Ilmu itu teman-mu

4050 Words
"Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan tunjukkan baginya salah satu jalan dari jalan-jalan menuju ke surga. Sesungguhnya malaikat meletakan syap-sayap mereka sebagai bentuk keridhaan terhadap penuntut ilmu.Sesungguhnya semua yang ada di langit dan di bumi meminta ampun untuk seorang yang berilmu sampai ikan yang ada di air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibandingkan dengan ahli ibadah sebagaimana keutamaan bulan purnama terhadap semua bintang. Dan sesungguhnya para ulama’ adalah pewaris para Nabi, dan sesungguhnya mereka tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil bagian ilmu maka sungguh dia telah mengambil bagian yang berharga.” "Ainun.." Ainun mengangkat tangan, setelah itu mendelik kesal kepada kedua sahabatnya yang sedari tadi terus mengobrol. Mending kalau hanya bisik-bisik, kalau ini? Bahkan mereka sampai ditegur dua kali oleh Pak Ramzi, guru bidang study senbud atau seni budayanya. Saat ini, mereka tengah berada diruang seni. Ruangan yang digunakan jika mata pelajaran seni, ruang kelas tidak pernah dipakai jika untuk mata pelajaran ini. Sang guru, lebih memilih tempat yang berpindah-pindah, menurutnya ruangan yang monoton atau itu-itu saja bisa menghambat kreativitas seseorang, dan juga membuat rasa jenuh cepat datang. begitulah yang diucapkan Ramzi dulu sewaktu pertemuan pertama mereka. Setelah mengabsen, semua murid diperintahkan untuk mempersiapkan alat-alat melukis, yang sudah disediakan oleh Yayasan. Bab semester ini memang diawali dengan karya seni lukis, dan pastinya seluruh murid diharuskan mempraktekan cara mereka melukis. Itu adala tipe Ramzi mengajar, murid praktek dan dia memimbing secara bersamaan. "Untuk tema yang akan dipakai, Bapak membebaskannya. Mau kalian melukis kaligrafi, wajah seseorang, ilustrasi perasaan, dan yang lainnya. Bebas, kalian bebas menggambar apa-pun. Tapi.." Ramzi menggantung perkataannya, masih dengan kaki yang bergerak mengelilingi ruangan. Memastikan jika seluruh murid sudah menyiapkan alat-alatnya dengan baik. Langkah Ramzi berhenti tepat dipodium mini, lalu berbalik untuk menatap murid-muridnya. "Bapak ingin kalian melukis sesuatu yang sedang kalian pikirkan. Apa saja, apapun itu bebas. Kalau kalian sedang memikirkan pulpen, silahkan lukis pulpen, jika kalian hanya memikirkan titik atau garis silahkan lukis. Bahkan, jika kalian tidak memikirkan apapun, Bapak persilahkan untuk kanvas lukis kalian kosong. Tapi setelah waktu melukis habis, Bapak ingin beberapa diantara kalian menjelaskan maksud dari lukisan tersebut." Sontak saja semua murid gugup, kalau soal melukis sih mereka santai, sebab Ramzi adalah guru yang enjoy lebih mengutamakan kepatuhan, tata krama dan budi pekerti ketimbang skill. Tetapi jika soal jelas-menjelaskan semuanya pasti gugup, apalagi ini soal lukian yang pastinya akan sangat jelek karena gugup dahulu. "Silahkan memulai." Setelah Ramzi mengatakan itu, semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Olla dan Rani-pun, yang tadinya asik mengobrolkan podcast sekarang sudah panik dengan lukisan. Mereka mau melukis apa? "Psst! Psst!" Olla memberi kode kepada sahabatnya, dan pasti yang menoleh hanyalah Rani. Ainun itu adalah gadis yang jika sudah jam pelajaran akan sulit diajak mengobrol, apalagi jika saat menegangkan ini. Ainun akan sibuk dengan dunianya sendiri. Rani mengangkat dagunya. "Apaan? Gece kalau ngomong, gua mau ngeblok warna dulu." Kata Rani yang sudah memulai dengan memilih warna. "Lo mau lukis apaan?" Olla bertanya. Dahi Rani mengerut bingung, lalu dengan cepat menatap Olla. "Tumben banget lo kepo sama isi kepala gue? Biasanya gak peduli." Jawaban Rani yang melantur tak tau arah itu membuat Olla menghela napas, memilih mengibaskan tangannya memberi kode agar Rani kembali kepada pekerjaannya. Tiba-tiba saja ide cemerlang terlintas diotak pas-pasan Olla, dengan senyum manis yang tercetak dibibir tipisnya Olla memulai dengan warna hitam. Ramzi menarik bangku, menempatkannya didepan. Tepat ditengah-tengah barisan. Dengan mata yang mengawasi seluruh muridnya, Ramzi memulai pembicaraan. "Sembari melukis, mungkin kalian bisa mendengar apa yang bapak ucapkan. Hari ini, kita tidak akan membahas materi yang ada dibuku ataupun materi yang ditargetkan. Hari ini, Bapak ingin kalian semua fokus kepada apapun yang ada dipikiran kalian. Lewat lukisan ini, Bapak hanya ingin memberi tahu jika masih banyak media seni yang bisa dijadikan tempat tumpahnya rasa." Deheman terdengar, Ramzi bisa melihat beberapa murid yang melirik kearahnya. "Bapak paham posisi kalian, remaja dimasa milenial ini seolah ditarik secara paksa untuk selalu tampil sempurna. Tekanan masyarakat, negara, bahkan keluarga sendiri jauh lebih besar ketimbang remaja-remaja diera kemarin. Bapak sering melihat, banyak-nya remaja yang sempoyongan kearah yang salah. Tapi, Bapak tidak menyalahkan dia atau mengatakan kalau dia salah. Karena Bapak tau jika tekanan yang membuat kalian seperti itu. Zaman ini seolah tidak membiarkan kalian mengepakkan sayap dengan bebas." Ramzi melirik arloji ditangan kanannya, waktunya masih cukup untuk melanjutkan pidato sederhananya. "Bapak tidak pandai memberikan solusi walaupun Bapak adalah seorang guru, karena hanya yang maha kuasa-lah yang bisa memberikan solusi terbaik. Yang Bapak berikan adalah ini, seni. Melukis, menjadi salah satu media yang Bapak selalu lakukan jika pikiran sedang kusut. Bapak waktu tidak tahu mengapa kepala Bapak dulu begitu sakit, Bapak tidak paham dengan keadaan. Tapi ketika melukis, hasil lukisan seolah menjadi jawaban, Bapak waktu itu sedang emosi dan berambisi." "Yang bisa digaris besarkan, jika kalian sedang merasa jatuh jangan dulu meminta bantuan atau mengambil jalan pintas untuk bangkit yang padahal hanya akan melukai kaki kalian. Cobalah berpikir, pikirkan cara yang bisa kalian buat agar bisa bangkit. Tidak hanya media lukisan yang bisa menjadi tempat tumpahnya rasa, ada juga sajadah yang siap selalu menjadi temanmu berdoa." Ramzi tersenyum ketika akhir dari ucapannya disambut oleh tepuk tangan semua murid, ya. Ia sengaja mengatakan itu, kegagalannya dimasa lalu tidak boleh dirasakan oleh murid-muridnya itu terlalu menyakitkan. Tak lama setelah itu terdengar suara pintu yang terketuk dari luar. Ramzi mempersilahkan murid-muridnya agar terus melanjutkan melukis, dan dirinya yang mendatangi orang yang mengetuk pintu. "Wah, Pak Zander sudah datang?" Sapa Ramzi setelah menutup pintu, menyambut uluran tangan Zander. Zander tersenyum, matanya mencoba melirik lewat jendela yang transparan. Sepertinya murid-murid sedang melakukan praktek, bisa dilihat mereka melukis dengan sangat serius. "Iyah Pak, terimakasih sudah mau berbagi jam dengan saya. Maaf ya merepotkan." Kepala Ramzi menggeleng, lalu menepuk pundak lelaki yang umurnya sama seperti adiknya. "Harusnya saya yang minta maaf, kita berbagi jam tapi gaji kamu ditumpahkan kesaya. Seharusnya tidak begitu, saya ikh-" "Gakpapa Pak, anggap saja itu tabungan kado saya untuk dede bayi. Saya denger, isteri bapak sedang hamil anak keenam ya?" Potong Zander cepat, lalu mengikuti langkah Ramzi yang duduk dibangku panjang yang berada tepat didepan ruangan. Tawa pelan Ramzi menyahut. "Iyah Zan alhamdulillah Allah masih mempercayakan satu malaikat kecil lagi kesaya dan juga isteri. Kami berdua memang gak berencana untuk stop ataupun mem-pause." Kelakar Ramzi yang disambut tawa Zander. "Pak Ramzi bisa saja. Kasih tau tuh Abang saya, supaya cepat-cepat menikahi Arumi. Bapak saja anaknya sudah enam, lah dia? Punya isteri saja belum? Bang Raka terlalu larut dalam memilah perempuan yang pada dasarnya juga tidak baik. Dia malah menyakiti berbagai hati." Ujar Zander seraya terkekeh, kalau ada Raka ia tidak akan berani mengatakan itu. Dan fyi, Ramzi adalah teman semasa sekolah dasar Raka dulu. Karena itu juga Ramzi bersedia membagi jam bekerjanya, Zander yang merasa tidak enak-pun memberikan gajinya setiap bulan untuk Ramzi. "Pak Zander mau ngopi?" Tawar Ramzi seraua menunjuk kantin yang tak jauh dari mereka. Zander menggeleng. "Enggak Pak terimakasih. Oh iya, panggil Zander saja. Cukup saya yang panggil Pak, Pak Ramzi-kan jauh lebih tua daripada saya." Kepala Ramzi mengangguk kecil, Zander memang berbeda dengan Raka. Semasa sekolah dulu, Raka itu terkenal angkuh dan terlalu memamerkan kekayaan sang ayah walaupun Raka tetap baik kepada orang disekitarnya. "Kalau begitu kita masuk sekarang saja, abis perkenalan dengan mereka kita ngopi. Saya penasaran dengan Raka yang sekarang." Sontak saja Zander mengangguk cepat, menyetujui keinginan Ramzi tadi. Ia juga ingin sesegara mungkin masuk kedalam, memperkenalkan diri secara gagah kepada kelas Bahasa dan juga kepada gadis kesayangannya. Entah apa yang ia lakukan, tapi keberuntungan kini tengah berpihak kepadanya. Sebab, objek yang pertama kali menyambutnya adalah senyuman Ainun, Ainun Syahara, gadis mungil kesayangannya. "Ya Allah, kuatkan-lah hati hamba, lindungilah hamba dari senyuman semanis gula aren itu." Gumam Zander begitu sampai didepan kelas. Ainun yang sedang tersenyum bahagia sembari menatap karyanya-pun langsung menoleh, begitu Rani menyenggol tangannya dan mengode itu menatap kearah depan. "Ada apa?" Gumamnya bertanya, setelah itu menoleh. Dan betapa terkejutnya ketika melihat seorang dewa yunan- ah tidak tidak! Ainun langsung menggelengkan kepalanya, dan meyakinkan hatinya jika lelaki yang berdiri gagah itu adalah om-om jelek! Apa-apaan ia mengatakan jika om-om itu adalah dewa yunani? Zander menahan senyum ketika tatapan merek bertemu, gadisnya itu langsung menggembungkan pipi. Sangat lucu. Dan entah ide jahil dari mana, Zander malah mengerlingkan mata menggoda. Mata Ainun melotot kala Zander memberikannya kerlingan mata. Apakah lelaki tua itu sudah gila? Menggoda gadis yang baru saja dilegalkan dengan ktp? "Dasar om-om gak tau diri, taunya modusin orang doang!" Gerutu Ainun seraya mengambil kuas, merapihkan lukisannya kembali. "Waktu melukisnya sudah habis ya. Dan sekarang, Bapak akan menjelaskan sesuatu. Karena isteri Bapak sedang hamil besar, Bapak meminta kepada pihak Yayasam untuk menambah guru Seni Budaya dan membantu Bapak yang tidak bisa selalu hadir setiap minggu. Ini Pak Zander, orang yang akan membantu Bapak kedepannya." Ramzi mempersilahkan kepada pemuda disampingnya agar memperkenalkan diri. Zander mengangguk, lalu maju satu langkah. Yang pertama ia lakukan adalah membenarkan jasnya, Zander merutuki dirinya sendiri yang baru sadar jika ia belum berganti pakaian. Pekikan tertahan dari beberapa gadis yang pertama kali menyambutnya, jujur saja itu semua membuatnya gugup. Ini adalah kali pertamanya ia berdiri didepan umum, apalagi kepada murid SMA. "Assalamualaikum. Selamat pagi menjelang siang semuanya." Tak lama setelah itu Zander berdehem, mencoba menghilangkan kegugupannya. Melihat Ainun yang kini memperhatikannya membuat rasa gugup itu sebagian sirna. "Perkenalkan, nama saya Ahmad Lucas Zander Matatula. Kalian bisa memanggil saya Mr. Zander. Kedepannya saya akan mrmbantu Pak Ramzi. Emm.. karena pelajaran seni ada dua kali dalam seminggu, jadi kami berdua berganti untuk mengajar. Misalkan minggu ini adalah pak Ramzi, berarti minggu depan adalah saya." "Saya harap, kita bisa bekerja sama. Ada pertanyaan?" Satu gadis mengangkat tangannya, yang dibalas dengan senyum tipis Zander. "Saya mau tanya, Mr. Zan sudah punya isteri belum?" Bibir Zander tersenyum mendengar pertanyaan itu, matanya tanpa sengaja melirik Ainun yang sedang menatapnya dengan mata yang sok dipelotot-pelototkan, lucu dan lugu. "Belum, tapi sebentar lagi saya akan menikah. Doakan saja ya." Jawabnya. "Yasudah, jam pelajaran sebentar lagi habis. Berhubung ada Mr. Reza, Bapak ingin kalian menjelaskan hasil lukisan kalian. Bapak persilahkan kalian mempersiapkan diri, setelah itu Bapak akan memanggil beberapa orang untuk maju satu persatu." Ainun menggigit bibir bawahnya, gugup jika namanya-lah yang pertama kali dipanggil. Dengan serius Ainun menatap tampilan lukisanya, ya.. tidak buruk, tetapi tetap saja ini tidak bagus! Jerit Ainun didalam hati. "Silahkan Olla..." Ainun menghembuskan napasnya lega, ternyata bukan namanya melainkan nama sahabatnya. Olla dengan tangan yang panas dingin berjalan kedepan. Ketika sampai dipodium mini, Olla lantas memperlihatkan hasil lukisannya. "Ini adalah make up, dan juga beberapa skincare yang sering saya pakai untuk merawat diri.." jelas Olla sedikit tergagap. "Apa maksud dari lukisan itu Olla?" Ramzi dengan cepat menyahut. Suasana hening beberapa saat ketika Olla hanya diam dengan tatapan kosong kearah depan. Bibirnya berkedut menahan senyum kala melihat kedua sahabatnya memberikan semangat dengan cara yang aneh, apalagi Ainun. Gadis itu malah menampilkan wajah aneh yang malah membuatnya ingin cepat turun dari sini. Zander diam-diam terkekeh, menertawai tingkah absurd dan juga unik dari gadisnya. "Dasar Ainun, untung aja aku cinta. Jadi seperangkat tingkah kamu aku terima dengan lapang dada." Tentu saja Zander mengatakan itu didalam hati. "Em.. alasan saya melukis make up dan skincare adalah karena saya mencintai mereka. Terdengar aneh dan menjijikan memang, tapi jujur saja karena make up dan juga skincare saya jauh lebih merasa dihargai dan juga jauh lebih percaya diri. Dulu banyak yang mencaci maki saya, mengatakan jika wajah saya terlalu buruk dan tidak pantas untuk berteman dengan Ainun dan juga Rani tapi kala saya mencoba untuk merias diri, mereka juga mencaci saya dan mengatakan jika saya tidak mensyukuri apa yang saya miliki. Awalnya saya sempat depresi, tapi karena dukungan orangtua dan juga Ainun Rani saya bisa bangkit. Sedikit menulikan telinga dari perkataan orang-orang yang tidak bisa menjadi saya." Tepuk tangan yang awalnya hanya dilakukan oleh Ainun, kini menyebar. Seisi kelas memberikan tepuk tangan, termasuk Ramzi dan juga Zander. "Wah, pembuka yang luar biasa. Terimakasih Olla untuk cerita luar biasanya, saya harap kedepannya kamu tetap dan semakin percaya dengan diri kamu." Setelah mengatakan itu Ramzi mempersilahkan Olla untuk duduk. Tangannya mencatat beberapa point dibuku teacher's diary miliknya, seperti biasa. "Mungkin ada yang ingin Mr. Zan sampaikan?" Zander yang sedang memperhatikan Ainun langsung gelapan, tapi dengan cepat mengontrol ekspresinya. "Hanya satu pesan saya. Didunia ini pandangan setiap individu berbeda-beda, kita tidak bisa memaksakan pandangan oranglain agar sama dengan pandangan kita, dan juga sebaliknya. Jadi, saya mohon untuk bersikap layaknya kita sedang bermusyawarah, yaitu menerima mendapat dan pandangan oranglain." Zander menganggukkan kepalanya tanda cukup. "Yap, terimakasih Mr. Zan. Yang selanjutnya adalah.. Ainun!" Ramzi sedikit berseru, gadis yang kini berjalan dengan riang kepodium mini bisa dibilang murid kesayangannya. Pikiran polos dan lugunya sangat cocok untuk dijahili. "Oke, Ainun melukis...fisika?" Ramzi membeo, menatap kain kanvas mini yang hanya menampilkan kata fisika dengan cat kuning. Ainun mengangguk. "Iya, fisika."  *** "Oke, Ainun melukis...fisika?" Ramzi membeo, menatap kain kanvas mini yang hanya menampilkan satu kata saja, yaitu fisika dengan cat kuning. Ainun mengangguk. "Iya, fisika." "Memangnya ada apa dibalik kata fisika?" Ramzi bertanya dengan alis terangkat, begitu-pun Zander. Lelaki yang sudah bersedekap d**a itu mulai penasaran dengan jawaban gadis kecil itu. Mata Ainun menatap Ramzi bingung, lalu setelahnya membolak-balikan papan kanvasnya. "Gak ada apapun disebaliknya." Jawabnya polos. Helaan napas terdengar dari mulut Ramzi. "Bukan begitu, maksud saya ada maksud apa dibalik kata Fisika." Ujar Ramzi meralat. Sebelum berbicara, Ainun sempat menggigit bibir atasnya. "Karena pelajaran fisika itu selalu ngasih tugas, Bu Yana juga selalu masuk kekelas. Jadi Ainun gak suka, udah-mah pelajarannya susah, Bu Yana masuk terus lagi. Mana ngasih tugas mulu dan juga tugasnya banyak banget teorinya, Ainun-kan pusing udah mah ngitung, ngafal teori lagi. Dan juga, setiap Ainun ngisi selalu salah tapi ditunjuk mulu buat maju kedepan, kaya sengaja begitu. Terus ya.. Ainun gak dikasih nilai tambahan, padahalkan harus ya? Ainun itu selalu siap kalau disuruh maju, ya walaupun belum pernah bener. Tapi tetep aja, nilai Ainun gak jauh dari tujuh delapan. Ainun kesel, menurut Ainun fisika itu terlalu rumit dan terlalu menyebalkan untuk dipelajari." Ruangan menjadi sunyi, loh? Ini Ainun curhat atau sedang menjelaskan sih? Ramzi mengerjapkan matanya dengan pelan, dalam pikirannya muncul berbagai pertanyaan. Nih anak curhat apa gimana? Berani bener ngomongin guru killer didepan kelas, Bu Yana-kan galak. Kira-kira begitulah pertanyaan yang berada diotak Ramzi. Suara sorakan serta tepuk tangan tanpa dikomandoi terdengar riuh, para murid seolah sangat setuju dengan apa yang dikatakan Ainun. Dan sang empu dengan keluguannya hanya tersenyum, merasa bangga dengan apa yang ia lakukan sampai diberi tepuk tangan riuh. "Terima kasih, terima kasih." Ujarnya seraya membungkuk. "Eh-eh sudah." Ramzi berseru menghentikan keriuhan. "Begini-loh, Bu Yana itu masuk terus karena pengen ngajarin kalian. Ngasih tugas banyak supaya kalian bisa ngoreksi, biar kalian belajar lebih giat. Teori-kan juga penting walaupun itu pelajaran fisika, masa iya kalian itung-itungan doang? Jadi jangan begitu ya, Bu Yana itu niatnya baik kok." Ramzi meluruskan, mencoba membuat murid-muridnya yang tampak tak menyukai fisika ini paham. Wajah Ainun merengut tidak suka, dan itu sukses membuat Zander yang berada disamping Ramzi tertawa. "Haduh!" Ainun menepuk jidatnya dengan dramatis. "Pak Ramzi gak ngerti perasaan Ainun sih! Nih ya, ceritanya waktu itu Ainun ada ulhar matematika pas lagi belajar tiba-tiba ada w******p yang isinya tugas yaitu suruh nulis teori fisika secantik mungkin yang banyaknya itu melebihi dosa Ainun dan katanya dinilai besok pagi, Ainun mah rela-rela gak belajar matematika sampe dapet nilai endog pula, eh catetan fisika-nya mah cuma diparaf doang sama Bu Yana. Coba Bapak bayangin gimana rasanya jadi Ainun? Sakit gak? Sakit Pak!" Lagi, Ainun berujar dengan nada dramatis. Sepertinya, gen lebai dan drama-nya Anam juga menyimprat kediri Ainun. Seisi kelas menahan tawa melihat tingkah Ainun, mereka memang sudah biasa disuguhkan tingkah konyol Ainun yang lugu itu. Tapi mereka tidak pernah berhasil menahan tawa. Ramzi menggaruk pipinya, tidak tahu harus membalas perkataan murid teranehnya ini dengan kalimat apa. Matanya melirik kearah samping, ia memohon lewat sorot mata kepada Zander agar menolongnya. Sebelum mengatakn sesuatu Zander tertawa, lantas setelahnya ia langsung menatap lurus murid yang tengah mencurahkan kekesalannya kepada fisika itu. "Tapi yang terpenting, karena Bu Yana juga-kan kalian hafal sudut istimewa? Karena Bu Yana juga kalian bisa tau gravitasi diberbagai planet. Jadi, bisa-kan ambil baiknya? Jangan begitu sama guru, nanti ilmunya hilang." "Tapi pelajaran fisika gak ngebuat saya tau isi hati dia, jadi untuk apa?" Fajar, siraja bucin menyahut dan dibalas pelototan Ramzi. Pipi Ainun mengembung karena ucapan Zander. "Emang Ainun ngapain Bu Yana? Ainun-kan cuma bilang beliau suka sekali masuk, dan juga pelajarannya rumit dan menyebalkan. Gak ada bagian meledek tuh!" Ainun berujar dengan kesal, lalu setelah itu duduk dengan menghentakan kaki. "Yah.. Ainunnya ngambek." Ramzi menyahut menggoda, lalu setelahnya tertawa bersama Zander dan beberapa murid. Mata Ainun memincing tajam menatap Zander yang tertawa meledeknya, apalagi Ramzi yang juga ikut tertawa. "Gini-nih kalau jomblo, gak tau apa yang harus dilakuin kalau cewek lagi ngambek!" Seloroh Ainun ketus. "Emang kita sebagai pihak laki-laki harus ngapain Nun?" Fajar kembali menyahut, selain julukan raja bucin Fajar juga adalah raja jomblo. Karena kebucinannya lahir dari kejombloannya yang sudah stadium empat. "Ya Ainun mana tahu! Kalau kata Ami, cewek-kan tugasnya cuma ngambek doang, kalau cowok baru pihak yang mikir! Makanya pinter, jangan cuma ganteng doang." Sahut Ainun cepat, keluguan Ainun membuat setiap ucapannya melucur begitu saja, apalagi Ainun adalah pendengar yang baik. Fajar menghela napas, lalu mengedahkan wajahnya keatas. "Enak banget jadi cewek, dia yang ngambek tapi cowok yang mikir. Kenapa ini semua terasa tidak adil ya gusti?" Lirihan Fajar itu sukses membuat seisi kelas tertawa. "Makanya Jar, jangan mainin hati perempuan terus. Dibaperin, diajak makan bakso, tapi gak ditembak. Ini namanya karma, karma kejombloan." Rani ikut menyahut, terdengar nada ketus dan emosi yang terpendam. Fajar berdecih mendengarnya. "Halah, lo ngomong kaya gitu karena lo salah satu mantan gebetan bayangan gue, iya-kan? Lo masih dendam nih pasti sama gue." Wajah menyebalkan Fajar menatap Rani dengan ekspresi menggoda. "Ya elo sih baperan, diajak makan bakso aja dikira demen. Gini-nih cewek kurang es kul-kul mah, SH! Sarjana halu!" Jleb, Rani melotot pada laki-laki yang dulu pernah ia sukai itu. Perkataannya yang sedikit berguyon itu sangat menusuk kehatinya. "Eh jigong basi! Jangan sok ganteng ya lo, itu dulu! Sekarang gue udah lupa, ya kali gue gak bisa move on? Modelan panci geseng kayak lo mah disentil cogan juga ilang dari otak gue. Lo sendiri juga sekarang masih jomblo, godain aja sono adek kelas sampe congor lo bergelombang!" Balas Rani tak kalah pedas. "Waduh Jar, penghinaan kaum-kaum jomblo tuh." Sahut Marcus, partner menjomblo Fajar. "Kok kalian pada ngebahas itu sih?" Ainun menyahut dengan nada kesal, menatap dua pasangan yang gagal bersatu itu. "Lagian udah lewat juga, dasar manusia bekasi-kalimantan, dekat dipeta jauh dikenyataan!" Seloroh Ainun. Zander tertawa, ah rasanya hari-harinya mengajar dikelas ini akan sangat menyenangkan. Isi kelas ini adalah pemuda pemudi yang haus akan lawakan dan juga kesantaian, ada yang buciners, ada yang polos, dan ada yang hanya diam tapi mendengarkan. "Sa ae lu Nun." Celetuk Marcus, menatap Ainun dengan senyum menggoda. Sudah menjadi rahasia umum jika gadis imut itu disukai banyak laki-laki, termasuk Marcus. Tapi, semua laki-laki harus ingat secara betul bagaimana seramnya tiga pengawal Ainun. Zander menatap tidak suka pada pemuda yang menatap Ainun dengan senyuman itu. Lantas, karena tidak ingin pemuda itu terus menatap gadisnya Zander mengalihkan fokus dengan berdehem lalu berdiri dipodium mini. "Karena kalian tadi membahas soal fisika, dan juga cinta. Bagaimana kalau saya membahas sedikit soal folosofi cinta menurut fisika, bagaimana?" "Boleh Pak, silahkan ngomong apa aja. Saya siap mendengarkan!" Sahut Olla cepat, sembari menangkup kedua pipinya dan menatap kagum Zander. Ainun yang duduk disampingnya memutar bola mata malas. "Ih Olla ganjen, Ainun bilangin Rijki loh!" Ancam Ainun, membawa nama laki-laki kelas sebelah. Olla buru-buru menoleh ketika mendengar nama calon imamnya. "Ah Ainun gak seru, gue-kan lagi cuci mata. Butek tau klau mata gue direndem sama muka blangsak si Rijki mulu." Mendengar itu Marcus langsung menatap ngeri Olla. "Astagfirullah, nyesek bener gua dengernya. Gue-kan mukanya gak jauh beda sama si Omeh, berarti muka gue blangsak dong?" Gumam Marcus. Fajar yang mendengar ucapan sahabatnya-pun mesem. "Kemana aja lo? Kenapa baru tau muka lo blangsak? Pantes aja si Jamsiah ogah sama lo, terus sekarang sok sokan ngarepin si Ainun. Nanti juga bukan cuma muka lo yang blangsak, otak lo juga." Marcus melotot kesal. "Enak aja! Jamsiah gak gue kasih harepan apa-apa ya, dia aja yang baperan!" Selorohnya tidak terima. "Sudah-sudah, boleh saya lanjutkan? Sepertinya dikelas ini problem terbesarnya adalah cinta ya?" Zander menyahut, gestur tubuhnya saat ini jauh lebih rilexs. Fajar mengangkat tangannya. "Sebenernya problem dikelas kita itu nilai Mr, masa sekelas nilai matematikanya lima?" Ingin rasanya seisi kelas menyerbu mulut lemes Fajar, kenapa aib itu harus dibahas sih?! Zander tertawa, ada-ada saja jawabannya. "Yaudah, karena waktunya tidak lama saya akan mulai menjelaskan. Ini bukan tentang teori fisika loh, saya hanya memberi tahu cinta dimata fisika." "Salah satu konsep atau hukum yang sering kita pelajari disekolah yaitu Hukum Gerak Newton I yang berbunyi 'Setiap benda akan memiliki kecepatan yang konstan (tetap) kecuali jika ada gaya yang resultannya tidak nol bekerja pada benda tersebut.' Kalo tidak salah dapat diartikan seperti ini, suatu benda akan tetap diam selamanya jika tidak ada gaya yang mendorongnya bergerak atau suatu benda akan tetap bergerak selamanya jika tidak ada gaya yang mencoba membuatnya berhenti bergerak." Zander mulai melangkah, mengelilingi ruangan. "Nah dari hukum gerak tersebut dapat didefenisikan bahwa cinta itu bermakna usaha kesetiaan. Jika kita menjalin cinta dengan seseorang maka cinta kita akan tetap langgeng, berjalan lurus, selama tidak ada gaya lain atau energi cinta lain yang bekerja pada hubungan cinta kita. Agar jalinan cinta kuta tidak berhenti bergerak karena ada energi lain, maka dibutuhkan usaha agar resultan gaya dari cinta yang lain itu menjadi nol, dan salah satu usahanya adalah menciptakan gaya kesetiaan." Zander berhenti tepat disamping Ainun, berdiri disana dengan menatap keseluruh penjuru kelas. "So, apa ada pertanyaan?" Marcus mengangkat tangannya. "Mr, kata Mas Fajar cinta saya ke Ainun itu cinta monyet. Kalau menurut Mr. Zan bagaimana?" Suara riuh dan siulan mulai bergemuruh, walaupun ini bukan kali pertamanya Marcus mengatakan itu. Zander mencoba mengendalikan ekspresinya, dadanya bergemuruh mendengar pernyataan tersebut. Ada kelenjar kemarahan mengetahui jika gadisnya ternyata primadona sekolah, kalau saja mereka sudah menikah, Zander akan mengurung Ainun dan tak memperbolehkan siapapun melihat kecantikan Ainun. Ainun mendelik, Marcus memang tidak ada kapok-kapoknya. Padahalkan dia sudah diincar oleh Azka, pernah dibogem juga tapi masih saja nekat. "Iya emang cinta monyet, muka Marcus-kan kaya monyet." Celetuk Ainun. Seisi ruangan tertawa termasuk Zander, kecemburuannya sedikit meluap mendengar kalimat nyeleneh gadisnya. Apalagi Fajar, lelaki itu sampai tertidur dikarpet sambil memegangi perut. Berbeda dengan korban penistaan yang cemberut. "Sabar sabar..." gumamnya sambil mengusap d**a. *** Jam Istirahat sudah berlangsung selama lima menit, dan Ainun kini sudah duduk dibangku kantin bersama bodyguardnya, siapa lagi kalau bukan Azka. Mereka sebenarnya satu kelas, tapi karena kembarannya itu sedang sibuk dengan lombanya membuat dia jarang terlihat dikelas.  "Abang." Ainun memanggil dengan nada yang lucu, membuat Azka yang tengah memainkan games mau tak mau tersenyum. Adiknya itu memang pantas disebut sebagai moodmaker, walaupun memang sisi menyebalkannya itu sangat membuat otak ceteknya itu mendidih. Setelah me-logout gamenya, Azka menatap sang adik yang tengah menampilkan ekspresi kesukaannya, melongo. "Apa? Inun mau makan apa?" Tanya Azka setelah mengecup pipi sang adik gemas.  Mata Ainun melotot melihat kenekatan kembarannya. "Abang ih! Ini itu dikantin, nanti dikira orang m***m gimana?" Ainun berujar kesal sembari menangkup pipinya.  Azka tertawa pelan, lalu mengangkat tangannya. Memanggil salah satu pedagang kantin langganan mereka. "Aduh Inun, seantreo sekolah ini udah pada tau kalau kita kembar dan berada diperut yang sama diorang yang sama dan pada waktu yang sama."  "Siapa tau aja-kan ada orang baru disekolah ini, kaya si om-om jelek itu!" Jawab Ainun masih merajuk sambil memegang pipinya.  Nama yang disebut Ainun seperti tidak asing ditelinga Azka, ketika sadar matanya langsung membelak menatap sang adik. "Om-om jelek itu ada disekolah ini?" Tanyanya spontan.  Ainun menjawabnya hanya dengan anggukan kepala, lalu menatap sesorang yang berdiri disampingnya setelah orang itu menyodorkan kertas menu. "Mang Karwadi apa kabar? Kangen gak sama Inun, kangen-kan? Kalau enggak-pun harus kangen, soalnya kata Abi Inun itu ngangein." Cerocos Ainun sambil membaca buku menu.  Karwadi hanya tertawa pelan mendengar ucapan pelanggan yang sudah ia anggap anak itu. Setelah kertas pesanan sudah diisi, Karwadi-pun pergi.  "Dia ngapain disini? Kok kamu bisa ketemu sih sama dia?" Azka bertanya dengan nada yang menuntut, lelaki yang pernah diceritakan oleh Abinya itu sudah dihighlight oleh Azka kedalam list laki-laki yang mendekati adiknya.  Ainun menggerakkan matanya kekiri dan kanan. "Dia jadi guru Seni budaya, ngebantu Pak Ramzi. Soalnya Pak Ramzi cuma bisa ngajar selingan gitu, gak setiap minggu hadir. Jadinya dibantuin deh sama Mr. Zan."  Dahi Azka mengerut. "Siapa?"  Ainun mendongak menatap sang kembaran. "Mr. Zan, dia minta dipanggil begitu. Nama panjangnya Ahmad Lucas Zander Matatula." Ainun merinci setiap kata dari nama Zander.  Azka mendengus dengan wajah bengis. Sepertinya ia harus lebih ekstra lagi menjaga Ainun, karena virus besar sudah ada didekat mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD