25. Rasa Iba

1036 Words
Bel pulang sudah berbunyi beberapa menit lalu. Karisa dan Alista belum pulang sebab ada jadwal piket yang belum mereka kerjakan. Sebenarnya bisa waktu pagi, tapi berhubung tadi tidak sempat mengerjakan pr, jadilah Mereka piket di jam pulang. "Gila, ini kayak enggak dibersihin satu tahun," Karisa menyapu debu dan sampah kertas yang berasal di bagian bangku bagian para murid-murid laki-laki. "zaman sekarang padahal udah ada hp juga. Kenapa masih main surat-suratan coba. Bikin kelas berantakan aja." lanjutnya memisuh-misuh. Debu-debu yang berterbangan itu membuat Alista sesekali terbatuk-membatuk. Kedua matanya itu memicing, menatap Karisa dengan kesal. "Yang pelan bisa enggak, sih, Kar?" "Gue mau cepat-cepat pulang, Al." "Iya, tapi nggak gini." Alista tiba-tiba merasakan kandung kemihnya penuh. "aduh," katanya lantas meletakkan sapu di dekat pintu. "Eh, kenapa? Ada tamu bulanan, ya?" "Gue ke kamar mandi dulu bentar. Lo ikut?" "Enggak. Kalau gue ikut, nyapunya enggak bakal selesai-selesai." "Iya udah. Gue pamit, bye! Nanti kalau Lo mau pulang, chat ke gue, ya." Alista melambaikan tangan dan ngibrit pergi begitu saja tanpa mendengar jawaban Karisa. Koridor sekolah lumayan sepi. Hanya anak OSIS dan anak PMR saja yang mondar-mandir menjalankan tugas Mereka yang belum selesai. Alista mendorong pintu utama ruang kamar mandi. Ia melepaskan tas dan meletakkannya di wastafel. Kaki jenjangnya itu beranjak masuk ke salah satu pintu kamar mandi yang ada di sana. Dia tidak sadar kalau ada seseorang yang mengikutinya dari tadi. Laki-laki itu menutup pelan pintu kamar mandi dan menguncinya dengan kunci cadangan yang berhasil dia curi dari penjaga sekolah. Ia mengendap-endap ke arah wastafel dan berhenti tepat di dekat tas milik Alista. Tangannya membuka, lalu meraih sebuah ponsel berlogo apel. (Lo pulang duluan aja, Kar. Gue udah naik taksi nih. Sorry) Klik. Pesan tersebut dikirim ke nomor Karisa. Marsel tersenyum puas. Dia memasukkan ponsel itu, dan berjalan ke arah pintu. Mengetuk-ngetuknya berulang seolah terjebak di sini. Sementara Alista yang ada di dalam sana, terperangah mendengar derap langkah. Perasaan saat dirinya masuk tadi tidak ada murid yang mengikuti. Ah, biarlah. Mungkin ada yang datang. Gadis itu keluar dari kamar mandi setelah aktivitasnya selesai. Tidak sengaja, kedua matanya menangkap Marsel tengah berdiri di dekat pintu. "Marsel? Kok Lo di sini? Ngapain?" Marsel menengok, ia berlagak terkejut dengan kehadiran Alista. "Berhubung kamar mandi khusus Cowok udah ditutup, gue berniat buang air kecil di sini. Tapi pintu malah dikunci sama penjaga sekolah. Mungkin disangka dia enggak ada orang di dalam," tutur Marsel. Alista setengah tidak percaya. "Apa? Kok bisa gitu? Minggir," dia memegang handle pintu, lantas memutarnya dengan sekuat tenaga. Tetap saja tidak mau terbuka. Ya, Tuhan. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya terjebak di sini dengan Marsel. "Enggak bisa. Itu dikunci dari luar, Al." "Terus kita harus di sini semalaman gitu? Gue, sih, ogah." respons Alista dengan nada ketus. Marsel berusaha untuk tidak menanggapinya dengan emosi. Kepanikan Alista itu meningkat. Bahkan kedua matanya sudah berkaca-kaca. "TOLONG! SIAPAPUN YANG ADA DI LUAR, TOLONG GUE!" "CARISSA! GUE ADA DI SINI! CEPAT DATANG!" "TOLONG!" "TOLONG GUE!" Teriaknya beruntun. Bibir Marsel melengkung tipis. Sekeras apapun Alista berteriak, tidak akan menghasilkan apa-apa. Nyatanya penjaga sekolah berada di dekat gerbang yang tentunya jauh dari sini. Murid-murid yang lain juga telah pergi tak tersisa. Alista membuang nafas kasar. Ia melirik Marsel yang masih bungkam. "Lo bantu gue dong. Jangan diem aja!" sentak Alista. Marsel beralih memegang handle, menggerakkannya dengan keras. Tidak berhasil, dia mundur beberapa langkah dan menendang pintu kokoh itu. Hasilnya sama. Tidak terbuka sama sekali. "Lihat?" Alista terdiam. Ini tidak bisa dibiarkan. Kedua kakinya melangkah mundur. Marsel yang tahu apa tindakan yang akan dilakukan Alista, langsung bergeser ke samping. Gadis itu menendang pintu dengan kaki kanannya hingga terdengarlah suara yang mengganggu. "Kenapa enggak bisa kebuka, sih?!" tidak puas, Alista menendang-nendang pintu tersebut tidak hanya satu kali. Marsel yang melihatnya pun jadi jengah sendiri sekaligus ingin tertawa. Dia berjalan ke pojok wastafel dan mendudukkan dirinya di sana. "Jangan merusak fasilitas sekolah, Al. Berhenti buang tenaga lo sia-sia." Alista berdeham beberapa kali. Tenggorokannya terasa perih. Tangannya menyeka keringat yang keluar. Ekor matanya melirik Marsel yang terlihat tidak keberatan sama sekali. “Apa jangan-jangan lo yang sengaja mengunci pintu ini?” tuduh Alista sesuai yang ada di pikirannya. "Kalau iya gue berniat mengunci Lo di kamar mandi, buat apa gue ikut masuk?” Marsel menanya balik membuat Alista diam seribu bahasa. Alista mendengkus. Dengan keberatan hati, dia akhirnya duduk di sebelah Marsel. Tangannya itu menyeluk tas. Matanya menyipit, mempertajamkan penglihatan. “Kok HP gue enggak ada.” gumamnya penasaran. Ia sudah cek setiap sisi, tidak ketemu juga. Apa ketinggalan di kelas? Alista mengingat-ingat kembali. Seingatnya tidak. Ia tak pernah meletakkan ponsel begitu saja di kelas. "Lo yang ngambil hp gue, kan?!" "Enggak. Gue aja punya handphone sendiri. Ngapain ngambil punya orang lain," "Gue enggak akan maafin lo kalau lo bohong, Sel." "Sumpah, Al. Gue enggak ngumpetin ponsel lo. Lagian juga buat apa gue ambil?" mendengar tatapan mata Marsel yang sepertinya tidak berbohong, Alista mengalihkan pandangan lurus ke delapan. Punggungnya menyandar di tembok. "lo sendiri bawa HP?" “Enggak,” “Aduh, gimana ini. Kak Arsen sama Ibu pasti nyariin.” gusar Alista. Otaknya saat ini seakan buntu. Dia tidak bisa berpikir apapun agar bisa keluar dari sini. “Cuma satu hari Lo enggak pulang. Bukan selamanya.” “Walaupun satu hari doang, tetap aja Mereka mengkhawatirkan gue. Dan gue gak mau bikin pikiran Mereka terbebani.” jawab Alista memburu. “Gimana rasanya?” "Hah?" Marsel menolehkan kepala, hingga netra cokelatnya bertemu dengan netra hitam milik Alista. “Rasanya diperhatiin orang rumah.” Alista tak menjawab. Ia tahu Marsel adalah anak broken home. Mau menjawab, takut salah ucap dan menyakiti hati Laki-laki di sampingnya ini. “Sejak bokap selingkuh, dia jarang pulang ke rumah. Ibu gue yang hamil tujuh bulan selalu ngidam ketemu Bokap. Udah berulang kali gue suruh dia pulang walaupun sebentar aja, tapi dia tetap enggak mau. Dia lebih pilih wanita selingkuhannya itu dibandingkan istri sahnya.” Marsel mulai bercerita sambil berusaha menahan amarahnya agar tak lepas kembali apalagi saat melihat wajah wanita simpanan ayahnya itu. “Sabar, tapi seenggaknya, Lo masih punya ibu kandung.” “Gue enggak tahan liat Ibu gue menderita,” “Selingkuhan Ayah lo belum ketemu?” tanya Alista dengan nada ragu. Ia kasihan juga dengan sosok Marsel yang terlihat sedih dan berantakan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD