26. Amarah yang Bangkit

1008 Words
“Belum. Sebelumnya maaf karena gue udah menuduh Tante Bianca.” “Gue udah maafin. Gue tau, kok, bagaimana rasanya di posisi itu,” Alista memperhatikan Marsel. Rasa iba muncul. “eum... gimana kalau gue bantu lo nemuin wanita itu? Gue mau berusaha. Lo punya fotonya enggak?” Marsel menggerakkan kepala ke kanan kiri. “Setiap gue liat Bokap selingkuh, gue selalu lupa bawa ponsel.” “Loh,” “Udah hukum alam. Mungkin Tuhan enggak mau gue punya bukti itu biar Ibu enggak lihat perselingkuhan suaminya langsung." Marsel menengok, melihat ekspresi ketakutan Alista, ia jadi merasa bersalah. “by the way, jangan takut gitu, Al. Gue enggak akan macam-macam. Anggap aja gue teman. Lo masih trauma soal perilaku gue dulu, ya? Maaf, mulut gue terlalu kasar dan kelewatan. Mulai sekarang gue janji akan menebus kesalahan dan berubah jadi lebih baik ke lo, Arsen dan Tate Bianca.” “Berhenti merasa enggak enak. Kesalahan lo udah gue lupain, tapi kalau Kakak sama Ibu, sepertinya mereka butuh waktu.” Langit-langit kini telah berwarna oranye. Senja datang dan sebentar lagi akan berganti malam. Hening. Tidak ada pembicaraan di antara Mereka. Alista memeluk lututnya sendiri. Sesekali dia menabok nyamuk yang berkeliaran di dekatnya. “Pakai.” Marsel menyerahkan jaket yang baru saja ia lepas. Alista menggeleng lamat, “Gue enggak kedinginan kok,” “Lengan Lo digigit nyamuk. Lo mau kena demam berdarah?” "Biarin," "Lo, tuh, ya, kalau pengin diperhatikan orang enggak kayak gini juga caranya." tanpa menunggu respons lagi, Marsel langsung memasangkan jaket tersebut di tubuh kecil Alista. Wangi parfum khas laki-laki itu menyeruak masuk ke dalam hidung Alista. Gadis itu langsung menunduk ketika merasakan hidung Marsel begitu dekat dengannya. “Thanks.” ujar Alista tanpa mengalihkan pandangan. “Al," “Sejak dua hari belakangan gue enggak bisa tidur. Gue terus memikirin perasaan gue terhadap lo. Beberapa tahun belakangan, gue emang membenci lo, tapi gue rasa... kebencian itu udah berubah.” Alista menegang. Jangan bilang Marsel menyukainya. Ini rasanya mustahil. Selama ini hubungan Mereka seperti kucing dan tikus. Tidak ada jeda dalam bertengkar. Alista tidak percaya saja kalau secepat ini Marsel menyukainya. Ini terlihat seperti mimpi. Alista tersentak ketika Marsel tiba-tiba memegang telapak tangannya. Keringat dingin mulai bercucuran. Marsel bergeser hingga menghadap Alista. Bersamaan dengan itu Alista menengok. Hingga kini Mereka saling bertatapan. “akhir-akhir ini gue berpikir keras buat mengetahui perasaan gue sebenarnya ke Lo kayak gimana. Dan hari ini gue sadar kalau gue... suka sama Lo, Al. Lo mau, kan, jadi pacar gue? Kita jalanin hari-hari berikutnya bersama.” Ini baru pertama kalinya. Sungguh! Sebelum ini, dia hanya melihat Laki-laki menyatakan perasaannya ke perempuan. Tapi sekarang... ia mengalaminya sendiri. Alista harap ini bukan mimpi. Astaga, tidak disangka sekali. Marsel yang notabenenya adalah musuhnya dulu kini berkata manis dan berbalik menyukainya, tapi di sisi lain, Alista masih merasa ragu. Ia takut Marsel berpura-pura dan mempermainkannya. A Alista menunduk. Ia menarik tangannya dari genggaman Marsel. “Why?” tanya Marsel bingung. “Gue enggak bisa,” “Kenapa? Kamu takut aku nyakitin kamu nanti? Aku udah sadar akan kesalahan aku di masa lalu, Al. Dan aku enggak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi.” Alista menunduk. Ia memilin bajunya sendiri. Ini kali pertama baginya. Dan Alista tidak tahu cara menghadapi. "Gue belum bisa," *** Tetes air hujan membasahi kaca jendela kamar yang menghadap ke arah gerbang. Arsen terus memandangi ke sana. Berharap Sang Adik muncul. Padahal sudah dua jam berlalu sejak dirinya pulang. Mana mungkin menyapu kelas sampai selama itu. Mencoba menelefon Karisa pun sudah, tapi jawaban yang ia dapat membuatnya bingung. Karisa berkata Alista sudah pulang. Ternyata sampai sekarang tidak muncul juga. Arsen mengambil ponsel dan memutuskan untuk menelepon Altair. Bisa saja, kan, Alista dihadang oleh salah satu temannya tersebut. Mengingat dulu Altair pernah terang-terangan bilang kalau dia menyukai Adiknya. “Lo tau di mana Alista?” “Buset dah. Gue kira telepon karena apa. Ngapain Lo tanya soal Alista?” “Buru jawab. Lo liat ad—“ Arsen menabok pelan mulutnya. Hampir saja dia keceplosan. “Apa? Bilang yang keras dong. Sinyal di sini enggak bagus.” “Gue barusan ditelepon ibunya Alista. Dia nanyain di mana Putrinya padahal dua jam lalu semua murid udah pulang. Lo liat dia di jalan?” “Enggak, Bro. Hari ini gue enggak keluar. Gue disuruh Adek buat nemenin Nenek di rumah sakit.” Arsen mematikan sambungan. Ia mengacak rambutnya. Dugaan negative mulai bermunculan di dalam benaknya. Ia gelisah. Bingung. Memikirkan keadaan Gadis itu. Arsen mengambil kunci motor di nakas, lantas meraih jas hujan juga yang ada di kamar mandi. Laki-laki itu akan pergi ke suatu tempat. Tempat yang menjadi kemungkinan besar Alista ada di sana. *** Rumah mewah dengan gaya klasik serta elegan itu kini terpampang jelas di hadapannya. Dia menghentikan motor. Keluar dari sana dan menatap bangunan tersebut cukup lama. Entah sudah berapa tahun ia tidak ke sana. Yang jelaa Arsen membenci pria itu. Pria yang membuat Alista trauma sampai sekarang. Pintu cokelat tersebut akhirnya dibuka setelah bel dipencet beberapa kali. "Siapa, ya?" tanya seorang wanita yang dua puluh tahun terlihat tua darinya. "Saya Arsen. Tuanmu ada?" "Tuan Farhan maksudnya? Sebentar saya tanya dia dulu." pembantu itu menutup pintu, namun tangan Arsen langsung menahannya. "Tidak perlu menutup pintu. Tanpa bertanya pun saya pasti diizinkan masuk." dengan rasa percaya diri yang tinggi, Marsel berkata seperti itu Tatapan tajam Arsen membuat pembantu itu berpikir dua kali. Dia akhirnya tetap membuka pintu dan membiarkan Arsen masuk. "Kamu masih punya nyali juga untuk ke sini." suara seorang pria yang penuh intimidasi itu terdengar dari arah sofa tepatnya di depan televisi. Aura tajamnya begitu pekat seakan singa yang siap menerkam lawan bicaranya saat itu juga. "Alista ke sini?" tanya Arsen tanpa basa-basi. Ia menengok ke sekitar rumah. Hasilnya tidak menunjukkan tanda-tanda ada seseorang di sini selain mereka bertiga. Farhan berhenti mengunyah kacang polong. Dia memindahkan wadah makanan ringan itu ke meja dan berdiri bangkit menghampiri Arsen dengan kedua tangan yang masuk ke saku. Derap langkah menggema. Arsen tetap kukuh pada posisinya sekarang. Sedikit pun dia tidak berpindah. "Sini mendekat. Aku akan memberitahumu sesuatu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD