57

1404 Words
“Ibu! Lihat tuh! Kakak berantem lagi!” Gadis berusia tiga belas tahun itu merengek kala baru saja pulang sekolah. Bianca menghela nafas. Dia melepaskan kacamata yang sudah bertengger di hidungnya sejak tiga jam lalu. “Mana Arsen?” tanya Bianca begitu Alista telah berada di pangkuan. Ia merapikan rambut Alista yang sedikit berantakan itu. “Masih di dalam mobil.” “Memang dia berbuat apalagi di sekolah?” Alista menengok, “Dia digangguin Edo. Kata Edo, Ibu itu janda kegatelan. Ibu juga enggak punya suami.” Bianca tergemap dengan perkataan Alista. Ya Tuhan, bagaimana bisa anak seumuran Alista berbicara seperti itu. Ia merapatkan bibir, tidak mau menggrubis perkataan Alista. Terlalu menyakitkan. Lagian juga, Alista masih terlalu kecil untuk mengetahui hal itu. “Ibu kapan nikahnya? Kata orang, kalau Ibu menikah, aku sama Kak Arsen bakal punya ayah. Apa benar? Ayahnya beda sama Ayah Farhan, kan? Aku enggak mau lagi punya Ayah sama kayak Ayah Farhan,” tutur Alista. Bianca spontan menggeleng cepat. “Ibu akan cari Ayah yang terbaik buat kamu dan juga Arsen. Ayah baru kamu tidak akan berbuat jahat sama seperti Ayah kandung kamu,” Alista kini mengubah posisi ke sofa di dekatnya. Ia menatap lekat Bianca. “Berarti nanti Ibu akan nikah?” Bianca mengangguk cepat. “Iya, Sayang.” “Serius?! Alista boleh ikut nanti, kan? Sama berdiri di samping Ibu, kan?!” tanyanya begitu antusias. “Boleh. Kamu sama Kakak kamu akan berada di dekat Ibu nanti. Malamnya kita makan bareng di rumah sama Ayah baru kalian,” Kenyataannya sekarang, berbeda dengan apa yang diucapkan beberapa tahun lalu. Bianca menghapus air mata. Detik jarum jam mengisi keheningan rumah ini. Suasananya berbeda seratus enam puluh derajat seperti biasanya sebab Alista dan Arsen tidak ada. Bianca menempelkan ponsel di telinga. Sambungan itu terhubung. Ia berharap panggilannya diangkat. “Apa?” ____****____ “KAK!” “KAKAK!” “HP GUE BUNYI! ANGKAT GIH! JANGAN LUPA NYALAIN SPEAKERNYA BIAR GUE BISA DENGAR!” Suara itu menggema dan terdengar hingga sampai ruang tamu. Arsen ogah-ogahan menghampiri. Ia mendorong pintu itu, kemudian masuk ke dalam dan mengedarkan pandangan. “KAK! LO DENGAR ENGGAK, SIH?! MINTA TOLONG SEKALI INI AJA, GUE LAGI—“ “Mana HP lo?” tanya Arsen, sudah tidak tahan lagi dengan teriakan Alista yang memekakkan telinga. “Di meja rias. Aduh, kok tanya sih? Emang enggak bisa li—“ “Meja rias mana, Ta? Jelas-jelas di sana enggak ada HP. Yang ada Cuma alat dandan.” “Aduh, kok gitu?! Kakak salah liat kali. Aku ingat naruh hp itu di sana kok.” “Jangan ngadi-ngadi. Enggak ada di sana, Ta. Mending lo keluar aja dan ambil sendiri. Bye, gue mau lanjut nonton.” Putus Arsen. Bertengkar dengan Alista hanya akan membuang waktu saja. Terlebih lagi Gadis itu tidak mau mengalah. “JAHAT LO, KAK! AMBILIN SEBENTAR KOK ENGGAK BISA. KAN, GUE—KAK? LO MASIH ADA DI SANA, KAN?! KAK!?” Arsen tidak menghiraukan. Ia melewati meja rias dan tidak sengaja menyenggol sesuatu hingga jatuh ke bawah. Arsen membungkuk, mengambil benda itu. Setelah meletakkannya, ia mengurung niat untuk keluar saat melihat ponsel Alista. Perhatiannya semakin tertarik melihat nama Bianca di sana. Arsen langsung membawa ponsel itu dan berjalan beberapa langkah—menjauh dari kamar Alista. Ia pencet ikon hijau hingga tersambung pada suara seseorang. “Apa?” tanya Arsen tanpa basa-basi. “Nak, kamu dan Alista baik-baik saja sekarang? Di mana rumah kalian? Kamu masih marah pada ibu? Baiklah. Ibu bisa menerima itu. Tapi jika kau marah dalam waktu yang lama, Ibu tidak bisa menerimanya. Ibu merindukan kalian berdua,” “Jangan harap.” Arsen mematikan telepon begitu saja. Tangan mengepal itu meninju keras tembok di dekatnya, melimpahkan semua emosi yang terpendam. Kedua telapak tangannya beralih mengacak rambut. Ini yang paling dia benci. Kata hatinya menyuruh dia melakukan dua hal yang membingungkan. Antara menghadiri pernikahan itu dan... tidak muncul di hadapan Ibunya selamanya. Rasa kecewa itu masih ada. Terlebih lagi saat mengetahui Sang Ibu sudah membohongi selama bertahun-tahun, padahal selama ini Arsen sendiri tidak pernah menyembunyikan sesuatu. “Siapa yang telepon?” Arsen langsung menahan ponsel di genggamannya sebelum Alista merebut. "Orang salah sambung." "Yakin salah sambung?" Alista menarik ponsel yang digenggam Arsen, namun anehnya Kakaknya itu menahan seperti enggan menyerahkan ponsel itu padanya. "Dibilang salah sambung." Arsen mengembalikan benda tersebut pada Alista. Dengan santainya dia melenggang pergi ke kamarnya. Alista mengecek daftar panggilan dan terkejut melihat daftar itu kosong. Tidak ada riwayat sama sekali. Ada yang aneh. Pasti Kakaknya menyembunyikan sesuatu. "Kak, tunggu!" Alista mengejar langkah Arsen. Sayangnya ketika dia akan masuk, pintu ditutup rapat. Sementara di dalam sana Arsen mendudukkan diri di tepi ranjang. Ia menutup kedua wajahnya, merasa bimbang. Antara harus menerima atau tidak. Arsen beralih mengambil ponselnya. Ia membuka sebuah foto pria muda dengan dirinya saat masih berumur empat tahun. "Papa, Arsen harus gimana? Ibu ternyata jahat. Dia bohongin aku dan Alista selama ini. Andai sekarang Papa datang dan menghentikan pernikahan itu. Aku enggak mau punya Ayah seperti Lorenzo. Dia bukan pria baik. Istri lamanya aja diselingkuhi, gimana Ibu nanti? Aku yakin dia juga bakal selingkuh dari Ibu." air mata menitik dari mata tajam itu. Di balik sikap tegasnya di hadapan Alista, ada sisi lain dari Arsen. Ia berubah manja pada Reynand, Ayah kandungnya yang telah berpulang puluhan tahun lalu. Tidak ada yang bisa menolak kedatangan maut. Kesenyapan kamar itu kini diisi oleh tangis Arsen. Laki-laki itu telah rapuh. Tidak ada sandaran. Untuk kedua kali dia menangis setelah ayahnya tiada. ___****___ "Eh, Al! Lo mau ikut enggak?" tanya Rifka pada Alista yang baru saja bergabung di antara mereka berempat. "Ke mana?" "Ke pernikahan Tante Bianca!" Deg. Alista diam seribu bahasa. Ia baru ingat kalau besok adalah hari pernikahan Ibunya. Hadir atau tidak, jelas Alista memilih untuk tidak menghadiri. "Oh," Alista meraih gelas berisi cappucino di depannya, lantas meminumnya. "Oh doang? Lo enggak excited gitu? Enggak seru ah!" respons Rifka. "Ibu atau ayah lo enggak diundang, Al?" kali ini Kiara yang bersuara. Alista membalas dengan gelengan kepala. "Eum... a--ayah gue emang udah diundang, tapi dia enggak bisa hadir." "Ya berarti lo aja yang datang." kata Rifka. Kedua mata Alista terbeliak lebar. Kepalanya bergerak ke kanan kiri dengan cepat. "Enggak mau." "Kok enggak mau? Lumayan kalau ke sana, Al! Di sana pasti ada cowok-cowok ganteng. Siapa tau, kan, Lo bisa bungkus satu." jawab Rifka, membayangkan deretan wajah pria tampan yang akan hadir di sana nanti. "Circle Tante Bianca, gue yakin luas. Percaya deh," "Mereka bukan makanan. Ada-ada aja lo," ujar Alista geleng-geleng sendiri. "Jadi gimana? Lo mau ikut kita buat menghadiri pernikahan itu?" tanya Kiara. "Enggak, Ra. Sorry." "Yah, kok enggak? Ayolah ikut. Kalau enggak ada Lo, sepi. Ikut, ya? Please," bujuk Rifka. Alista terheran-heran dengan tingkah satu temannya itu. Padahal kan dia yang terkalem di antara Mereka. "Iya. Ayah gue bakal datang besok." Alista tersenyum paksa. "kalian tenang aja, ya. Gue mau cabut," dia mengundurkan kursi dan bangkit berdiri. Kiara dan Rifka mendongak, mengikuti pergerakan Alista dengan sirat tidak percaya. "Al, mau pulang? Yaelah cepat amat. Duduk dulu sebentar sini," "Kita udah nunggu lama buat Lo, Al. Masa Lo mau pergi begitu aja," Kedua mata Alista tidak sengaja menangkap Marsel yang baru saja datang bersama seorang perempuan. Alista mendarat duduk, mengurungkan niat untuk pergi. "Kenapa lo?" Rifka mengikuti arah pandang Alista sampai berhenti kepada dua orang yang tengah berbincang. "Eh, Marsel sama siapa tuh? Gila, ceweknya cakep banget. Inscure gue," merasa akan jadi berita hangat, Rifka memfoto Marsel dan perempuan itu. Berbeda dengan Alista yang masih menatap lama dengan tatapan sulit diartikan. Asumsi negative terus melayang di benaknya. "Al!" Rifka menabok lengan Alista di sampingnya membuat wanita itu terperanjat kaget. "Apa?" "Lo kenal Cewek itu?" "Gak." "Gue kenal." Alista dan Rifka bersamaan menengok ke Kiara yang barusan berbicara. "Dia Felisia. Anak SMA sebelah sekolah kita. Abang gue pernah nembak dia, tapi ditolak. Dia emang jadi idola, sih, di SMA sebelah." lanjut Kiara. "gue enggak kaget, sih, kalau mereka dekat. Toh, mereka sama-sama good looking sama idola di sekolah juga." "Marsel itu emang jago banget dekati Cewek, ya. Al, beruntung Lo udah putus dari dia. Kalau enggak, mungkin Lo udah nangis gara-gara kelakuan dia." tutur Rifka. Alista ingin sekali menjawab bahwa dirinya masih berstatus sebagai kekasih Marsel, tapi mengingat reaksi kakaknya, nyalinya menciut. "Biarin aja," ujar Alista, berlawanan dengan hatinya yang berkecamuk. "suka-suka dia mau dekat sama Cewek mana. Yang penting gue sama dia... udah putus." lagi, rasa bersalah itu muncul karena sudah membohongi teman-temannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD