56

1027 Words
Marsel menundukkan kepala, ia terkekeh kecil. Ya, dia mengakui ketampanannya sampai membuat perempuan cupu seperti Nandin menyukainya. Mata Marsel tertuju pada botol di genggaman. Satu ide bagus terlintas. Ia melangkah maju, hingga kakinya dengan Nandin hanya berjarak dua jengkal. Nandin semakin tertunduk dalam. Namun dalam hitungan detik, kedua matanya terpejam saat merasakan air mengguyur kepalanya. Ia melengak, dan justru mendapati Marsel tengah tertawa. Hatinya bergemuruh. Apa yang membuat Cowok itu tertawa? Memang dirinya lucu? “Sebelum nembak gue, mending Lo beli kaca dulu. Penampilan Lo masih berantakan dan kampungan kayak gitu. Dan rambut Lo belum dikeramas, ya? Kok gue bisa cium bau ketombe?” lagi, Marsel tergelak. Brian pun ikut-ikutan. Ia tidak menyangkal, sih, perkataan Marsel karena baginya memang sebuah fakta karena seseorang harus dikritik terlebih dahulu agar menyadari kekurangannya. “Cabut, Bri!” ajak Marsel. Punggung lebar Cowok itu melenggang pergi tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk Nandin agar bisa membalas. “Oh, kelakuan Lo ternyata begini. Lihat aja, Marsel! Lo akan ada persis di posisi gue di masa depan nanti!” Alista masuk ke dalam tempat ibadah yang tengah sepi itu. Kedua matanya terpejam, kemudian dia menangkupkan tangan. Ia tengah berdoa untuk kesembuhan Bagas. Sudah satu bulan berlalu, Cowok itu tidak sadar juga. Teman-teman serta dirinya belum menemukan sang pelaku. Sangat sulit untuk menemukan bukti. Mengingat Mereka tidak tahu di mana Bagas ditusuk. Selesai berdoa, Alista bangkit berdiri dan berbalik badan. Sedikit tersentak mendapati Kakaknya berdiri di sana. Alista mengalihkan tatapan, berlagak tidak melihat. Ia lanjut melangkah hingga saat melewati Arsen pun dirinya tetap tidak mau menyapa. Alista baru berhenti kala merasakan pergelangan lengannya dipegang. Genggaman Arsen beralih ke telapak tangan Alista. Dia menggandeng Gadis itu. “Ikut gue,” “Enggak!” “Harus.” Arsen berjalan lebih dulu. Dengan terpaksa Alista mengikuti. “Kita mau ke mana? Gue enggak mau pergi, ya! Gue harus ke rumah Mar—“ Alista menepuk pelan keningnya sendiri. Aduh! Hampir saja dia keceplosan. “...maksud gue..., Martin! Iya, Martin pacarnya Kak Dini.” “Marsel.” Arsen berhenti, lantas menengok ke belakang. “itu, kan, maksud lo?” “Apaan, sih. Enggak. Sok tau Lo, Kak!” sungut Alista. “Jangan bohong. Hidung lo udah mancung.” Arsen melanjutkan jalannya kembali. “mulai hari ini lo harus terus bersama gue. Gue enggak akan beri kesempatan buat lo untuk ketemu Cowok abal-abal itu.” “Marsel Cowok tulen! Bukan cowok abal-abal, Kak! Kakak gimana, sih!?” protes Alista. Enak saja. Laki-laki seganteng Marsel dikatai seperti itu. “Berisik.” “Emang Suara gue cempreng?!” Arsen menghela nafas dalam-dalam. Sabar. “Diem. Gak usah teriak-teriak. Mau jadi bahan gosip Ibu-ibu komplek nanti?” “Enggak,” lirih Alista. Saat itu juga dia bungkam dan berfokus pada setiap langkah Arsen. Mereka menaiki mobil yang Arsen bawa. Alista tidak tahu Kakaknya itu akan membawa ke mana. Mata yang tadinya menyipit itu kini terbuka lebar kala melihat sebuah tempat yang tidak asing. Di ingatannya, dia ingat betul tempat ini adalah tempat yang pernah dia kunjungi bersama Arsen sebelas tahun lalu, tepatnya saat mereka berusia enam tahun. “Lo masih ingat taman ini?” tanya Arsen setelah membuka pintu untuk Alista. Tatapannya tidak berhenti memperhatikan Alista kala Perempuan itu terlihat berbinar-binar. “Wah, udah beda banget dari dulu, ya.” “Enggak ada yang beda. Semua sama. Cuma gue tanam bunga mawar di beberapa titik, makanya keliatan sedikit beda.” “Jadi selama ini lo yang merawat semua bunga ini?” Alista berjongkok, dia meraih bunga lavender yang sangat mengundang perhatiannya itu. “Iya,” Alista menengok. Mata sipitnya memicing tajam. “Jahat enggak ngajak-ngajak gue!” “Lo terlalu sibuk sama urusan lo sendiri,” Arsen duduk di bangku panjang yang terletak di sana. Ia memandangi hamparan bunga indah yang terpampang di sana. Taman bunga ini adalah milik Bianca, namun saat Arsen berulang tahun ke lima tahun, taman ini diserahkan padanya. Tapi Alista masa itu cemburu. Ia juga menginginkan taman seperti Arsen. Alhasil tempat ini menjadi milik Mereka berdua. “Kak,” Lamunan Arsen terbuyar. Ia menengok Alista yang ternyata sudah ada di sampingnya. “Apa?” “Gue punya usul buat masa depan nanti, nih! Nanti taman ini dibagi dua, oke? Kan di sepuluh tahun lagi siapa tau lo udah punya Istri. Masa iya gue harus biarin taman ini rusak gara-gara anak lo nanti,” “Pikiran Lo kejauhan.” Balas Arsen. “Ya, kan, buat waspada.” “Kalau lo istri gue sendiri, gimana? Apa Lo masih mau membagi taman ini?” Alista syok dengan perkataan Arsen. Apa kata Kakaknya tadi? Istri? Ah, tidak mungkin. Bisa saja tadi dia hanya salah dengar. Ya, Alista harus positif thinking! “Hm?” Arsen berdeham sambil mengibaskan tangan. Alista mengerjap. Adrenalinnya meningkat. Jantung yang tadi berdetak normal, kini malah lebih cepat dari biasanya. Ia tidak tahu mengapa merasa begini. Padahal saat bersama Marsel, ia tak merasakan seperti ini. “Hah?” “Dengar perkataan gue?” Alista mengangguk polos. “Apa Lo mau?” Alista meremas kuat roknya sendiri. “Ma—mau apa?” duh, kenapa dia jadi gugup begini. “Jadi Istri gue,” Mereka berdua diam setelahnya. Sementara Arsen terus memperhatikan wajah Alista yang menurutnya begitu menggemaskan. Dalam waktu enam detik, tawa Arsen merebak ke seluruh taman yang hening tersebut. Alista memperhatikan dengan sudut bibir yang sama sekali tidak tertarik. Ia merasa bingung saja mengapa Arsen tiba-tiba tertawa. “Dasar gila,” “Lo terlalu serius,” “Jadi tadi bercanda gitu?” tanya Alista memastikan. “bahan candaan lo enggak banget. Kalau betul kejadian gimana?” “Kalau takdir buat hal itu terwujud, apa lo masih mau jadi istri gue?” Arsen menanya balik. Tubuhnya membungkuk, kedua tangannya menopang dagu. Giliran Alista yang tertawa. Dia menepuk keras punggung Arsen. “Jangan ngadi-ngadi lo!” Arsen melengos. Dia berdiri tegak kembali. “Lo mah bawaannya ketawa mulu. Padahal gue lagi serius,” ___****___ Gaun pengantin putih elegan itu tergantung di pojok kamarnya. Bianca memandang lama, antara merasa bersalah dan senang. Kedua rasa itu menyelimutinya. Senang karena Pria bertahun-tahun yang menjadikannya wanita simpanan, besok status mereka resmi menjadi suami istri. Tapi ada satu yang menjanggal di hati. Tiga tahun lalu...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD