Part 2 : Imagine of His Face

739 Words
Seorang wanita dengan setelan gamis dan jas memasuki sebuah area perkantoran yang tidak terlalu besar namun memiliki desain begitu elegan, sesuai dengan selera pemiliknya, siapa lagi kalau bukan wanita itu. Renata Adriana. Semua pegawai menyapa bos mereka yang baru memimpin mereka selama 2 bulan belakangan ini. "Selamat pagi bu Re." sapa Fatimah, asisten Renata dengan ramah. "Pagi Fat, Assalamu'alaikum." jawab Renata dengan senyuman yang sejak tadi tercetak jelas di bibirnya. Renata mendudukan dirinya di kursi kebesarannya, sementara jari-jari lentiknya mulai menari di atas keyboard, sambil sesekali mmengelus perutnya yang sedikit sakit. Tok tok tok "Masuk Fat." seru Renata. "Permisi bu, siang ini ada meeting dengan Hotel Harvian." lapor Fatima. Rena menatap Fatimah sebentar "Bisa di cancel dulu nggak Fat? Perut saya sakit banget. Kamu telfon Firman minta tolong siapin mobil ya, antar saya ke RS." perintah Renata dengan tenang, walau rasa sakit di perutnya makin memjadi-jadi. Tak butuh waktu lama, stelah mengosongkan semua jadwal Renata, kini Fatimah sudah memapah Renata keluar dari ruangannya. Dalam perjalanan kerumah sakit Renata terus saja merapalkan doa-doa, sambil mengelusi perutnya. Fatimah terus saja membisikan kalimat-kalimat penyemangat untuk Renata. Peluh sudah membanjiri Renata, rasa sakit yang ia rasakan semakin menjadi-jadi. perjalanan terasa sangat lama, karena mobil mereka terjebak macet. Ditengah-tengah kesakitan Renata terbayang wajah tampan ayah dari anaknya. Bayangan Nick sedang tersenyum sambil menyugar rambutnya terus terlintas di otak Renaata. "Nick.." lirih Renata, air matanya luruh seketika, pertahanannya runtuh sudah. "Bu? Sadar bu!!" teriak Fatimah panik sambil menepuk-nepuk pipi Renata yang kini sudah tak sadarkan diri. "Fir cepetann!!! Telfon polisi! Minta bantuan!! Bu Rena pingsan!!" Teriak Fatimah. "Sabar! Sebentar lagi kita belok ke kanan di depan! Kita ambil jalan pintas." jawab Firman tak kalah panik, setelah lima belas menit membelah kemacetan ibu kota, akhrinya mereka tiba dirumah sakit dan Renata pun segera mendapatkan penanganan dari dokter. Fatimah dan Firman duduk di depan ruang operasi dengan raut wajah khawatir serta mulut yang tak henti-hentinya merapalkan doa, tadi Fatimah sudah menghubungi Kinanthi, satu-satunya orang dekat dengan Renata selama ini. Dua jam berselang "Gimana keadaan Renata?" tanya Kinanthi dengan panik, saat ia tiba di rumah sakit setelah mendapat telfon dari Fatimah. "Bu Rena belum siuman bu, dan bayinya sekarang ada di ruangan khusus bayi bu." Jawab Fatimah yang sedang terduduk lemas di kursi ruang tunggu. Kinanthi segera bergegas masuk ke ruang rawat inap Renata, hatinya miris kala melihat mantan adik iparnya kini terbaring kaku, setelah menjalani operasi beberapa jam lalu. "Assalamu'alaikum Rena, mbak datang, selamat ya kamu sudah menjadi ibu." bisik Kinanthi tepat di telinga Rena. "Nick.." igau Rena dalam tidurnya, lelehan air mata mengalir di sudut matanya. Kinanthi berkaca-kaca, ia merasakan perih dihatinya kala melihat Renata begitu mengharapkan kehadiran Nick. "Nick.." igau Rena lagi, tangannya kini meremas tangan Kinanthi yang sedang memegang tangan Rena. Kinanthi bernapas lega kala Renata membuka matanya, "Mbak Kin.." lirih Rena pelan, matanya menyusuri sekeliling ruang inapnya, kini tangannya merapa perutnya yang terasa begitu perih. "Sebentar lagi anak mu akan dibawa kesini." Ucap Kinanthi seolah menjawab tanda tanya besar di kepalanya. "Aku suruh Fatimah untuk meminta suster membawa anakmu kemari." Kinanthi segera keluar dan menyuruh Fatimah memanggil suster. "Selamat ya." ucap Kinanthi kala melihat Rena mendekap putranya. setitik rasa cemburu menghinggapi hati Kinanthi. Andai saja dulu ia tidak keguguran mungkin kini anaknya sedang lucu-lucunya. "Mbak.." Panggilan Rena membuyarkan lamunan Kinan. "Mbak mau gendong?" tanya Rena. Kinanthi mengangguk cepat, ia mengambil alih bayi tampan berparas indo itu dari dekapan Rena. Ia menciumi pipi gembil bayi tampan yang masih tidur itu, "Assalamu'alaikum anak sholeh." ucap Kinanthi yang nampak begitu terpesona dengan ketampanan bayi itu. Kinanthi terus saja menciumi pipi gembil pipi anak itu, hingga mpunya menangis, "uhh sayang.. nih Ren" ucap Kinanthi sambil menyengir kuda. Renata hanya tersenyum simpul, ia mendekap jagoan tampannya, dan dengan sigap menyusui anak tampannya, yang memiliki paras bak dewa Yunani sama seperti ayahnya. Dengan lahap bayi itu menghisap sumber makanannya, membuat Renata meringis merasakan perih yang menjalar di dadanya. Setelah puas menyusu bayi tampan itu tertidur dengan pulasnya di dekapan sang mommy. "Siapa namanya?" Tanya Kinanthi yang kini duduk di kursi dekat brankar Rena, sambil menikmati ketampanan bayi Renata. "Cakra, Cakra Ardiano Müller." jawab Renata mantap. Membuat Kinanthi melotot seketika, bahkan Renata menyematkan nama laki-laki b******k itu di belakang nama anaknya. "Bagaimanapun dia adalah ayah dari anakku." ucap Rena dengan bijak, bagaimana pun ia tidak akan pernah memceritakan keburukan Nick pada Cakra kelak. Yang Cakra boleh tau hanyalah Daddy-nya yang baik, anaknya tak boleh tumbuh dengan rasa dendam kepada siapapun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD