Part A

983 Words
Dua bulan berlalu Udara terasa amat dingin malam ini, awan mendung nampak dihiasi oleh kilatan petir. Tak berselang lama titik-titik air hujan turun membasahi bumi. Sepasang suami istri nampak sedang menikmati pemandangan itu. Ralat, hanya sang suami saja. Sementara sang istri dengan perasaan donkol terpaksa menuruti perintah suaminya untuk tidak membersihkan diri dulu. Padahal badannya terasa amat lengket setelah pergulatan panas mereka. Renata menatap suaminya dengan malas, rasanya ia ingi  segera keluar dari jeratan pria tua m***m yang sayangnya sangat tampan dan berkharisma ini. "Nick lepaskan aku, badanku lengket. Aku ingin mandi." rengek Renata, entah ini sudah yang ke berapa. "Istirahat lah, jangan banyak bicara! Persiapkan tenagamu, karena aku ingin lagi." Ucap Nick dingin. Membuat Renata mendengus kesal. "Jangan bertingkah seolah-olah kau seorang ratu disini Renata. Ingat aku membayar mahal untuk ini." Nick berucap dengan dingin, membuat nyali Rena menciut, tiba-tiba perasaan mendominasi hatinya. Dengan sigap Nick membuka selimut tebal yang menutupi tubuh polos mereka, dan membuang selimut itu jauh-jauh. Tanpa foreplay Nick langsung melesakkan juniornya ke dalam inti Rena, membuat Renata menjerit seketika, kulitnya yang terasa sangat dingin, karena Nick sengaja menurunkan suhu di AC kamar mereka. Ditambah lagi dengan pompaan Nick yang semakin menggila. Benar-benar sakit! Batin Renata berteriak, karena kini mulutnya disumpal menggunakan kain oleh Nick. Saat ia akan sampai di pelepasannya, Nick langsung memcabut juniornya. Rasa pening langsung menjalar di kepala Renata, ia sangat ingin memenuhi hasrat pelepasanya. ia berusaha memasukan jarinya ke inti tubuhnya, namun dengan sigap Nick menahan tangan Renata. Kala wajah Rena berubah pucat, dan tubuhnya mulai lemas, Nick memasukan Junior nya lagi dan memompanya lebih cepat, hingga akhrinya ia mendapat pelepasannya, sementara Renata sudah tak sadarkan diri.   Renata mengerjabkan matanya berulang-ulang. Ia merasakan pegal dan pening yang luar biasa di badan dan kepalanya. Namun ada yang aneh, kala ia membuka matanya. Ia berada di kamar lain, bukan kamar ia digempur nick semalam. Ia meraba tubuhnya yang kini sudah terbalut baju dengan baju dan celana berbahan sutra. Matanya melirik jam di dinding yang sudah menunjukan pukul 10 pagi. Rena benar-benar kesal sekaligus heran, bagaimana pria setengah abad itu memiliki stamina yang begitu besar, seolah tak pernah lelag dengan urusan ranjang. Dengan tertatih Rena beranjak dari tempat tidur, ia segera mencuci mukanya dan menyikat gigi. Di ruang makan nampak terhidang menu sarapan lengkap, dengan lahap Rena segera menghabiskan semua menu itu. Rena mendudukan dirinya di sofa ruang tamu. Ia menonton kartun favoritnya sambil memakan setoples kripik kentang. "Sudah bangun pemalas?" suara bariton yang amat sexy itu mengalihkan fokus Rena dari televisi.  Ia menatap Nick yanh sedang turun dari tangga mengenakan kaos oblong dan celana parasut pendek. Sialan! Kenapa pria tua itu amat tampan?! Batin Renata. "Kamu nggak ke kantor?" tanya Renata saat Nick sudah duduk di sampingnya dan merebut toples kripik kentang yang sedang rena makan. "Kau tau bukan, di usia senjaku aku hanya ingin istirahat dengan tenang dirumah bersama istriku yang begitu sexy ini." Ucap Nick membuat Rena memutar matanya kesal. Mereka berdua duduk bersandingan dengan toples kripik kentang di tenga-tengah mereka, mata keduanya fokus pada televisi. Seorang penjaga masuk ke dalam rumah den berdiri tepat di belakang Nick dan Rena "Permisi Tuan Müller, diluar ada seorang tamu mencari Nyonya Renata." Nick tak menjawab "Siapa yang mencariku?" tanya Renata heran. "seorang lawyer Nyonya." jawab sang penjaga. "Siapa??" lirih Rena. "Suruh dia masuk." titah Nick. Tak lama berselang, seorang pengacara duduk bersebrangan dengan Renata dan Nick. Mereka terlibat perbincangan serius, sesekali Renata mengusap sudut matanya yang berair. Terlebih lagi saat ia membaca surat wasiat dari Kakaknya yang ia yakini 100% kebenaranya, karena ia hafal betul tulisan tangan kakaknya. "Dimana mbak Kinanthi sekarang?" tanya Rena dengan sesenggukan, rasanya ia ingin bersujud di kaki Kinanthi dan meminta ampun. Sang pengacara mendesah berat. "Bu Kinanthi dirawat di rumah sakit, semalam beliau keguguran." ucap sang pengacara dengan nada sedih. Tangis Renata pecah seketika, Nick langsunh memeluk erat Rena, setelah dirasa tenang. Nick menangkup wajah Renata. "Setelah ini ceritakan semua padaku." lirih Nick. "Ekhm, maaf Bu Rena, Pak Nick, saya harus segera pamit." Ucap sang Pengacara. Nick mengangguk. "Mohon maaf, ini adalah rekaman cctv rumah Bu Kinan beberapa tahun lalu saat Pak Pandu masih hidup." Sang pengacara menyerahkan sebuah kaset. "Terimakasih." Ucap Nick. Hari sudah sore, namun Renata masih saja menangis, terlambat sudah ia menyesali semuanya. Kinanthi yang selama ini ia anggap sebagai pembunuh, wanita jahat dan tuduhan jelek lainnya tidaklah benar. Dirinya lah yang jahat, ia pembunuh.ia membunuh nyawa seorang bayi, yang bahkan belum terlahir ke dunia. "Sudahlah, menangis tak akan mengembalikan apapun." Nick berusaha menenangkan Renata, walau nyatanya di dalam hati terdalamnya, ia kecewa dengan tindakan Rena. "Aku pembunuh.. Hikss.." Rena kembali terisak, Nick pun keluar dari kamar Renata untuk memberi Rena waktu menengakan diri. Keesokan harinya Renata dengan segala permohonan maaf dan penyesalan nya datang menemui Kinanthi di RS. "Permisi sus, bisa antarkan saya keruangan pasien atas nama Kinanthi Bratawijaya?" Suster itu nampak ragu, namun setelah meneliti Rena dari ujung kaki hingga kepala, suster itu akhirnya mengangguk. Setelah tiba diruang rawat inap Kinanthi, d**a Rena terasa begitu sesak. "Mana bayi ku Ndji?! Mana?!!" Kinanthi berteriak histeris, Pandji nampak menitikan air matanya sambil memeluk Kinanthi, seperti membisikan sesuatu. "Apa tuhan tidak tau bagaimana aku mendamba kehadiran bayi ku?!" teriak Kinan lagi sambil mendorong Pandji dengan kuat. "Tuhan lebih memcintai bayi kita sayang." ucap Pandji. "Kamu pikir aku tidak menyayangi dan mencintai bayi ku?! Aku melakukan semuanya untuk bayiku!!" "Apa gunanya aku shalat kalau Allah saja mengambil kebahagiaan ku?!!" "Istighfar Kinanthi!" bentak Pandji membuat tangis Kinanthi menjadi-jadi. "Aku cuma mau bayiku."  "anak kita mas" lirih Kinanthi hingga akhirnya ia tak sadarkan diri. Renata yang mendengar keributan itu ikut menangis sejadi-jadinya. Ia merosot kelantai sambil menangis sesenggukan. "Permisi nona, ada perlu apa anda datang kemari?" Tanya seorang pengawal dengan pawakan yang begitu menyeramkan. Renata mendongak, "Saya teman arisan mba Kinan." jawab Rena serak. "Kalau begitu mari saya antar masuk." tawar si pengawal, Renata menggeleng. Rasanya tak sanggup untuk menemui Kinanthi sekarang ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD