Triple POSESIF

2206 Words
Setelah hampir setengah jam diperjalanan, akhirnya Ainun dan kedua orangtuanya sampai dirumah mereka. Begini-lah ibukota, tidak ada rehat-rehatnya. Setiap saat selalu saja penuh dengan berbagai kendaraan yang berlalu lalang. Padahal mereka pulang kerumah pukul sebelas, tapi jalanan tetap saja padat. Polusi ada dimana-mana. Dan ini juga yang menjadi alasan, mengapa ketiga pria posesif Ainun itu melarangnya untuk naik kendaraan umum, ojol, gocar atau teman-temannya yang lain. Biasanya jika tidak ada orang yang mau menjemput atau mengantarkannya dadakan, ia akan membayar orang terpercaya sang Abi biasanya lima puluh ribu. Walaupun orang itu sudah digaji tapi Ainun tetap tidak enak karena memintanya secara mendadak. Ainun berjalan menuju sofa ruang keluarga lalu duduk, diikuti kedua orangtuanya. Terkhusus Anam yang langsung duduk disamping puterinya yang sedang sibuk memakan jasuke. "Inun kenal sama cowok tadi?" Tanya Anam to the point, alisnya menukik tidak suka. Dahi Ainun mengernyit seraya menoleh, bingung dengan pertanyaan sang-Abi. "Cowok siapa Bi?" "Itu cowok yang tadi ditemuin sama Inun." Jawaban yang diberikan Anam itu tampak masih membingungkan bagi puteri tercantiknya itu. Tangan Anam terulur untuk mengusap ujung bibir Ainun yang terkena s**u. Lantas melanjutkan ucapannya. "Itu-loh, cowok yang Inun sebut om-om jelek. Inun udah kenal lama apa belum? Pernah ketemu sebelum itu atau tadi itu pertama kalinya?" Pertanyaan Anam itu sarat akan ketidaksukaan, seolah menuntut jawaban paling jujur dari terdakwa yaitu puterinya. Mata Ainun mengerjap lucu, setelah terdiam beberapa saat kepala bertutup kain putih itu menggeleng. "Kayaknya enggak deh Bi, tadi pertama kali." Decakan keluar dari bibir Anam, tidak puas dengan jawaban sang puteri yang mengambang itu. "Jangan kayaknya dong sayang, inget-inget lagi." Tekan Anam gemas. Melihat kecemburuan sang suami, Nadia hanya menghela napas. Begitulah Anam jika mengenai puteri tersayangnya, sangat posesif dan terkadang over protective dan ini belum seberapa, kedua puteranya-pun mempunyai sifat yang sama dengan Anam, sangat sensitif tentang Ainun. "Abi, mau Ami buatin minum gak?" Anam menoleh sekilas, tampak berpikir beberapa detik lalu berujar. "Kayaknya es teh enak deh Mi." Jawabnya, setelah itu kembali menatap sang puteri. Nadia mengangguk, kini menatap Ainun. Padahal Nadia sudah meng-kode pada puteri tercantiknya itu lewat mata, tapi sepertinya si empu bingung. Dan malah menaikkan dagunya. "Kalau Inun mau minum apa?" Barulah bibir mungil itu membentuk lingkaran. "Apapun yang Ami buat, Inun pasti minum." Ujarnya dengan kerlingan mata, dan jangan lupakan cengiran khasnya yang sukses membuat Nadia tertawa pelan.  Ainun dengan tingkahnya. Setelah kepergian Nadin, Anam kembali berujar menatap gemas sang puteri yang pipinya mengembung karena melahap jasukenya. "Inun belom jawab pertanyaan Abi, loh." Sindirnya. Bibir Ainun mengerucut. Setelah itu menggeser duduknya agar menghadap sang Abi lalu menatapnya dengan pandangan seserius mungkin. "Abi lihat mata Inun.." perintahnya. Tangannya menunjuk matanya sendiri yang tak berkedip, Anam yang memang dasarnya penurut mengikuti perintah sang puteri. "Gak ada beleknya kan?" Anam menahan napas mendengar pertanyaan Ainun, menatap dengan ekspresi sebaik mungkin ke Ainun yang sedang tertawa puas karena berhasil mengerjainya. Tetapi, bukan Anam namanya jika menyerah begitu saja. Ia akan terus mengorek segala hal jika itu menyangkut puterinya, ya walaupun sangat tidak mungkin jika mendapatkannya dari Ainun langsung. Teringat sesuatu, Anam langsung menghadap kearah Ainun kembali. "Inun dengerin Abi ya.. jangan pernah deket sama cowok mana-pun selain Abi, Bang Bian, sama Bang Azka. Mereka itu belum tentu baik, banyak orang jahat diluaran sana yang berkedok muka ganteng." Anam berujar dengan serius. Tangannya mencolek ujung hidung sang puteri dengan gemas.  Mata Ainun mengerjap pelan. "Berarti Oma, Opa, Aki, sama Ani itu orang jahat dong Bi?" Tanya Ainun dengan mata besarnya yang membulat. "Hah? Kata siapa? Kalau mereka beda Inun sayang. Opa, Oma, Aki sama Ani-kan beda, mereka itu orangtunya Abi sama Ami. Masih ada ikatan darah, jadinya mereka bukan orang jahat." Anam mencoba menjelaskan dengan sesederhana mungkin, walaupun dirinya juga bingung dengan ucapannya sendiri. Kepala Ainun mengangguk, lalu ia mengacungkap jempulnya dengan senyuman lebar. "Oke siap Bi! Nanti Abi buat list orang baik aja, biar Ainun hafalin siapa aja orang yang boleh Ainun deketin sama yang gak boleh Ainun deketin." Ujar Ainun seraya mengambil remot, menyetel kartun favoritnya. Awalnya Anam menghela napas tapi setelah dipikir-pikir boleh juga. "Boleh deh, nanti Abi buatin list buat kamu. Inget ya, Inun jangan deket-deket atau temenan sama laki-laki selain Abi, Bang Bian, sama Bang Azka. Pokoknya jangan terlalu dekat sama orang asing." Peringat Anam lagi, masih keukeuh dengan kecemburuannya. Mungkin bukan hanya dirinya, setiap Ayah pasti akan cemburu jika puteri tersayangnya didekati oleh lelaki asing. Walaupun tidak semua Ayah se-berlebihan Anam. "Loh, jangan begitu dong Abi. Nanti Ainun gak punya teman kalau kayak begitu." Sahut Nadia yang datang dengan nampan berisi tiga gelas es teh manis. Dahinya mengerut tidak suka karena ucapan suaminya itu. Kalau Ainun sih santai-santai saja, gadis yang belum genap delapan belas tahun itu sudah terbiasa dengan sifat Abi-nya. Toh Ainun memang tidak punya teman banyak, hanya Olla dan Rani saja yang lulus seleksi dari ketiga pria posesifnya itu. Walaupun terkadang masih dicurigai. Bahkan mereka hanya bertemu disekolah saja, Ainun tidak diizinkan untuk bermain di Mall atau tempat yang biasa disinggahi para remaja pada umumnya. Kalau soal ini, Ami-nya juga setuju sebab pergaulan semacam itu katanya tidak cocok dengan kepribadian Ainun yang mudah dipengaruhi. Wajah Anam merengut mendengar penolakan yang datang dari isteri tercintanya. "Ya emang begitu Ami. Manusia diluar sana itu bisa kapan saja mengelabui Ainun, apalagi-kan nih anak selalu iya-iya aja tanpa mikir dulu. Dan juga  cowok-cowok sekarang yang modelannya modus semua, apalagi itu-tuh. Siapa tuh namanya... ah iya! Zander, dia juga belum tentu baik. Apalagi baru ketemu aja udah ngajak pulang bareng." Cerocos Anam, seolah menumpahkan kekesalannya sejak tadi. Belum juga Nadin membuka mulut, suara menyahutinya. "Zander? Siapa dia?" Tanpa aba-aba laki-laki itu duduk. Mencium kening Ainun lalu mencium tangan kedua orangtuanya. Wajahnya tampak menyiratkan ketidaksukaan. Anam kini menghadap kepada sang putera seolah sedang berdiskusi penting dengan partnernya. Dan kalau sudah seperti ini, Nadin hanya bisa menghela napas, anggotanya saja sudah bertambah satu berarti makin sulit saja Nadia melawan kekeras kepalaan kedua lelaki ini. "Itu-loh, anak bungsunya si Zakaria. Berani-beraninya dia ngajakin Ainun pulang bareng, apalagi mereka baru pertama ketemu." Adu Anam, memanas-manasi. Bian—Kakak pertama Ainun, langsung tersambar api. Alisnya menukik tidak suka dengan pandangan kearah sang adik yang mulai memejamkan mata. "Kok bisa sih? Bukannya ada si Azka ya?" Alis Anam terangkat, betul juga. Dirinya baru ingat jika kedua anak kembarnya itu berada disekolah yang sama. Tapi mengapa Ainun tadi menghampirinya seorang diri. "Iya juga ya, tapi tadi Abi gak lihat dia tuh waktu Ainun nyamperin kemeja tadi." Dahi Bian mengerut. "Ngapain nyamperin?" "Buat Minta tebengan. Kamu kayak gak tau dia aja. Tapi iya juga ya, Azka kemana? Kok selama disekolah Abi gak lihat dia. Ami lihat gak?" Lagi, belum juga Nadia menjawab sang empu yang sedang dicari-pun datang. Dengan pakaian lusuh dan rambut yang basah. Sudah bisa ditebak jika pemuda berperawakan proposional itu sehabis olahraga, dan olahraga favorit Azka adalah berenang. "Kenapa? Kok tadi sebut-sebut nama Azka?" Setelah menyalimi kedua orangtua serta kakaknya, ia duduk dilantai. Tangan Nadia menyisir rambut Azka. "Abang dari mana? Kok pulangnya gak bareng sih? Terus gak izin dulu lagi sama Ami." Tanya Nadia. Mendengar hal itu Azka meringis tidak enak. "Maaf Mi, tadi Azka disuruh latihan murotal sama Miss Lala eh tiba-tiba aja dibatalin jadinya Azka renang aja deh. Males kalau ke Aula, sumpek." Jelasnya. "Terus ngebiarin Ainun kebingungan cari tebengan gitu?" Sela Bian dengan tajam, wajahnya menatap lurus sang adik dengan bibir lurus. Mata Azka langsung membelak, dengan refleks saja bangkit. Jangan lupakan wajahnya yang berubah menjadi panik. "Astagfirullah halazim, Azka lupa bilang kalau setelah Azka latihan bakal berenang. Dan juga lupa ngasih tau posisi meja Abi sama Ami. Terus Inun-mana?" Seru Azka panik, naluri sebagai kembarannya langsung terasa. Walaupun mereka hanya berbeda tiga belas menit, tetapi Ainun tetap adik kecil Azka. "Haduh Ka, kamu berisik banget sih. Duduk lagi cepetan, jangan sok-sokan panik begitu. Lebay banget!" Sahut Anam lantas menarik Azka agar duduk kembali. Nadia mendelik, apa katanya? Suaminya itu mengatakan jika puteranya lebay? Padahal dirinya sendiri adalah manusia terlebay bahkan ketika Ainun hanya sembelit. Bahkan waktu itu Anam sampai menyewa berbagai dokter spesialis, bisa dibayangkan berlebihannya seorang Anam? "Lain kali jangan begitu lagi ya, jaga adiknya baik-baik. Masih mending-kan adik kamu cuma satu? Ainun itu hampir aja loh dimodusin laki-laki." Bian membenarkan posisi Ainun yang sudah pulas tertidur dipundaknya. Mata Azka membelak seketika. "Hah? Gimana-gimana? Coba ceritain rinci." Tukas Azka yang sudah masuk kewaktu Indonesia kepo. "Nanti aja, kita keruangan Abi." Anam menyahut. Lalu diangguki oleh kedua puteranya itu. Nadin hanya bisa memperhatikan, walaupun terkadang gemas sendiri tetapi Nadin mewajari. Ketiganya sudah posesif dan ditambah dengan trauma masalalu, sebab dahulu sewaktu Ainun masih kecil karena lahir kembar dengan bobot cukup besar membuat Ainun yang keluar terakhir mempunyai kelainan jantung berbeda dengan Azka yang normal. Kelainan jantung itu membuat kinerja otak Ainun tidak berkembang seperti anak-anak biasanya, condong kearah lamban. Puncaknya saat sikembar masuk taman kanak-kanak, hampir semua murid mengejek Ainun bahkan sampai ada yang berani melemparinya dengan sepatu dan tidak ada yang mau menemaninya. Hanya Azka saja teman Ainun dulu. Kala itu karena tertekan, akhirnya Ainun  mengalami depresi ringan dan walaupun ringan itu cukup berdampak besar dengan  jantungnya yang kala itu kian melemah. Ainun dinyatakan koma setelah ditemukan pingsan, atau disaat Nadin membangunkan untuk sholat subuh tetapi puterinya itu tidak bangun. Ainun koma selama enam bulan dan cukup menorehkan luka terdalam dihati keluarga, terlebih Anam. Pihak paling terluka, mungkin lebih darinya. Anam benar-benar menyalahkan dirinya, mengatakan jika dia bukan Ayah yang baik. Setelah kejadian itu, ketiga lelaki-nya semakin posesif pada Ainun. Membatasi siapa saja orang yang boleh mengobrol dengan puterinya. Ainun dinyatakan sembuh pada saat berusia tujuh tahun, sekarang puterinya itu sangat pintar dalam hal akademis walau dalam berbicara masih sering merasa bingung dan juga tidak cepat tanggap atau tidak cepat nyambung. Tapi Nadin bersyukur, puterinya sudah bisa hidup dengan normal dan terhindar dari tekanan. *** "Nih!" Zander meletakkan satu map cokelat dimeja, lalu duduk dan menyeruput jusnya.  Beberapa lelaki yang berada diruang tamu-pun sontak saja menoleh, tak ayal menatap bingung map cokelat yang dibawa oleh Zander. Yang pertama bersuara adalah Raka. "Ini map apaan Zan?" Tanyanya seraya membuka map tersebut lantas membacanya.  Mata Raka langsung membelak terkejut setelah membacanya. "Hah! Surat lamaran kerja? Lo mau kerja dimana?" Tanya Raka terkejut. Zakaria yang berada tepat disamping Raka-pun ikut terkejut, lantas menatap Zander yang sedang santai menyeruput jusnya.  "Itu surat lamaran kerja Zan, Zan pengen jadi guru di Yayasannya Bang Raka. Terserah deh guru apa aja, yang penting bisa kerja disitu." Jawab Zander santai.  Alis Zakaria terangkat satu, otaknya mencoba memecahkan teka-teki yang dibuat oleh putera bungsunya itu. Setelah beberapa detik berpikir, sudut bibir Zakaria terangkat. Dalam hati berdecak, ternyata kenekatan-nya menurun sempurna pada diri Zander. "Kamu yakin? Tanggung jawab-mu itu udah besar Zan, profesi guru itu jangan dibuat main-main apalagi guru di Yayasan Abah."  Zander meletakkan gelasnya yang telah kosong diatas meja. "Abah tenang aja, insyaallah Zan bisa mengemban tanggung jawab ini dengan baik. Doakan Zan saja supaya bisa seimbang, dan juga supaya bisa.. menjaga hasrat." Ujar Zander diakhiri dengan bisikan. Zakaria tersenyum, berbeda dengan Raka yang masih kebingungan.  "Ck, kalian ini ngomongin apa sih? Gak pada lupa-kan kalau Yayasan ini punya Raka? Kamu juga Zan, maksudnya apa surat lamaran kerja ini?" Raka berujar kesal, karena penasaran.  "Kan tadi Zan udah ngomong kalau Zan mau ngelamar kerja di Yayasan Abang, masa belum paham aja? Gimana sih!" Ujar Zander santai. Menggoda sang Kakak. "Bukan itu! Pasti didalam surat lamaran kerja ini ada maksud terselubungkan?" Ujar Raka menuntut, lalu menatap Zander dengan mata memincing. Helaan napas terdengar dari mulut Zander. "Aku-kan punya misi, misi mengejar cinta Nunuy. Kalau misalkan aku gak ada disekolah itu setiap hari, kelamaan ngejarnya dong? Nanti aku jadi bujangan tua." Raka berdecak seraya menggelengkan kepala, kagum dengan kegigihan serta kenekatan sang adik. "Mantep ya Zan, kamu pas jatuh cinta jadi beda begini."  "Ah iya, gimana Pak Yahya? Apa adik saya bisa melamar di Yayasan sebagai guru?" Raka kini bertanya kepada Yahya, lelaki itu memang datang untuk membicarakan soal Yayasan. Walaupun tidak ada perombakan, tetapi Raka ingin era Abah-nya berbeda dengan era-nya.  Yahya berpikir beberapa saat. "Sebenarnya, kalau soal guru Yayasan akan mengadakan seleksi cukup ketat dan seleksinya itu berwaktu random bisa kapan saja karena tergantung kebutuhan guru tersebut. Tetapi untuk sekarang Yayasan sedang cukup guru. Baik akademis maupun non-akademis." Jelas Yahya.  Bahu Zander langsung meluruh. Dengan wajah dimelas-melaskan, ia menangkupkan tangannya dan menatap Yahya. "Tolong-lah Pak.. saya mohon, jadi guru apa aja saya mau kok. Gajinya cuma setengah juga gakpapa. Kalau saya gak jadi guru gimana saya bisa mengejar cinta Nunuy?"  Bibir Raka bergetar, ini benar-benar adiknya? Zander yang pendiam dan intovert itu? "Bah.. itu adik aku bukan sih?" Gumak Raka tak percaya.  Zander menghiraukan itu, masih dengan drama ala-ala ia menatap Yahya. "Boleh ya Pak Yahya? Saya janji akan profesional, walaupun sibuk dan ada meeting kalau ada kelas saya akan tetep masuk. Suer deh!" Zander mempraktekannya, mengangkat dua jarinya dengan cengiran.  Yahya menggaruk pipinya bimbang, mau menerima tapi Yayasan sedang tidak membutuhkan guru baru tapi jika menolak juga tidak mungkin. Masa iya dirinya menolak lamaran kerja adik dari pemilik Yayasan tersebut? "Oke Pak, nanti saya carikan bidang apa yang cukup kosong untuk Pak Zander isi."  Mendengar itu Zander tersenyum lebar, dengan refleks bersujur syukur dan memeluk Yahya, bergumam terimakasih sebanyak-banyaknya. "TERIMAKASIH PAK YAHYA!" Setelah berteriak, Zander langsung naik kekamarnya. Tentu saja dengan suasana hati yang sangat baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD