54

1110 Words
Ibu Marsel sudah bersalin satu jam lalu. Namun Marsel memintanya datang ke rooftop rumah sakit yang sepi, kosong dan luas ini. Alista memandangi puncak gedung pencakar langit yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit. Awan-awan biru yang begitu cerah membuat Alista sangat betah memandang lama-lama. “Mama, apa kabar? Aku pengin ketemu Mama. Mama lihat aku, kan? Aku udah besar. Mungkin tinggi aku menyamai tinggi badan Mama.” Alista mengingat wajah Leanna, Ibu kandungnya. Keinginan itu sudah bersarang sejak lama. Bahkan ia tidak tahu di mana lokasi makam Sang Ibu. Yang Alista tahu adalah wajah Ibunya lewat foto yang diberikan Bianca. “apa Mama enggak kangen aku? Mama enggak mau peluk aku?” 16 tahun berlalu, dia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu kandung. Yang masih menjadi pertanyaan sampai sekarang, Alista tidak tahu penyebab Ibunya meninggal. Kedua mata Alista terbuka lebar ketika seseorang mendorongnya dari belakang. Terlebih lagi di sana tidak ada pembatas. Alista menengok ke belakang. Tepat saat itu Marsel menariknya kembali. Nafas Alista memburu. Matanya melirik Marsel dan langsung memukul d**a Cowok itu. “Aku hampir aja jatuh! Kamu mau aku mati?” “Iya,” wajah Marsel perlahan menyeringai. “A—apa?” Alista ngeri dengan raut Marsel seperti itu. Lima bulan mereka berpacaran, baru kali ini Marsel menunjukkan ekspresi semenyeramkan ini. Marsel tiba-tiba tertawa. Alista diam, matanya tidak lepas memperhatikan. Bibirnya tetap datar. Tawa Marsel tidak menular sama sekali. Sungguh, dia tidak mengerti apa maksud Marsel sekarang. Marsel mencubit hidung mancung Alista. “Kamu kenapa serius banget, sih? Aku Cuma bercanda malah dibawa serius gitu,” “Bercandaan kamu enggak lucu,” kata Alista dengan nada tidak suka. Marsel beralih mencubit kedua pipi Alista. Ia menariknya gemas, tapi Alista tetap diam dan tak mau tersenyum. “Tapi Pipi kamu emang gemesin. Udah, jangan marah lagi. Aku ke sini mau memberitahu sesuatu,” “Aku juga mau memberitahu sesuatu,” Alista berpindah posisi menghadap Marsel. “Kamu dulu,” titah Marse. Alista menggeleng. “Kamu aja,” “Enggak. Kan, kamu—“ “Yang ngajak aku ke sini.” Potong Alista sekaligus menyambung. Terdengar helaan nafas dari Marsel. “Iya, Sayang. Terserah. Kamu aja dulu,” “Kita... sebentar lagi akan jadi kakak adik, Mars. Aku enggak yakin hubungan ini akan bisa bertahan lebih lama,” “Hey...” Marsel menangkup pipi tirus Alista. “apa kamu masih menganggap wanita itu Ibu kamu?” Lagi, Alista menggeleng samar. “Tapi Ayah kamu bisa aja maju buat mengakhiri hubungan kita. Aku takut hal itu terjadi,” “Tenang aja, Yang. Aku gak akan biarin itu terjadi,” Marsel menyunggingkan senyum, kemudian memajukan wajah. Alista memejamkan mata ketika sebuah benda kenyal menyentuh bibirnya. Tangan Marsel meraba-raba ke bagian yang seharusnya tidak disentuh. Alista langsung melepas pangutan dan mendorong d**a Marsel hingga Cowok itu mundur beberapa langkah. “Kita udah lima bulan pacaran. Kamu masih grogi soal itu?” “A—aku... aku gak bisa,” jantung Alista berdegup kencang. Ini baru pertama kali Marsel bersikap seperti tadi. “Jangan takut. Dari awal aku udah janji, kan, bakal menjaga kamu? Lagian aku Cuma sekali doang ngelakuin itu. Tapi respons kamu lebay tau enggak,” “Tapi tetap aja, Mar. Aku enggak bisa,” Marsel melangkah maju. Kedua tangannya menangkup pipi Alista. Netra cokelat itu menatap Alista lekat-lekat. “Aku cinta kamu,” katanya berhasil membuat d**a Alista bergemuruh. Jantungnya ini seakan berdegup kencang tidak jelas. Alista tak tahu mengapa bisa seperti ini. Tangan kiri Marsel beralih memegang pergelangan lengan Alista. Cowok itu menggandeng Alista ke pojok rooftop. Alista merasa terhipnotis. Ia tak bisa mengelak ataupun melawan. Dirinya hanya bisa menurut. Begitu Alista sudah duduk di sebelah Marsel, Laki-laki tersebut menyisipkan anak-anak rambut Alista ke belakang telinga. Dia perlahan turun, hingga berhenti di kedua bahu Alista. Marsel mulai melepaskan kancing kemeja Alista, lalu... ___****_____ “Gue enggak nyangka si Bagas bisa selama ini koma,” “Katanya organ dalam terluka parah. Kita doain yang terbaik aja,” “Kalian berdua enggak berniat buat cari pelakunya?” “Enggak, sih—“ Damian melemparkan tatapan tajam pada Altair, membuat Altair merapatkan bibir seketika. “Parah Lo, Al.” Semprot Arsen. “walaupun dia gak pernah join di kita, kan, dia udah termasuk teman sekelas kita.” “Serius amat kalian berdua. Gue Cuma asal ceplos juga,” balas Altair dengan nyali menciut. Niatnya bercanda, tapi kedua temannya ini malah menganggap serius. “Kejadiannya di mana emang?” lanjut Altair bertanya. Arsen mulai menceritakan hari itu. Hari di mana Bagas dikeluarkan paksa oleh seseorang dari mobil dalam keadaan luka tusuk di perut. Mendengar itu, Damian menaruh curiga, sementara Altair tidak habis pikir. “Ingat nomor plat mobil itu?” tanya Damian. “Kalau gue ingat, udah dari dulu gue cari tau.” Arsen berdiri bangkit. Damian dan Altair pun kompak mendongak. “gue mau jenguk dia di rumah sakit. Kalian ikut?” “Dengan tangan kosong? Bawa Cewek cantik, Ar. Biar Bagas semangat buat bangun,” Altair mengusap bagian belakang kepala saat Arsen menoyornya dengan mudah. “salah gue apa weh!? Dikasih saran, malah dibalas air tuba.’” “Saran Lo gak masuk akal. Kita pergi berdua aja, Sen.” Ajak Damian. Altair yang menyaksikan Mereka berdua langsung mengusap-usap d**a. “Kalian mau pergi berdua? Astaghfirullah, temen-temen gue udah pada belok.” “Ngomong sembarangan gue tebas juga Lo, Al.” Geram Arsen pada mulut Altair yang ceplas ceplos itu. “Ma—“ “Diam.” Damian mengadahkan tangan. Arsen dan Altair seketika diam. Damian melangkah pelan keluar markas Mereka. Arsen bertanya-tanya dengan tingkah sahabatnya itu. Memang ada apa sampai begitu serius. Begitu sampai di ambang pintu, Damian berhenti dan mengedarkan pandangan ke sekitar. Tidak ada siapapun. Perasaan tadi dia melihat seseorang barusan kabur dari sini. Damian langsung menengok ke belakang ketika ada yang menyentuh pundaknya. “Liat apa?” “Tadi ada yang nguping pembicaraan kita.” “Serius Lo, bro? Mana orangnya?” “Udah kabur.” “Lo liat seseorang tapi hilang begitu aja? Itu tandanya bukan orang, Dam!” Altair bergidik ngeri. “siapa tau tadi... arwah penghuni tempat ini,” “Jangan ngaco Lo.” Kata Arsen. Perkataan Altair membuat dia parno. Mana malam nanti adalah malam Jum'at lagi. "gue enggak percaya gituan," bohong dia, berbeda di dalam hati. "Halah. Sok-sokan enggak takut, giliran muncul aja lari ngibrit." cibir Altair. "Berisik. Lo ngomong lagi, lama-lama gue jejelin rumput lapangan." "Silahkan aja kalau tega," Arsen terdiam, tidak membalas perkataan Altair. Dia terpusat pada sosok yang berjalan ke arahnya. Dilihat penampilan orang itu dari bawah Sampai atas, Arsen bisa menyimpulkan yang datang adalah Pak Azam pembersih sekolah ini. "Den Arsen, boleh bicara sama Bapak sebentar?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD