Malam ini Ainun tengah disibukkan dengan tugas fisika, walau hanya sepuluh soal tapi Ainun harus berusaha dengan sangat keras. Ainun sadar jika kinerja otaknya tidak seperti orang normal pada umumnya, ia harus berusaha sangat keras dengan waktu yang cukup panjang hanya untuk memahami satu hal atau satu pelajaran saja. Tetapi Ainun tetap mensyukurinya, ia tetap menjalani kehidupannya dengan tabah. Ainun harus bersyukur sebab masih ada keluarganya yang sangat sangat menyayanginya dan selalu ada disampingnya.
"Ini pakai rumus yang mana ya.." Ainun bergumam sambil mengorek lubang hidungnya, ketika mendapatkan sesuatu Ainun lantas menempelkannya pada tissue dan meremas tissue tersebut. Alis mengerut kala mendapat soal yang sama sulitnya, otaknya lagi-lagi harus dipaksa berpikir keras.
Ketika sedang fokus-fokusnya, ponsel yang lupa ia silent-pun berdering, tadinya Ainun tidak berencana mengangkatnya tetapi ketika tak sengaja membaca nama yang tertera disana Ainun buru-buru mengangkatnya. "Hallo Bang Azka? Ada apa?"
"INUN TOLONG SALAHIN AIR DONG, AIR DIKAMAR MANDI MATI. BURUAN YA!" Teriakan Azka terdengar double, ada ditelefon dan juga ada dikamarnya.
Mata Ainun mengerjap karena terkejut, apalagi ponselnya tadi menempel pada telinganya dan otomatis suara Azka yang menggelegar itu sukses membuatnya terkejut. ".. Abang emang ada dimana sih? Kok teriakannya double begitu?"
"ABANG ADA DIKAMAR MANDI, CEPETAN YA INUN SAYANG!" Teriakan super menggelegar itu kembali terdengar, membuat Ainun sampai memejamkan mata. Teriakan kembarannya itu benar-benar memenuhi kamar. Sebagai informasi, kamarnya dengan kamar Azka memang masih satu ruangan atau memang mereka masih satu kamar. Itu keinginan Azka langsung, ketika pertama kali kamar mereka dipisah ternyata Ainun maupun Azka terkena demam. Dan pada akhirnya mereka harus berada dalam satu kamar sampai umur mereka sekarang karena Azka yang tetap keukeuh mengatakan jika naluri kembar mereka tidak boleh terputus.
"ABANGKAN MASIH BISA TERIAK, NGAPAIN PAKE TELEPON SEGALA?" Ainun ikut membalasnya dengan teriakan. Karena Sambungan telepon masih tersambung, Ainun dari tempat duduknya bisa mendengar jika Azka tengah mengedan dan juga kentut. Terdengar juga helaan napas lega Azka setelah itu. Ainun bergidik jijik, ada saja kelakuan kembarannya itu.
"OH IYA ABANG LUPA, MAAF YA. YAUDAH SEKARANG INUN SALAHIN AIR, ABANG MAU CEBOK. GAK KUAT NIH, BAU BANGET." Azka kembali berteriak, kini sambungan teleponnya sudah terputus. Membuat Ainun menghembuskan napas lega.
"Huh, sama bau sendiri aja gak kuat. Ngeganggu orang lagi belajar aja sih!" Ainun menggerutu seraya membereskan bukunya. Tak lama kemudian Azka kembali berteriak.
"INUN SUARA KAMU KEDENGERAN LOH, JANGAN KIRA KALAU PELAN ABANG GAK BISA DENGER YA?"
Ainun mengembungkan pipinya karena kesal. Lantas berjalan menuju pintu kamar mandi. "KALAU KEDENGERAN NGAPAIN HARUS TERIAK-TERIAK?" Serunya kesal didepan pintu, tak lama ia mendengus kesal karena mendengar suara tawa dari dalam kamar mandi.
"GAKPAPA PENGEN AJA." Ainun memilih beranjak dari kamar, daripada harus meladeni kembarannya yang tingkahnya sangat aneh itu. Sebelum itu memencet saklar didekat pintu, menyalakan air agar Azka tidak berteriak lagi.
Ainun memilih turun kebawah, otaknya benar-benar sudah seperti benang yang kusut. Padahal ia baru saja mengerjakan tiga soal fisika, apalagi matanya yang mulai mengantuk. Memang ya, belajar itu seperti lagu nina bobo terbaik. Ketika bermain ponsel matanya akan sangat fresh tetapi ketika membaca beberapa kata saja matanya mulai mengantuk. Itu terjadi pada semua orang atau hanya pada orang malas seperti Ainun saja sih?
Ketika sampai didapur, objek yang pertama kali Ainun lihat ada Abi dan Aminya. Seperti biasa, pasangan teromantis serumah ini akan bermanja-manja dimana-pun dan kapan-pun. Apalagi Anam, Abi Ainun yang paling tampan itu seolah tidak pernah malu mengumbar kemesraan didepan putera-puterinya. Sampai Ainun duduk dimeja bar-pun kedua orangtuanya itu belum menyadari, Anam masih memeluk manja Nadia yang seperti sedang membuat sesuatu itu.
"Yang, kamu tau gak?" Samar-samar Ainun mendengar suara Abi-nya, lalu Ainun memutar bola matanya malas pasti Abinya itu akan memulai gombalan recehnya. Yang anehnya tidak pernah kehabisan ide. Ada saja kelakuan aneh tapi romantis yang berhasil membuat Aminya bersemu merah.
Nadia terlihat menggeliat. "Tau apa sih Bi? Lepas ah, nanti kalau anak-anak liat gimana? Gak malu apa?" Bukan Anam namanya jika langsung nurut, malahan lelaki yang masih terlihat tampan walau ketiga anaknya sudah dewasa itu mengeratkan pelukannya.
"Abi sama Ami itu akan selalu kovalen, dan cinta Abi itu cuma sin90 yaitu Ami." Mulailah otak melantur Anam, gombalan yang setiap harinya selalu aneh itu sukses membuat Nadia tertawa. Dari dulu hingga sekarang, lebay dan alay-nya Anam tidak pernah berubah.
Dibangku bar sana, Ainun yang sedang meminum air putih diam-diam berdecak kagum. Bahkan sampai rumus fisika dijadikan bahan gombalan, terkadang Ainun berpikir jika Abinya pasti kuliah jurusan gombalan bukan arsitek dan bisnis. "Bisa begitu ya.." gumamnya.
Nadia tertawa pelan. "Kamu nih ada-ada aja ih! Kita itu udah tua tau, gak pantes kaya begini."
Kepala Anam dimiringkan agar dapat melihat wajah nyonya hatinya itu. "Loh kata siapa kita udah tua? Buktinya kita setiap malem masih kuat olahraga gaya enam sembilan."
Dahi Ainun mengerut bingung, olahraga enam sembilan itu apa? Rasanya dari Ainun berada ditaman kanak-kanak sampai disekolah menengah atas, olahraga yang diajarkan adalah gerak pemanasan, inti, pendinginan. Belum pernah ia dengar gaya enam sembilan. Karena penasaran, akhirnya Ainun bersuara. "Bi, gaya enam sembilan itu apa?"
Anam maupun Nadia terkejut, keduanya menoleh dengan tiba-tiba. Menatap sang puteri yang tengah duduk dimeja bar dengan wajah kebingungan khasnya. "Kamu dari kapan disitu?" Tanya Anam sedikit meninggi, terkejut.
Mata Ainun mengerjap pelan sambil menggerakkan matanya, berpikir. Tak lama kemudian menggeleng. "Gak tau, Ainun gak ngitung." Setelah itu kembali bersuara. "Bi, gaya enam sembilan itu apa?" Ainun kembali menyuarakan pertanyaannya yang belum dijawab.
Anam menelan salivanya, otaknya berpikir keras mengenai jawaban paling klop yang dapat menjawab pertanyaan dari puterinya yang paling kritis itu. Ainun kalau sudah bertanya pasti akan terus menerus, kalau soal yang lain Anam masih bisa meladeni. Tapi untuk gaya enam sembilan ini. Ewh, Anam kebingungan. Diliriknya sang isteri, Nadia malah mengalihkan fokusnya kemasakannya. Membiarkannya berpikir sendirian. "Gaya enam sembilan itu.." Anam menggantung ucapannya, jujur saja otaknya belum menemukan jawaban terbaik.
"Enam sembilan itu maksudnya ketukan ritmenya." Bian datang dengan buku tebalnya, duduk disamping sang adik lalu menatap Abi-nya dengan mata memincing kesal. Bisa-bisanya Abi-nya merusak otak lugu adiknya.
"Nah iya itu." Sahut Anam, lalu meringis sambil menggaruk pipinya karena mendapat tatapan tajam putera sulungnya. Ya dirinya mana tahu jika Ainun ada diantara mereka tadi.
Kepala Ainun mengangguk kecil. "Kok kalau disekolah, Inun diajarin ritmenya cuma sampai delapan sih? Gak pernah sampai sembilan?" Ainun kembali bertanya, masih belum merasa puas.
Bian tersenyum lalu meletakkan buku tebalnya kemeja, mengambil gelas untuk meminum air. Siap-siap untuk menerima pertanyaan Ainun yang lebih kritis lagi. "Karena kalau enam sembilan cuma untuk orang dewasa, kan Ainun belum dewasa. Baru juga dapet ktp tahun ini. Iyakan?"
Kepala Ainun mengangguk, membenarkan perkataan Bian. Tapi dahinya yang masih mengerut itu membuat Bian tau, jika masih ada beberapa pertanyaan lagi yang akan dilontarkan. "Tapi kenapa disebutnya gaya enam sembilan? Kan itu cuma itungan untuk ritme doang, senam ritmik itungannya sampai delapan tapi gaya-gayanya gak disebut gaya delapan-delapan."
Tuhkan, Anam meringis meminta maaf kepada Bian. Putera sulungnya itu yang kena imbas dengan menjawab pertanyaan Ainun. Anam yang seolah kabur dari kesalahannya-pun malah berpura-pura membantu Nadia, membuat Bian mendengus karena dibiarkan menderita sendiri. Sebelum menjawab, Bian berpura-pura minum. Padahal itu hanya pengalihan, otaknya belum menemukan jawaban yang pas.
"Inun!" Ainun menoleh kala mendengar seruan Azka, kembarannya itu terlihat turun dengan wajah yang berseri. Pasti senang karena berhasil mengeluarkan sampah-sampah ditubuhnya itu.
Dalam hati Bian mendesah lega, berterima kasih karena kedatangan Azka itu diwaktu yang tepat. Kalau saja Azka tidak datang, pasti otaknya masih dipaksa untuk berpikir tentang jawaban dari pertanyaan Ainun yang materinya bukan dari dirinya itu. Ck, Abi-nya itu memang paling pintar berlari dari masalah.
"Ponsel kamu bunyi, Abang lihat sih ada yang chat kamu. Lihat gih, takutnya tugas Abang. Soalnya-kan ponsel Abang ilang." Azka ikut duduk diantara Abang dan adiknya, alisnya menukik merasa jika suasana disana terasa tegang.
"Loh ini kenapa pada tegang begini?" Terkutuklah mulut comel Azka, Bian memejamkan matanya. Baru saja beberapa menit, tapi kenapa Azka harus mengungkitnya kembali.
"Gak tegang kok, kita cuma lagi ngebahas gaya enam sembilan Abi sama Ami aja. Mereka ternyata suka olahraga loh Bang." Ainun berujar santai, lalu meneguk air digelasnya sampai tandas.
Mata Azka membelak. "Gaya enam sembilan?" Azka membeo, lalu menatap sang kakak yang meliriknya dengan tajam berbeda dengan kedua orangtuanya yang bahkan menghadap kearah lain. Seolah lupa diri, padahalkan mereka terdakwa.
"Oh iya, Bang Bian-kan belum jawab pertanyaan Inun. Kenapa dinamain gaya enam sembilan? Padahalkan enam sembilan cuma ketukan ritme?" Masih dengan rasa penasaran yang tinggi, Ainun bertanya membuat Azka ikut tegang karena bergabung dengan situasi seperti ini.
"In-inun cepetan liat isi chatnya, kalau tugas gimana? Oh iya, tugas fisika Inun juga belum selesai-kan?" Azka mencoba mengalihkan fokus sang adik.
Sontak Ainun menepuk jidatnya, lalu buru-buru bangkit. "Astagfirullah, Ainun baru ngerjain tiga soal." Setelah mengatakan itu Ainun buru-buru bangkit dan naik keatas.
Bian dan Azka menghembuskan napas lega, Bian menepuk bahu Azka sebegai tanda terima kasih lalu menatap sang Abi dengan rengutan wajah. "Abi..." panggil keduanya.
Anam menoleh dengan wajah meringis. "Sorry boys, Abi gak tau kalau ada Ainun. Bahkan langkahnya aja gak kedengeran, biasanya-kan dia heboh walaupun cuma jalan tapi ini bener-bener gak kedengeran. Sumpah deh." Anam masih mencoba membela diri. Matanya menoleh kepada sang isteri yang sudah berwajah masam itu.
"Sorry yang Humaira-ku. Aku beneran gak tau loh kalau Ainun ada disana." Anam berujar pelan, takut-takut mengundang kemarahan sang isteri.
"Tidur diluar." Mata Anam langsung membelak kaget, tidur diluar? Tidak-tidak, ia tidak bisa tidur jika tidak ada Nadia disampingnya. Bahkan mau tidur diatas kasur ternyaman-pun Anam tetap butuh Nadia.
"Sayang..." Nadia langsung mematikan kompor, meninggalkan masakannya dan juga meninggalkan suaminya yang sedang berwajah memelas itu.
Anam menatap kepergian isteri tercintanya dengan lesu, menghiraukan gelak tawa jahat dari kedua puteranya. Karena ini memang salahnya, Anam memilih mengalah. Lalu ia ikut bergabung bersama kedua puteranya.
"Udah Bi, jangan bersedih. Bobo sendirian itu gak buruk-buruk amat." Seloroh Bian sambil tertawa, antara menghibur dan meledek.
Anam berdecak, menatap sinis putera sulungnya. "Halah! Kamu ngomong kaya begitu karena belum nikah, belum tau nikmatnya tidur sambil meluk isteri tercinta." Balas Anam telak, karena Bian langsung merengut. Kini Azka yang tertawa.
"Anak kecil diem!" Seru Anam dan Bian bersamaan, Azka sontak saja langsung diam dan menunduk. Membiarkan dua lelaki yang tengah merana itu meredam emosinya.
***
B
enar kata Azka, chat yang masuk keponselnya adalah tugas mencatat. Setelah mengerjakan tugas fisika bersama Azka, ah tidak-tidak Azka hanya bagian menyalin saja, Ainun langsung mencatat powerpoint yang dikirim guru biologinya itu sebanyak duapuluh slide.
"ASTAGFIRULLAH HAL'AZIM! Ya allah ya robbi, ya karim ya habiballah ya rasulullah. Kenapa tugas hamba-mu yang paling tampan seperti Zayn malik ini harus bejibun." Ainun menegang kaget karena seruan tiba-tiba dari kembarannya itu, setelah ikut beristigfar Ainun menatap Azka dengan kesal.
"Abang ih! Inun kaget tau!" Setelah mengomel Ainun kembali mencatat, tinggal beberapa slide lagi. Ia harus menyelesaikannya malam ini, Ainun melirik jam. Waktu sudah menunjukan jam sepuluh malam, dan mereka belum menyelesaikannya.
Azka memilih menidurkan kepalanya diatas meja. Lalu menghadapkan kepalanya kearah sang adik. "Gusti nu agung, hamba sangat lelah dan ingin rebahan sambil mengkhayal masa depan. Impian hamba menikah dengan bidadari seperti khadijah, bukan bersama crustacea ataupun insecta sialan ini." Gumam Azka. Kalau sedang mengeluh seperti ini, Azka sangat mirip dengan Anam, lebay!
Sebelum membalas keluhan sang Kakak, Ainun menghitung slide. "Ayok Bang semangat! Tinggal satu slide lagi ternyata!" Seruan Ainun bagaikan air terjun dipadang pasir, oke-oke itu berlebihan!
Azka langsung menegakkan tubuhnya, lalu menggenggam pulpen. "Ayok Inun, peperangan kita tinggal sebentar lagi!"
Setelahnya anak kembar Anam dan Nadia itu kembali khidmat menulis, walaupun sesekali Ainun harus terkekeh pelan karena gerutuan kesal Azka yang malah terdengar sangat lucu.
"ALHAMDULILLAH YA ALLAH!" Setelah berseru senang, Azka dengan tingkah berlebihannya bersujud syukur lalu berpura-pura menangis.
Ainun memutar bola matanya dengan helaan napas. "Dasar leb- Astagfirullah Bang Azka!" Ainun berseru kaget ketika Azka memeluknya dengan tiba-tiba.
Azka tertawa pelan, lalu melepas pelukannya. "Maaf-maaf, Abangmu yang terkenalkannya melebihi one direction ini hanya merasa bahagia atas keberhasilannya."
Decakan Ainun menyambut. "Dasar lebay! Nulis berpuluh-puluh slide aja bangga!" Ledeknya, setelah itu membereskan mejanya untuk bersiap tidur diikuti Azka. Ini salah satu alasan mengapa Anam dan Nadia mengizikan sikembar tidur satu kamar, Azka yang sangat pemalas akan jauh lebih produktif hidupnya jika didampingi oleh sang kembaran, yaitu Ainun.
Setelah meja rapih, Azka menggeliat seraya menepuk perutnya. "Abang laper nih, turun yuk?"
Ainun melirik jam dinding. "Ini udah malem, kan gak boleh makan. Lagian didapur ada apaan? Masakan Ami pasti udah habis." Jawab Ainun seraya melepas kacamata baca anti radiasinya.
"Kan didapur banyak makanan. Kali ini gakpapa bukan makanan Ami, daripada Abang gak bisa tidur karena laper?" Azka memilih berjalan duluan, meninggalkan Ainun yang masih membereskan laptopnya.
Ketika baru saja ingin beranjak, ponselnya berbunyi menandakan ada pesan masuk. Dahinya mengkerut bingung, pesan w******p dari nomor yang tidak dikenal.
0833-3232-2323: Assalamualaikum Nunuy! [10.23 PM]
0833-3232-2323: Kamu lagi apa? Sudah sholat isya? Semoga sudah ya, karena ini sudah pukul sepuluh. Saya rindu kamu, tapi tenang saja saya akan menyebut nama kamu disholat malam saya nanti. [10.23 PM]
0833-3232-2323: Kamu sudah tidur ya? Yasudah, selamat malam dan have nice dream. Siapkan diri, saya akan mencuri hati kamu nanti.. [10.24 PM]
Ainun mendengus kesal membaca pesan tersebut, pasti dari om-om jelek itu. Untung saja Ainun tidak membaca lewat apk w******p langsung jadi tidak terlihat ia sudah membacanya. Biarkan saja om-om jelek itu pasti akan lelah sendiri, untung saja yang menjadi pemilik Yayasan Kakaknya, bukan om-om jelek itu.
Mendengar teriakan Azka, Ainun buru-buru mematikan ponselnya lalu menchargernya. Setelah itu turun kebawah, menyusul kembarannya yang sedang kelaparan itu.
Ainun mengernyit melihat Azka yang makan buah diruang keluarga bersama Anam, tapi kenapa Abinya itu membawa bantal dan selimut. "Kok Abi bobo disini?" Ainun bertanya seraya duduk disamping Anam.
Anam tersenyum, lalu mencium kening puterinya. "Ainun kok belum bobo? Capek ya abis ngerjain tugas?"
Bibir Ainun langsung mengerucut. "Iss, Abi-mah suka gitu deh. Pertanyaan Inun belum dijawab, Abi malah nanya balik." Gerutunya.
Anam tertawa pelan. "Abi bobo disini karena lagi marahan sama Ami, tapi besok pagi juga baikan kok. Marahan semaleman doang." Anam mengelus pipi gembil puterunya, merasa bangga karena berhasil menjaga Ainun sampai saat ini.
"Kok gak bobo dikamar tamu?" Tanya Ainun lagi seraya menyender pada d**a Anam. Tempat ternyaman setelah pelukan Aminya. Sangat nyaman, buktinya Ainun sekarang mengantuk.
"Gakpapa." Anam memilih diruang keluarga karena berencana untuk bergadang, karena percuma saja memejamkan mata dikamar tamu. Anam hanya akan tidur jika bersama Nadia, katakanlah berlebihan tapi memang itu kenyataannya.
Ainun menggeliat, menyamankan posisinya. "Kasian deh Abi gak bisa meluk Ami." Ainun menjeda kalimatnya. "Yaudah, Inun mau bobo disini aja sama Abi." Lanjutnya.
Sontak saja Anam menggeleng. "No, disini dingin. Inun nanti masuk angin, bobo dikamar aja sama Bang Azka." Tolaknya, tapi puteri tercantiknya itu menggeleng yang berarti menolak.
"Inun gak mau, Abi juga pasti kedinginan bobo disini jadi Inun mau nemenin. Inun kan sayang sama Abi walaupun lebay." Anam tersenyum, terharu dengan ucapan sang puteri ya walaupun ujungnya tetap tidak enak
"Azka juga mau tidur disini, nemenin Abi." Sahut Azka, ikut menimbrung.
Akhirnya Anam mengangguk, setelah itu mematikan televisi. "Yaudah, sekarang tidur ya? Jangan begadang, besok-kan Abang sama Inun sekolah pagi." Perkataannya itu diangguki kedua anak kembarnya. Mereka-pun tertidur, dikasur lipat yang dibawa Anam dengan dirinya yang diapit oleh anak kembarnya.
Anam mengusap punggung kedua anaknya itu, sampai hembusan napas teratur-pun terdengar. "Astagfirullah, anak gue kok pelor begini ya. Perasaan baru beberapa menit doang, udah ngorok aja." Gumam Anam geli.
Nadia yang tadinya ingin berseru mengajak Anam masuk-pun terdiam, hatinya menghangat melihat sang suami yang tertidur diapit oleh sikembar. "Bi.."
Anam buru-buru menoleh, dan tersenyum manis kepada wanita tercantik menurutnya itu. "Iyah Mi? Kok Ami belum bobo? Pasti gak bisa ya gara-gara gak peluk Abi?" Goda Anam.
Nadia menghiraukan itu. "Bangunin Azka sama Ainun, abis itu pindah kekamar." Titah Nadia setelah itu kembali kekamarnya.
Anam tersenyum bahagia, lantas buru-buru membangunkan Azka. "Woy pelor! Bangun!" Bisiknya pada Azka.
Dan Azka sontak saja terbangun. "Alhamdulillah, udah pagi ya Bi? Azka mandi dulu ya keatas, baru sholat subuh." Gumam Azka masih dengan mata terpejam.
Anam tertawa pelan, sedikit merasa bersalah. "Kamu baru lima belas menit tidur, bangun gih! Ami udah maafin Abi, Abi mau pindahin Ainun dulu, kasihan dia udah ngorok sambil mangap-mangap."
Azka berdecak dengan mata memincing. "Azka aja dibangungin, pas Ainun aja digendong kekamar." Gerutu Azka kesal dengan bibir dipajukan.
"Ya masa kamu mau Abi gendong ala bridal style, emang mau?" Pertanyaan Anam itu sontak membuat Azka menggeleng sembari meringis.