Part 1 : The Karma Still Exist

734 Words
Matahari masih nampak malu-malu menampakan wujudnya, suasana pagi masih terasa dingin dan sedikit gelap. Seorang wanita berparas ayu yang masih lengkap dengan balutan mukena katun berwarna rustik, nampak sedang duduk sendiri di taman. Dengan merdu bibirnya mengalunkan shalawat sambil mengusap-usap perutnya yang nampak membuncit. "Sebentar lagi kamu lahir nak, meskipun nggak ada Daddy, mommy janji kamu nggak akan kekurangan kasih sayang sedikitpun." ucap sang wanita pada bayi dalam perutnya, yang dalam hitungan hari lagi akan segera keluar dan melihat dunia ini. Bibir tebal wanita itu tersenyum kecil kala mendapat respon sebuah tendangan dari jagoan kecilnya, seolah itu adalah tanda persetujuan atas apa yang diucapkan mommy-nya. Ya, ia akan melahirkan seorang Jagoan. Tak sabar rasanya hati Renata menanti kehadiran buah hatinya dalam waktu beberapa hari kedepan. "Renata!" Wanita cantik itu menoleh kala mendengar namanya dipanggil oleh seseorang. Wajah Renata tersenyum cerah saat mendapati Kinanthi -mantan Kakak iparnya- berdiri di depannya. "Kebiasaan deh, kalo abis shalat subuh nggak langsung pulang." Ucap Kinanthi dengan wajah cemberut yang dibuat-buat, membuat Renata terkikik geli. "Kenapa sih?" Tanya Kinanthi tiba-tiba saat melihat mata Renata berkaca-kaca. Renata tak menanggapi pertanyaan Kinan, ia justru memeluk Kinanthi dengan erat. Kinanthi paham betul bagaimana kondusi psikis Renata yang sedang sangat tertekan. "It's OK Ren, aku yakin kamu akan dapat yang lebih baik dari dia." Renata menggeleng, bukan itu yang ia maksud. "Bukan itu," jawab lirih Renata. "Lalu? Ada masalah apa? Ceritakan padaku." berondong Kinanthi. Renata melepaskan pelukan yang begitu menenangkan dirinya, ia menatap lekat mantan kakak iparnya yang kini menjadi sahabatnya. "Mbak Kinan baik banget sama aku. Aku nggak ngerti kenapa mbak bisa setulus ini sama aku, sedangkan aku dulu begitu jahat pada mbak, ak.." ucapan Renata terhenti kala Kinanthi meletakan telunjuknya di depan bibir Renata. Kini Kinanthi menatap Renata dengan sejuknya, "jangan dibahas lagi ya, yang terpenting sekarang ini adalah kesehatan mu dan baby. Insyaallah aku ikhlas lahir batin." ucap Kinanthi dengan mantap. "Pulang gih, mbak tadi bawain puding biasanya, udah mbak titipin ke minah. Mbak langsung pulang ya." pamit Kinanthi, Rena mengangguk mengerti, dirinya pun segera pulang. Renata menatap rumah yang sudah 8 bulan ini tempati, rumah 2 lantai dengan arsitektur minimalis. Rumah yang ia beli dari hasil usaha kedai mie yang telah ia geluti sejak masih duduk di sekolah menengah atas. Dengan langkah santai Renata memasuki rumah itu dan segera bersiap untuk ke kantor. Sejak 2 bulan lalu ia mulai aktif turun tangan mengurusi bisnis peninggalan almarhum kakaknya yang telah tiada sejak beberapa tahun silam. Renata menatap pantulan dirinya di cermin, ia menatap bayangan dirinya yang kini sudah siap dengan gamis pink, dilapisi jas kantor dan tak lupa pasmina pink dengan model simpel yang menutupi kelapanya. "Temani mommy kerja ya sayang, jangan rewel." ucap Renata sambil mengelus perut buncitnya. Walau hari kelahiran anaknya tinggal hitungan hari lagi, namun itu tak membuat Renata berleha-leha dirumah, karena ia sadar betul bahwa jabatan yang ia duduki saat ini memerlukan kedisiplinan dan loyalitas tinggi. Setelah siap Renata turun ke bawah untuk sarapan, dirinya biasa menikmati sarapannya bersama dengan asisten rumah tangganya, Bik Minah. Semangkuk sup wortel, tempe goreng kriuk dan tuna asap tak lupa segelas s**u hamil rasa coklat kesukaan Renata tersaji sempurna di meja makan, nampak begitu menggugah selera. “Ayo  Bik kita sarapan, saya udah laper banget ini.” Ajak Renata pada Minah yang masih sibuk mencuci piranti memasaknya. Minah menoleh dan mengangguk sopan “Iya Nyah.” Saat awal-awal kehamilannya memang sang mama menemani dirinya 24 jam, namun sejak sebulan lalu mama nya memutuskan untuk melakukan perjalanan rohani di timur tengah, meski berat namun Renata tak ingin egois dengan menahan kepergian mamanya. Mendadak mata Renata berkaca-kaca, disaat-saat tertenu perasaannya memang sangat sensitiv. Rasanya ingin seperti ibu hamil lainnya yang selalu ditemani dan dimanja suaminya, namun Rena sadar ia tak pantas untuk itu. Dan mungkin ini adalah balasan tuhan atas segala dosanya dulu. “Nyonya kenapa?” tanya Minah panik saat melhat Renata mata Renata berkaca-kaca. Renata menggeleng seolah tak terjadi apa-apa. “Saya berangkat dulu Bik, malam nanti saya pengen makan pepes tongkol sama sambel roa ya.” Ujar Renata mengalihkan topik, Minah mengangguk paham. Minah menatap kepergian majikannya dengan tatapan iba, wanita muda itu begitu baik hati dan tulus, ia heran lelaki mana yang tega meninggalkan wanita sebaik dan secantik Renata dalam keadaan hamil seperti itu. Dalam hati Minah berdoa agar majikannya segera menemukan jodoh terbaiknya dan ayah yang baik pula untuk calon anak Renata kelak, semoga kebahagiaan selalu bersama Renata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD