Matteo juga membawa pakaiannya dengan mulutnya, sebelum mereka berdua mulai berjalan dan menaiki perbukitan tersebut. Bagaimanapun, Matteo tidak berbohong soal bahwa jalan yang mereka lalui tidak bisa dijangkau dengan kaki manusia. Jalanan yang mereka lalui memiliki banyak undakan yang cukup tinggi. Manusia masih bisa menjangkaunya, namun mereka akan kelelahan menaiki undakan-undakan tersebut bahkan sebelum sampai di rumah kawanan. Tanahnya pun lembab dan berlumut. Jika dengan kaki manusia, mereka harus sangat berhati-hati agar tidak terpeleset karena itu bisa menyebabkan mereka jatuh ke bawah dan bisa berakhir meninggal. Menakutkan memang.
Walaupun begitu, dengan wujud serigalanya, Julia masih bisa menikmati pemandangan di hutan tersebut. Dia menghirup dalam-dalam aroma hutan tersebut dengan hidung serigalanya. Harum dedaunan yang basah, tanah berlumut yang lembab, bau genangan air di bawah kakinya, betapa senangnya ia bisa menghirup aroma-aroma tersebut. Ini adalah salah satu dari impiannya sejak dulu untuk bisa melihat hutan belantara, menghirup aroma-aroma di dalamnya, dan menjelajahinya. Sebelum ia tinggal di wilayah manusia, hanya pemandangan serba putih yang dilihatnya.
Matteo memperhatikannya, mengetahui bahwa wanita itu begitu penasaran dan gembira dengan hutan tersebut. Dia memutuskan untuk memperlambat langkahnya dan berjalan beriringan dengan Julia, namun masih tetap waspada dengan sekitarnya agar Julia tetap aman. Dengan wujud serigala, mereka tidak akan kelelahan dan akan cepat sampai di rumah kawanan. Matteo menyenggol Julia dengan kepalanya, membuatnya menoleh. Matteo mengangkat moncongnya, menyuruh Julia untuk menatap ke atas.
Julia menoleh dan melihat dua pasang burung Beo bertengger di atas pohon. Sesama serigala, mereka tidak bisa berkomunikasi lewat pikiran, begitu pula saat dalam wujud manusia. Julia pernah membaca sebuah cerita romansa tentang kehidupan Werewolf dalam sebuah novel. Entah bagaimana penulis tersebut mendapatkan ide tentang seorang Werewolf yang dapat berkomunikasi melalui pikiran sesama Werewolf lain dalam kawanannya, disaat dia sendiri yang seorang Werewolf, tidak dapat melakukan hal tersebut. Dia berpikir bahwa hal-hal yang ditulis manusia tentang kaumnya terkadang cukup aneh.
Setelah mereka menempuh perjalanan selama kurang lebih sepuluh menit, mereka sampai di sebuah halaman luas. Disana, Julia melihat sebuah rumah kabin berbentuk segitiga yang sangat menakjubkan. Di depannya, terdapat sebuah balkon dengan bangku beserta mejanya. Itu adalah tipe rumah di dalam hutan yang selalu dilihat Julia dalam sebuah majalah interior atau di internet. Walaupun ini adalah wilayah serigala Voref, yang dikenal sangat pandai berburu dan bertarung, dan yang dikenal menyukai kehidupan liar layaknya serigala sungguhan, tetapi rumah tersebut terkesan hangat dan nyaman, pikir Julia.
Matteo menoleh pada Julia, menyuruhnya untuk berubah dan segera mengenakan pakaiannya kembali. Julia segera mencari tempat sembunyi diantara pepohonan dan semak-semak, menjatuhkan pakaian di mulutnya ke tanah, lalu berubah kembali menjadi manusia dan mengenakan kembali pakaiannya. Setelah keluar, Julia melihat Matteo yang sudah dalam wujud manusia, beserta pakaian yang sudah dikenakannya, lengkap seperti sebelumnya.
“Ini adalah rumah kawanan kami. Selamat datang,” sambut Matteo dan tersenyum.
Julia menatap rumah tersebut selama beberapa saat, lalu melihat sekelilingnya. Di samping rumah tersebut, ada sebuah sungai yang airnya sangat jernih. Ia juga melihat bahwa selain rumah kabin tersebut, ada tiga rumah lain yang dibangun di atas pohon. Julia menunjuk salah satu rumah tersebut, lalu menatap Matteo meminta penjelasan.
“Beberapa dari kami ingin membangun rumah sendiri. Sebenarnya kalau kami semua tinggal di dalam rumah utama tersebut, mungkin tidak akan cukup kedepannya,” jelasnya lalu tertawa.
Matteo mulai mengajak Julia berjalan. Ia pikir Matteo akan mengajaknya masuk ke dalam rumah utama tersebut, namun ia malah berbelok. Julia menyadari bahwa dari samping, rumah tersebut dibangun sangat panjang. Di bagian samping yang berbentuk miring seperti atap, nampak begitu banyak jendela kaca yang berjajar yang Julia pikir adalah kamar orang-orang dalam kawanan ini. Matteo mengajaknya menuju salah satu rumah yang letaknya tidak jauh dari rumah utama. Rumah tersebut bentuknya juga tidak berbeda dengan rumah utama, hanya saja dengan ukuran yang lebih kecil.
“Aku tidak bisa langsung mengajakmu masuk ke dalam rumah utama,” kata Matteo seraya membuka pintu rumah kabin tersebut. “Mereka pasti akan terkejut dan aku tidak bisa mengambil risiko karena membahayakanmu. Tidak sebelum mereka tahu bahwa kau adalah mate Rafael, dan biarkan Rafael yang memperkenalkanmu pada yang lain.”
Saat mereka masuk ke dalam, sekali lagi Julia dibuat terpukau. Sebuah sofa berwarna abu-abu dan meja berwarna hitam berada di samping kanannya, sementara di samping kirinya adalah sebuah dapur dengan meja konter beserta bangkunya. Di dekat tangga, ada sebuah meja makan berwarna hitam dengan empat kursi. Tepat di depannya, adalah sebuah lorong dengan empat daun pintu. Julia mendongak. Di atasnya terdapat susuran tangga, namun ia belum tahu ruangan seperti apa yang ada di balik susuran tangga tersebut.
“Tempat ini milik Rafael. Dia jarang menempati rumah ini dan hampir tidak ada yang memasuki rumah ini selain dia,” kata Matteo. “Disini, kau akan lebih aman.”
Julia melihat sekeliling. Memang benar, tidak banyak barang yang bisa ditemukan di dalam rumah tersebut. Seluruh perabotannya bahkan masih terlihat begitu tertata rapi, seperti tidak pernah digunakan. Julia mendekati meja makan dan menggosok meja tersebut dengan jari telunjuknya, hanya untuk menemukan debu yang menempel di jarinya. Dia berpikir, apa Rafael bahkan tidak pernah makan di mejanya?
“Kenapa semua miliknya tidak ada yang berani menggunakan? Apa dia galak dan kejam?” tanya Julia dan menoleh pada Matteo.
“Tidak, dia tidak seperti itu,” jawab Matteo sambil menggelengkan kepalanya. “Rafael adalah orang yang pendiam dan tidak pernah menunjukkan ekspresi. Aku sulit menjelaskannya tapi kau akan mengetahui sebabnya nanti.”
“Kemana dia? Kau bilang dia sudah sampai disini lebih dulu dari kita, kan?”
“Mungkin sedang di hutan bersama Fabian. Aku yakin sebentar lagi mereka akan kembali,” katanya. “Oh iya Julia, jangan keluar dari rumah ini sebelum Rafael datang kemari, ya?”
Julia mengangguk. Untuk beberapa alasan, dia memang lebih memilih untuk tetap berada di rumah tersebut. Rumah tersebut langsung membuatnya merasa begitu nyaman begitu pertama kali memasukinya.
“Oh iya, kau belum mengatakan alasannya kenapa aku harus bertemu Lu di tempat yang aman?” tanya Julia saat Matteo sedang berjalan dan hampir sampai di ambang pintu.
Matteo berhenti dan menoleh. “Aku akan menjelaskannya nanti, bersama Rafael. Untuk sekarang, aku harus memastikan terlebih dahulu bahwa kau aman. Ingat, jangan keluar sebelum Rafael datang. Aku akan pergi sebentar. Tunggu Rafael, oke?”
Dan setelah itu, Matteo keluar dan menutup pintunya. Julia membuang napas lewat mulutnya, lalu memutar tubuhnya. Ia mendongak. Ia penasaran dengan ruangan di atasnya. Matteo tidak mengatakan apapun dan Rafael juga jarang menempati rumahnya, jadi Julia berpikir tidak masalah jika ia berkeliling dan memasuki setiap ruangan yang ada di rumah tersebut. Ia berjalan menuju tangga dan naik ke lantai atas. Begitu sampai, napasnya tercekat. Ia tidak tahu harus berkata apa atau bereaksi seperti apa, namun hanya satu kata yang terlintas di pikirannya.
Wow!
Itu adalah sebuah kamar dengan kasur king size di tengahnya. Di kedua sisi atapnya, terdapat sebuah kaca yang sangat lebar yang menampilkan pemandangan langit beserta pepohonan yang mengelilingi rumah tersebut. Cahaya yang menerangi kamar tersebut berasal dari kaca itu. Di ujung tempat tidur yang dindingnya membentuk segitiga, terdapat sebuah pintu. Julia membuka pintu tersebut dan melihat bahwa di dalamnya adalah sebuah kamar mandi. Bahkan kamar mandinya pun terlihat menakjubkan, batin Julia.
“Kau menyukainya?”
Sebuah suara tiba-tiba bertanya di belakangnya. Julia berbalik dan melihat Rafael yang sudah berdiri di belakangnya. Ia hanya mengenakan celana jins dan menampakkan d**a bidangnya. Julia mencium bau tanah dan sedikit darah pada Rafael. Julia tahu itu bukan darahnya, itu bau darah binatang. Rafael melangkah mendekat. Ia mengangkat satu tangannya dan menyentuh wajah Julia.
“Siapa namamu?” tanya Rafael.
Julia berpikir bahwa Rafael pasti sudah tahu namanya, lagipula saat mereka di kastil tadi, Lulu menyebut namanya dengan jelas. Tapi Julia tetap menjawab pertanyaan Rafael.
“Julia,” jawabnya.
Rafael terus menatap bibir Julia yang berwarna kemerahan. Ia memiringkan kepalanya dan semakin mendekat. Julia tahu apa yang akan Rafael lakukan jadi dia menutup matanya dan detik kemudian, bibir Rafael yang hangat menyentuh bibirnya. Ciuman itu lambat tapi sangat lembut, sehingga Julia masih bisa mengambil napas. Rafael semakin memperdalam ciumannya dan mendorong tubuh Julia hingga punggungnya menyentuh dinding. Julia melingkarkan lengannya di leher Rafael, dan Rafael mengangkat kedua kaki Julia dan melingkarkannya di pinggangnya.
Julia tak tahu sudah berapa lama ciuman mereka berlangsung, tapi ia merasa tubuhnya semakin memanas dan ia menginginkan lebih. Rafael juga merasakan hal yang sama dan Julia tahu itu. Julia melarikan jemarinya di rambut hitam Rafael dan meremasnya, diikuti Rafael yang semakin mendekatkan tubuhnya pada Julia. Ia bisa mendengar napas mereka yang semakin memburu dan tangan Rafael yang sudah berada di balik pakaiannya, menyentuh kulit punggungnya. Julia merasa ia akan meledak sampai ia mendengar suara berdeham.
Mereka berdua menghentikan aktivitasnya dan menoleh untuk mendapati Matteo yang sudah berdiri disana dengan kedua lengan yang terlipat di d**a.
“Maaf mengganggu. Aku tahu kalian ingin segera bercinta, tapi aku ingin berbicara dengan kalian sebentar,” katanya.
Tersadar, kedua pipi Julia langsung memerah. Rafael menurunkan kedua kaki Julia yang melingkar di pinggangnya, kemudian menggandeng tangan Julia dan langsung mengajaknya turun ke lantai bawah, diikuti Matteo di belakang mereka. Setelah sampai di lantai bawah, Rafael duduk di sofa dan menarik Julia untuk duduk di pangkuannya. Julia ingin memprotes dan berdiri untuk berpindah tempat duduk, tapi lengan Rafael yang melingkar di pinggangnya begitu erat dan ia tak bisa melakukan apapun. Matteo duduk di salah satu bangku di meja konter dan menghadap Julia serta Rafael.
“Bicara,” perintah Rafael.
“Baiklah, pertama-tama, aku ingin berbicara dengan Julia terlebih dulu,” katanya dan menatap Julia. “Julia, apa ada Werewolf lain yang tahu tentangmu selain Lucinda?”
Julia menggeleng.
“Baiklah,” katanya menghembuskan napas. “Sekarang, bisa kau ceritakan pada kami bagaimana kau bisa selamat dari kejadian itu?”
Julia menatap Matteo dengan ekspresi khawatir. Seolah merasakan kekhawatirannya, Rafael mengelus punggungnya, mengirimkan perasaan hangat yang langsung merasuk ke tubuhnya dan membuatnya tidak lagi merasa takut. Selama ini, Julia tidak pernah dekat dengan siapapun dan mempercayai siapapun. Kejadian yang dialaminya membuatnya cukup memahami bahwa orang-orang yang hidup di luar terlalu egois.
“Tidak apa-apa, kau bisa mempercayai kami,” ucap Matteo melihat ekspresi khawatir Julia. Ia tahu bahwa Julia akan sulit untuk mempercayai siapapun selain Lucinda karena tahu siapa dirinya dan apa yang telah dialaminya.
“Tapi kita perlu mengetahui informasi darimu karena bagaimanapun juga, kau adalah satu-satunya Werewolf Arctic yang masih hidup di dunia ini.”