari cukup.  Tak berselang lama, Zander datang membawa satu piring camilan dan juga jus jeruk. "Takut ada yang haus dan lapar." Tawar Zander.  Mendengar suara yang tak asing baginya, Ainun menoleh lalu langsung mengubah ekspresinya dengan kesal ketika melihat wajah Zander. "Om jelek ngapain ngikutin Ainun?! Kan Inun udah bilang kalau gak mau, jangan maksa deh." Ketus Ainun tetiba.  Zander menunduk, bukan karena kesal. Tetapi menahan senyum. "Ya Allah, tabahkan dan lindungilah iman hamba." Gumam Gema pelan.  "Loh sayang, kok panggilnya gitu sih?" Tanya Nadia kaget, berbeda dengan yang lainnya yang malah tertawa apalagi Raka. Tapi Zander hiraukan, tak apa jika itu gadis kesayangannya.  Ainun menatap Aminya bingung. "Loh, kata Ami kalau sama orang jahat kita harus galak? Om-om jelek ini jahat! Masa gak kenal ngajak pulang bareng." Ujar Ainun polos.  Mendengar hal itu Melia mesem, lalu menatap wajah sang suami yang juga sedang tersenyum. Mereka seolah mendapat jawaban dari pertanyaan sulit tersebut.  "Ya tapikan jangan begitu juga, Kak Zander itu anak bungsunya Uncle Zakaria dan Auntu Melia. Minta maaf gih."  Ainun mengerucutkan bibirnya. "Iya, maafin ya Om. Ainun udah nyolot." Tukasnya pelan. Walaupun masih dengan wajah cemberut. "Kok manggil Zander Om, kenapa?" Kini Melia yang bertanya, seraya merangkul Ainun gemas dengan gadis cantik disampingnya itu.  "Karena udah tua." Jawaban polos Ainun itu sukses membuat mereka yang ada disana tertawa, apalagi Raka yang sampai memegang perutnya. Objek yang sedang diledek-pun ikut tertawa, bukan hanya lucu ternyata gadisnya itu sangat polos. Tawa kecil Zander langsung terhenti kala bertatapan dengan Anam, matanya langsung diarahkan kearah lain. Tatapan Anam sangat menusuk, tidak sebersahabat tadi. Sepertinya, bukan hanya Alya yang harus ia luluhkan. Tapi juga Ayahnya.  Ayok, semangat Zander!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD